Thursday, December 22, 2016

Ummi – Ibu, Muslimah Sang Arsitek Peradaban


22-25 Desember 1928 adalah awal dimana para pejuang wanita Indonesia berkumpul di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto, Yogyakarta untuk mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I. Momen menjadi spesial karena para pejuang wanita Indonesia saat itu berkumpul untuk membahas kemerdekaan Indonesia. Cut Mutiah, Cut Nya Dien dan Nyai Achmad Dahlan adalah sedikit wanita yang menjadi inspirasi perjuangan perempuan dahulu. Dedikasinya yang begitu tinggi kepada bangsa ini dibanding apa yang telah kita lakukan saat ini, begitu jauh sebenarnya.
            Apa yang telah dilakukan oleh para pejuang wanita menjadi cerminan bagi kita para generasi muda, sudah seberapa jauh kita berbakti kepada orang tua terlebih ibu? Sudahkah kita membahagiakan beliau? Sudahkah kita mendoakan beliau dikala beribadah kepada-Nya? Jika dibandingkan perjuangan ibu selama 9 bulan sejak dalam kandungan hingga merawat dan membesarkan kita hingga sekarang, maka kita tidak ada apa-apanya, Wawassoynal insana biwalidayhi hamalathu ummuhu wahnan 'ala wahnin.. Kita hanya sebutir pasir yang penuh dengan kesalahan, hanyalah setetes air yang mudah terombang-ambing, hanyalah plankton kecil di tengah lautan yang dalam. Tanpa genggaman dan arahan dari beliau kita akan mudah tersesat di dunia yang luas ini.
            Ini hanya sedikit dari banyaknya hari yang telah kita lalui, berbaktilah pada orang tua dan bahagiakanlah mereka disetiap hari yang kita jalani, karena perjuangan merekalah sehingga kita bisa merasakan apa yang sekarang dirasakan. Dan teruntuk kepada para saudara muslimah, belajarlah dari perjuangan para pejuang wanita terdahulu, juga belajarlah dari sosok Khadijah Radiyallahu anha, orang pertama yang beriman kepada risalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disaat yang lain menghujatnya, sosok yang tidak ada duanya sebelum Khadijah Radiyallahu anha wafat,  juga Aisyah Radiyallahu anha atas dalamnya pengetahuan agamanya dan banyak meriwayatkan hadits, serta Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah, beliau yang diberi julukan ummu amarah karena kepiawaiannya dalam berperang. Jadilah muslimah yang mampu mengubah peradaban dunia ini, lemah lembut ucapannya, cerdas pemikirannya, serta menginspirasi tiap langkah-langkahnya.
Selamat berbirrul walidain bagi yang sudah berada di kampung halaman J


Sunday, December 18, 2016

Hak Asasi (Parsial) Manusia


Oleh : Iyas Muzani, Teknik Fisika UGM

Hak Asasi Manusia (HAM) kini tidak lagi menjadi keistimewaan bagi umat manusia, nyatanya, HAM masih begitu ‘asing’ bagi umat muslim di berbagai tempat di dunia ini. Kekerasan masih banya terjadi dimana-mana, perang yang begitu besar di Timur Tengah, Suriah, Afghanistan, Pakistan, Palestina, Irak, Yaman, hingga beberapa negara di Afrika. Bahkan bisa dibilang di Suriah dan Myanmar terjadi pembantaian ras manusia (genosida). Mirisnya, dari hampir semua konflik yang terjadi, umat Islam menjadi korban pembataian terbesar. Jumlah korban yang tewas akibat konflik global sepanjang tahun lalu diperkirakan mencapai 167.000 jiwa oleh laporan tahunan Lembaga Internasional untuk Studi Strategis (IISS) pada tahun 2016. Sekitar sepertiga dari korban yang tewas itu terjadi di Suriah, walau jumlah kematian di Suriah menurun menjadi 55.000 jiwa. Laporan OCHA yang berjudul Fragmented Lives (2015) juga menyebutkan bahwa di Jalur Gaza, 1,8 juta warga Palestina menghadapi peningkatan permusuhan paling buruk sejak 1967 dengan lebih dari 1.500 warga sipil terbunuh, lebih dari 11.000 orang terluka dan 100.000 orang terlantar. OCHA dalam laporannya juga menyebutkan bahwa 550 anak termasuk di antara korban tewas dalam peperangan itu.
Gagasan konseptual dulu begitu disuarakan dan menjadi sejarah peradaban manusia pada Universal Declaration of Human Right 10 Desember 1948, yang jika mundur lebih jauh ke belakang sebenarnya juga pernah ada Magna Carta pada 1215 oleh Raja John Plantagenet, kemudian juga ada penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam Islam sendiri, HAM bukanlah menjadi sesuatu yang asing dan juga tidak bertentangan dengan Islam, syariah Islam selaras dengan prinsip-prinsip HAM, bahkan gaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah dilakukan dengan cara yang sangat jauh dari pemaksaan, kekerasan dan intimidasi. Beliau Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun 622 bahkan menyusun perjanjian dengan semua suku dan kaumnya saat itu yang dikenal dengan Piagam Madinah (shahifatul madinah) untuk menghentikan konflik yang terjadi antara Bani ‘Aus dengan Bani Khazraj di Madinah. Juga ketika pasukan Islam menguasai sebagian besar tanah Arab, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan pidato terakhirnya di padang Arafah yang dikenal dengan nama pidato Haji Wada, beliau mengingatkan umatnya untuk tidak melakukan intimidasi dan diskriminasi kepada kaum yang lemah dan minoritas meskipun posisi umat Islam saat itu berada di pucuk kejayaan sekalipun. Peristiwa lain yang tidak kalah penting juga pernah terjadi yakni adanya The Cairo Declaration on Human Rights in Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM Menurut Islam) pada suatu konferensi Internasional HAM di Wina, Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan konsensus dunia Islam tentang HAM.
Dari sejarah kita belajar untuk menghargai orang lain tanpa memandang suku, agama, ras dan warna kulitnya. Memperjuangkan adanya Hak Asasi Manusia (HAM) adalah momen sejarah peradaban yang tidak terjadi begitu saja, namun atas adanya rasa ketidaknyamanan terhadap apa yang terjadi saat itu, kelas bawah dihinakan, kelas atas dimuliakan. Akan tetapi sekarang pelanggaran akan HAM kembali terjadi, mirisnya para penggiat HAM yang sering ‘bersuara’ kini seakan membisu, para eksekutif negara tidak juga bergeming, menjaga ikatan politik masih lebih penting dibanding turut memberi bala bantuan kepada korban genosida, mengeruk kepentingan dan menyisihkan orang banyak. Entah kenapa, ketika umat Islam yang menjadi korbannya, seolah-olah tidak ada yang terjadi, seakan tidak ada rasa kemanusiaan bagi umat Islam. Apa yang coba saya utarakan disini adalah akibat pembantaian yang dilakukan kepada rakyat sipil di Suriah dan Myanmar (Rohingya), terlepas dari simpang siurnya kebenaran informasi yang tersebar di media sosial. Apa yang terjadi di Aleppo? Saking parahnya, Dr. Ghatar memakai istilah apocalyptic wasteland, kondisi semrawut yang dianalogikan seperti keadaan yang terjadi pada hari kiamat, tidak ada harapan, suara tembakan dimana-mana, dentuman bom seakan menjadi makanan sehari-hari. Konflik yang terjadi di Aleppo (Suriah), Jika memang dalam kondisi perang sekalipun warga sipil tidak sepatutnya menjadi korbannya. Kontak senjata yang terjadi di Aleppo (Suriah) yang dilakukan secara serampangan antara pemberontak dan militer dengan menjadikan penduduk sipil (non-combatants) target sasaran langsung sejatinya merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. Memang benar, ketika dalam kondisi perang korban sipil tidak dapat dihindari, akan tetapi salah ketika warga sipil malah dijadikan sasaran terencana. Kita juga turut berduka atas apa yang terjadi di Myanmar, bagaimana umat Islam Rohingya seakan tidak diperlakukan sebagai manusia lagi, bahkan tokoh yang dilabeli dengan nobel perdamaian di negeri tersebut diam tanpa kata melihat pembantaian yang terjadi di negerinya. Maka, untuk siapa Hak Asasi Manusia itu? Suriah dan umat Muslim Rohingya adalah sedikit dari sekian banyak konflik yang terjadi pada umat Islam, kita tidak bisa memungkiri Indonesia bakal menjadi target ‘konspirasi global’ di suatu saat nanti, ada perkataan yang cukup menarik dari peraih nobel perdamaian (1973) sekaligus mantan Menteri Luar Negeri AS (1973-1977) Henry Kissinger, dia mengatakan “Control oil and you control nations; control food and you control the people.” Konflik yang terjadi di suatu negara bisa jadi disebabkan karena adanya kepentingan asing terhadap negara tersebut, memanfaatkan isu kecil kemudian dibesar-besarkan dan memanfaatkan momennya.

Referensi
[1]        Abu Bakar, Irfan dkk., Agama dan Hak Asasi Manusia, (2014), CSRC: Jakarta.
[2]        http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160505_dunia_perang, diakses pada 15 Desember 2016
[3]        http://www.antaranews.com/berita/487532/korban-tewas-akibat-konflik-di-palestina-capai-angka-tertinggi, diakses pada 15 Desember 2016

Friday, December 9, 2016

Tentang Kebermanfaatan Bukan Kekuasaan


Kita harus memahami bahwa wasilah yang kita tempuh dalam berdakwah bukanlah karena jabatan, bukan karena kekuasaan, kita tidak mengejar itu melainkan fokus kita adalah kebermanfaatan. Jabatan berbeda dengan karya, berbeda dengan produktivitas, juga berbeda dengan kapabilitas. Bahkan sering kali, jabatan-jabatan besar hanya menjatuhkan kita, menjatuhkan martabat kita jika jabatan besar itu tidak sepadan dengan kemampuan yang kita miliki. Tanpa jabatan struktural kita pun masih bisa bermanfaat bagi orang lain, menjadi pribadi yang senantiasa menebarkan benih-benih kebaikan. Kita harus meluruskan bahwa orientasi dakwah ini bukanlah pada besarnya jabatan yang diperoleh karena di luar sana ada banyak orang-orang ‘kecil’ yang mampu memberikan manfaat yang besar, yakin, kita bisa melakukakan kerja-kerja besar meski dengan posisi yang ‘kecil’ sekalipun. Kita mesti belajar dari kisah Uwais Al-Qarni, sosok yang meski tidak terkenal di dunia namun sangat terkenal di langit, pemuda yang meski dengan segala keterbatasan serta hidup miskin ia tidak lupa untuk berbagi kepada tetangganya jika mendapat upah berlebih, dalam rapuh ia tetap peduli kepada yang lain, rendah hatinya sehingga tidak nampak amalan-amalannya kepada orang lain, ia tidak ingin dikenal oleh orang banyak. Maka tidak irikah kita kepada beliau?
Sekiranya, kita harus sadar bahwa ketika dakwah telah menembus sentral kekuasaan, dorongan hawa nafsu itu akan semakin kuat. Harta, tahta dan wanita menjadi godaan-godaan yang akan membayang-bayang. Maka tak pelak orientasi kita akan berubah dari apa yang sebelumnya diikhtiarkan. Wa kaana amruhuu furutha, bahwa urusan seseorang menjadi berantakan (al faudhal khaarijiyah) disebabkan oleh kekacauan yang ada di dalam dirinya (al faudhalad-dakhiliyah) yakni ketika ia mengikuti hawa nafsunya dan lalai mengingat Allah Subhanahu wa ta'ala. Dorongan hawa nafsu yang diikuti berdampak pada terjadinya disorientasi yang menimbulkan berbagai kekacauan, ketidakteraturan dalam diri memberikan pengaruh pada ketidakharmonisan dalam masyarakat bahkan bisa kepada keluarga. Kita datang dan pergi kepada kekuasaan sebab itu semua hanyalah alat yang akan kita pakai untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, Wa quli’malu fasayarallahu ‘amalakum wa rasuluhu wal mu’minun. Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu. (QS. At Taubah: 105)
Kita tidak lagi bicara figur, namun bicara ide dan narasi, tidak bicara janji-janji, tapi bicara kinerja. Bekerja untuk satu tim (jama’ah) dengan target capaian menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, menjadi pedoman hidup masyarakat dunia bukan untuk kejayaan pribadi. Bahkan ketika di dalam suatu organisasi kita hanya fokus pada bagaimana agar bisa memperoleh jabatan, fokus pada pencitraan diri, seolah-olah menjadi yang terbaik diantara yang lain, namun lupa akan tujuan yang sesungguhnya, maka coba kita kembali kepada niat awal kita, pekerjaan yang diamanahkan oleh orang banyak kepada kita, yang berharap menjadi kontributor peradaban dunia yang baru, bukan perusak peradaban.



Monday, November 21, 2016

إياس المزني



Entah, sudah mau masuk semester 4 tiba-tiba kembali terpikir oleh betapa cerdasnya sosok tabi'in Iyas bin Mu'awiyah Al Muzanni sebagai seorang hakim kala itu. Sosok yang kemudian melatarbelakangi nama saya saat ini, yang oleh abi dan ummi berharap agar saya bisa tumbuh menjadi pribadi yang cerdas, memiliki kepribadian yang tangguh serta taat dalam beragama. Iyas bin Mu’awiyah Al Muzanni, orang yang dipilih oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk menjadi qadhi di Bashrah saat itu. Bahkan karena kecerdasan, kepandaian, dan kejeniusannya sampai dijadikan sebagai simbol dan permisalan sebagaimana permisalan kedermawanan Hatim ath-Tha’i, kebijakan Ahnaf bin, keberanian Amru bin Ma’di. Sepertinya, kita merindukan figur hakim seperti beliau, sosok yang jarang kita temui saat ini, yang mendahulukan keadilan di atas kepentingan kelompok dan pribadi tertentu.
Sepertinya hukum menarik juga [Hanya gurauan yang kadang-kadang muncul]

الله مستعان

Saturday, November 19, 2016

Gelap



Di masa ini, banyak orang yg ingin jadi pemimpin tapi sedikit yang memahami amanah; kita rindu zaman banyaknya para mampu yang malu berebut mau..  Al Ibratu bil adwar wa bil atha laa bil wazha if wala bil manasib, yakni bahwa nilai seseorang bukan ditentukan oleh posisi yang didudukinya melainkan pada peran yg dilakukannya dan kontribusi yg diberikannya.

Monday, November 14, 2016

PEMILWA: Keterlibatan Kita dalam Kancah Politik Kampus


Tidak terasa, telah lebih setahun lamanya kita berada di lingkungan kampus ini. Artinya, kita telah menjalani serangkaian proses pembelajaran yang cukup berbeda dari lingkungan sebelumnya. Kita ditempa agar menjadi mahasiswa yang tidak hanya pandai dalam urusan akademik tapi juga piawai dalam berorganisasi, jeli terhadap isu dan peduli terhadap problematika sosial. Sekiranya kita tentu menginginkan kondisi kampus ini tercipta suasana harmonis yang mendukung proses kita sebagai akademisi juga penggiat organisasi. Nah, apa yang ada di hadapan kita sekarang ini, pesta demokrasi, bukanlah sekedar pesta yang merayakan kehingarbingaran sesaat, namun juga berdampak kepada akan seperti apa UGM satu tahun ke depan. Bagi sebagian orang mungkin menganggap ini sebagai sesuatu hal yang bukanlah menjadi persoalan yang serius, tapi, kita harus menyadari kawan, dengan sistem demokrasi yang dielu-elukan banyak orang sekarang ini, kebebasan dalam bersuara, apa gunanya semua itu kalau kita saja tidak turut andil dalam pelaksanaannya? Ini adalah ladang dakwah kita, wasilah yang akan memberikan kita kesempatan untuk menebarkan manfaat lebih kepada umat Islam ini.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah sendiri pernah berfatwa agar umat Islam turut serta dalam Pemilihan Umum, sebab jika hilang suara kaum muslimin sama artinya kita memberi (kursi) majelis pada ahli keburukan. Namun jika kaum muslimin bergabung dalam Pemilihan Umum, mereka akan memilih siapa yang layak untuk demikian, dan dengannya akan tercapai kebaikan dan berkah. Hal serupa juga difatwakan oleh syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah, dimana beliau mengatakan jika menjadi anggota parlemen (eksekutif maupun legislatif) memberikan dampak bagi kemaslahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya mengurangi bahaya dan mudarat bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian kemaslahatan jika tidak memungkinkan meraih semua kemaslahatan. Aktivitas sebagai perwakilan rakyat juga pernah dilakoni oleh nabi Yusuf alaihissalam, dimana beliau ketika itu sempat berpartisipasi dalam jajaran kemeterian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi? Apa yang beliau lakukan pada posisinya itu? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkatlah aku sebagai bendaharawan negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetauan”. Lalu kemudian beliaupun masuk (ke pemerintahan) hingga akhirnya kekuasaan berada di tangan Yusuf alaihissalam dan menjadi pembesar Mesir, seorang Nabi dari sekian Nabi-Nabi Allah. [1]
Kurang lebih, fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah dan oleh syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah maupun kisah nabi Yusuf alaihissalam tadi menjadi representasi bagaimana kita sebagai umat Islam dalam menyikapi persoalan yang cukup sensitif ini. Sehingga kemudian kedepannya, kita tidak lagi sekedar memilih pemimpin karena iming-imingan semata saja, namun ada pertimbangan berdasarkan maslahat dan mafsadatnya. Sebab, tantangan yang kita hadapi saat ini begitu kompleks, pengaruh eksternal begitu besar, banyak paham-paham sesat yang berkeliaran yang jika tidak dicegah akan berimbas kepada aqidah kita selaku umat Islam.
Ketika kemudian kita dihadapkan oleh dua tokoh muslim, maka yang perlu kita pertimbangkan adalah tokoh yang ingkar kepada kebathilan, paling baik akhlaknya serta ibadahnya. Yang wajib dalam setiap pemberian jabatan adalah orang yang paling layak mendudukinya. Jika ada dua orang yang terlihat, salah satu dari mereka lebih besar kejujurannya sedangkan satu orang lainnya lebih besar kekuatannya, maka yang didahulukan untuk jabatan itu adalah yang lebih bermanfaat dan lebih kecil mudharatnya. [2]

Referensi
1.      Rapung Samuddin. 2013. Fiqih Demokrasi Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik. Jakarta: Gozian Press.
2.      Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. 2015. Politik Islam Penjelasan Kitab Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyyah. Jakarta: Griya Ilmu.



Tuesday, November 1, 2016

Mempersiapkan Para Penakluk


Di dalam Islam, ada suatu kaidah bahwa di balik setiap masalah ada peluang yang sama besarnya dengan masalah yang dihadapi. Tidak terkecuali oleh aktivis dakwah kampus, tantangan dakwah yang dihadapi begitu dinamis, adakalanya mereka dihadapkan oleh persoalan eksternal semisal kristenisasi, LGBT, syiah, paham liberalisme dan isme-isme negatif lainnya hingga persoalan internal seperti minimnya kesadaran mahasiswa dalam menjalankan ibadah wajib, minimnya pencapaian Standar Mutu Kader (SMK), ketidakharmonisan dalam berorganisasi dan kisruh yang terjadi antara harakah itu sendiri. Persoalan-persoalan ini masih silih berganti timbul di era sekarang yang bisa jadi terus memunculkan masalah-masalah baru, perkara yang memang masih menjadi momok yang membayang-bayangi para aktivis dakwah.
Sedikit mungkin penjelasan atas beberapa persoalan di atas, yang jika ditarik benang merahnya maka sebenarnya yang ada di hadapan kita adalah lubang berburai luas, bahwa dengan mudahnya umat ini diinfiltrasi oleh musuh-musuh, bahkan memporak-porandakan akhlak umat ini dari dalam dirinya sendiri dengan fun, food dan fashion. Operasi seperti ini sejatinya telah kita saksikan oleh apa yang terjadi di Palestina, negeri tempat turunnya sebagian besar nabi Allah Subhanahu wa ta’ala dan juga tempat persinggahan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam perjalanan Isra Mi’rajnya. Tempat itu kemudian telah berada di bawah penjajahan Zionis Israel selama lebih dari setengah abad lamanya.
Apa yang terjadi dalam umat ini adalah lebih kepada krisis kepemimpinan, minimnya keteladanan yang diberikan oleh qiyadah karena dominasi figure barat lebih bersarang dalam pola pikir umat. Tidak adanya peran signifikan yang diperlihatkan oleh qiyadah sehingga umat menjadi tidak terorganisir, membuat mereka rapuh, terpecah dan tidak solid. Dampaknya apa yang kita lihat sekarang ini, marak terjadi konflik, umat menjadi tidak produktif, dan tidak adanya semangat dalam amaliyatut tadayyun. Seakan-akan tidak ada fungsi kepemimpinan yang timbul, hanya sekedar sosok pemimpin secara fisik saja. Meskipun kemudian antara qiyadah dengan jundi sering berinteraksi, akan tetapi kejadian tersebut tidak merumuskan apa-apa, tidak melakukan sesuatu, sehingga sulit untuk menyatukan frame dakwah ini, sulit untuk melakukan konsolidasi. Yang pada akhirnya justru membuat aktivitas dakwah yang dijalankan menjadi terhambat dan babak belur dalam menghadapi tantangan yang bersifat tiba-tiba dan mengejutkan.                   
Kedepannya, upaya yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian tersebut terulang kembali ialah dengan membentuk para da’i yang berafiliasi dengan konsep tarbiyah, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad Quthb yang memberikan landasan filosofi teoritis dari konsep tarbiyah itu, yakni manhajut-tarbiyah Islamiyah. Muhammad Quthb mendefinisikan tarbiyah dalam satu kalimat yang sederhana, namun mewakili mafahim tarbiyah yang benar.
التربية هي فن صناعة الانسان
Tarbiyah adalah seni menciptakan manusia

            Pertanyaan yang timbul kemudian adalah bagaimana kita menciptakan manusia dengan cara Islam? Pertama-tama, kembali kepada definisi Islam, yang kemudian diinterasikan dengan makna tarbiyah itu sendiri. Islam adalah sistem hidup yang diturunkan Allah Subhanahu wa ta’ala bagi manusia dengan bumi sebagai ruang hidupnya dan rentang masa kerja yang disebut sebagai umur dalam skala individu sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali-Imran: 185)
Cara-cara seperti di atas tidak hanya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi juga diimplementasikan dalam lingkungan kampus. Proses pembinaan (amaliyatut takwiin) yang nantinya diterapkan mesti memahami duduk persoalan yang terjadi dan disesuaikan dengan yang terjadi di lapangan, agar kemudian nantinya seseorang mampu berinteraksi dengan ruang dan waktu berdasarkan patokan nilai-nilai agama. Tentu, yang ditemukan di lapangan adalah manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang berbeda dengan pemahaman yang berbeda pula, sehingga kemudian perlu diberikan standar output seperti apa yang ingin dicapai melalui proses pembinaan (amaliyatut takwiin) tadi.
Tujuan kaderisasi yang selama ini diharapkan ialah mampu membentuk kafa’ah, syakhsiyah Islamiyah serta syakhsiyah da’iyah. Meskipun kemudian para kader tidak lagi berada dalam lembaga dakwah, namun bisa jadi mereka dialirkan ke wasilah-wasilah dakwah lain untuk mensyiarkan dakwah di sana.
Sehingga, yang menjadi fokus utama kita ke depannya adalah tidak hanya mencetak para da’i dalam ranah da’awi saja, namun juga mempersiapkan mereka ke dalam lingkungan yang lebih kompleks lagi, lingkungan yang lebih majemuk, sebab persoalan sebagian besar terjadi di sana.
Referensi
1.      Anis Matta. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta: Fitrah Rabbani.
2.      Anis Matta. 2014. Spiritualitas Kader. Jakarta: Ylipp.

3.      Majelis Syuro Keluarga Muslim Teknik. 2009. Engineering Plus Rekayasa Pengelolaan Lembaga Da’wah Kampus. Yogyakarta.

Friday, October 21, 2016

Menyatukan Frame Dakwah


Dakwah ini, amalan-amalan baik yang kita jalankan di tengah kewajiban sebagai mahasiswa, seyogyanya bukanlah menjadi beban besar yang dapat melalaikan kita dari tugas kampus. Akan tetapi ini adalah nikmat spesial yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala agar kemudian kita mampu beramal ma’ruf nahi munkar di dalam barisan dakwah. Tentu kejayaan Islam tidak akan bisa tegak jika dakwah yang kita jalankan hanya di masjid saja. Akan tetapi ibarat air yang mengalir, ia membutuhkan bulir air dengan dorongan yang kuat dari hulu ke hilir agar kemudian bisa mengalirkannya ke pemukiman dan bermanfaat bagi makhluk hidup. Sifat bulir air sepanjang ia mengalir jika diperhatikan, ia akan masuk ke segala celah-celah sekecil apapun itu, menjangkau yang bahkan sulit untuk dijangkau. Dakwah pun demikian, sebab Islam ini merupakan agama yang syamil dan kaffah. Dakwah sejatinya menjangkau urusan sosial, ekonomi, hingga politik.
Kalau kita flashback sedikit, saat dimana era reformasi terjadi, para mahasiswa yang sebelumnya aktif dalam ranah dakwah masjid, kemudian menyatukan suara membentuk suatu gerakan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, pemikiran-pemikiran yang timbul akibat permasalahan umat yang sebagai da’i kita tidak boleh berdiam diri. Sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa’sallam:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan menunjukkan ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah selemah-lemah iman.” [1]
 Ranah politik ini sangat besar pengaruhnya kepada masyarakat, karena segala kebijakan yang dibuat oleh negara bersumber dari sini. Dalam skala yang lebih sempit lagi, yakni lingkungan mahasiswa, aktivitas dakwah siyasi yang kita jalankan adalah semata-mata agar kegiatan-kegiatan kemahasiswaan dapat terlaksana dengan tidak bertentangan dengan syariat Islam, juga dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh organisasi intra-kampus yang mesti memperhatikan aspek tadi. Kalau di negara ada lembaga eksekutif berupa presiden, wakil presiden beserta jajaran lainnya dan lembaga legislatif berupa DPR, MPR & DPD sebagai unsur pembuat kebijakan negara, maka di kampus ada Badan Eksekutif Mahasiswa, Senat, Keluarga Mahasiswa, dan organisasi lainnya yang juga kurang lebih fungsinya sama dengan lembaga negara.
Kehidupan kampus ibarat miniatur negara sesungguhnya, wadah dimana kita berproses sebelum kemudian terjun ke lingkungan masyarakat yang lebih majemuk. Sehingga kemudian tidak salah jika saya mengkorelasikan kampus dengan skala yang lebih luas, yakni negara yang sedikit saya singgung tadi.
Imam Hasan Al-banna pernah mengatakan bahwa Islam adalah dinun wa daulah (agama dan negara) sekaligus. Jadi kita menganut konsep integrasi dari awal. Tetapi konsep integrasi ini bukan hanya ada pada integrasi antara negara dan agama saja, namun juga antara dakwah dan politik. Itu sebabnya 10 tahun setelah Imam Hasan Al-Banna mendirikan jamaah dakwahnya, beliau langsung mendeklarasikan untuk memasuki era jahriiyah (era keterbukaan) dan ikut terlibat dalam aktivitas politik. [2]
Lembaga yang memiliki fungsi dalam mengatur kebijakan mahasiswa yang didominasi oleh umat Islam, agar sistem yang dijalankan di lembaga tersebut dapat berjalan dengan ‘baik’, maka tentu orang-orang yang berada pada sistem tersebut atau orang yang menjalankan sistem tersebut haruslah sama ‘baik’ nya dengan sistem tadi. Sehingga, agar dakwah ini bisa dijalankan secara efektif maka kita haruslah terjun langsung ke sistemnya, yakni lembaga yang mengatur kebijakan itu. Menjadi tugas kita saat ini, agar ranah politik ini tidak dianggap sebagai hal yang ‘kotor’ oleh masyarakat, sebab yang menjadi masalah utama sebenarnya adalah orang-orang yang ada di ranah politik itu tadi, bukan politiknya.
Yang harus kita lakukan untuk itu ialah bagaimana kita memperbaiki cara kita dalam memahami sumber-sumber ajaran kita: Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta warisan intelektual dari peradaban kita. Dengan begitu kita dapat menemukan sistem dan metodologi pemikiran kita sendiri, untuk kemudian dapat memberikan kritik kepada realitas zaman kita dengan segala muatan peradabannya, dan setelah itu kemudian memberikan sebuah solusi cara merealisasikan kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam kehidupan ini. Dimana ada hutan belantara yang menjelma menjadi taman kehidupan yang indah. [3]
Kalau Islam bukan politik, ekonomi, sosial budaya maka yang dimaksud dengan Islam itu sendiri apa?

Referensi
1.      Diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim, Juz 1 (Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t), hlm. 69, hadits no. 78. Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud ath-Thayalisi, Ibn Hibban, al-Baihaqi, dan yang lainnya
2.      Anis Matta. Integrasi Politik dan Dakwah. Jakarta: ARAH Press.
3.      Anis Matta. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta: Fitrah Rabbani.
Sumber Gambar


.

Monday, October 17, 2016

Ruh Baru dalam Tubuh Umat


(روح الجديد في جسد الامة)
Rasanya, di dalam menjalankan dakwah ini kita sering tahu apa yang mesti dilakukan, namun berat untuk menjalankan. Kita melihat begitu banyak kemungkaran namun masih ragu mengingatkan. Memanglah, kita juga manusia biasa sama seperti yang lain, kadang kita merasa letih dan iman menjadi futur. Terlebih lagi ketika ingin mengingatkan malah dibalas dengan hujatan dan cacian. Saudaraku, dakwah ini, ibarat permainan sepak bola, untuk bisa memenangkan permainan kita mesti menentukan rencana, bekerja kolektif dalam suatu tim, menyatukan tujuan, serta paham akan kondisi medannya.
Sekiranya, dunia dakwah ini merupakan dunia kompetisi. Hanya mereka yang terberdayakan yang akan senantiasa siap memikul beban dakwah. Beban dakwah hanya sanggup dipikul oleh mereka yang mengerti tentang apa dan bagaimana dakwah itu. Tim dakwah membutuhkan anggota tim yang cerdas, qawi, matin, dan bertanggung jawab. Karakter tersebut hanya didapatkan dengan cara tarbiyah. Tarbiyah yang dijalani memiliki kesempatan untuk memperbaiki, mengembangkan, dan mengukuhkan kita. Artinya, kita memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Memang sangat disayangkan apabila kemudian terjadi penurunan kualitas kader di dalam jama’ah ini. Akan tetapi, peristiwa ini perlu kita sikapi dengan penuh kebijaksanaan, bahwa ini menjadi pembelajaran yang besar bagi kita. Kekurangan-kekurangan ini adalah pengingat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita senantiasa menjaga hubungan dengan-Nya, memperdalam pengetahuan dengan memperbanyak mengikuti majelis ilmu, membaca buku dan berdiskusi. Begitu banyak kemudian kader yang begitu aktif dalam menjalankan event di organisasinya namun lupa dan malas terhadap kewajibannya dalam meningkatkan kapasitas ruhiyah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa’sallam pun memberikan teladan yang luar biasa kepada kita, dakwah yang beliau jalankan tidaklah mudah, beliau dicaci, dihujat, hingga dilempari kotoran. Meskipun perlakuan masyarakat Arab Quraisy kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa’sallam begitu buruk dan distriminatif, akan tetapi apa perlakuan beliau terhadap mereka? Beliau tak segan-segan menjenguk orang yang menyakitinya, hingga pada akhirnya orang tersebut merasa malu karena ternyata manusia yang selalu dianiayanya memiliki sifat terpuji dan tidak ada dendam sedikitpun terhadapnya.
Ikhwah fillah, dakwah yang kita jalankan ini, begitu diharapkan oleh masyarakat di tengah degradasi moral generasi muda saat ini. Jadilah antum sebagai ruh-ruh baru yang membersihkan noda-noda hitam yang begitu lama menempel di tengah masyarakat, antum ar ruhul jadid fi jasadil ummah, kalian adalah ruh baru dalam tubuh umat. Senantiasa mewarnai aktivitas dunia ini dengan tidak luput beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana tujuan kita diciptakan oleh-Nya. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
      Ingatlah pesan yang pernah disampaikan oleh Ustadz Anis Matta, “Ketika orang tertidur, kamu terbangun, itulah susahnya. Ketika orang merampas, kamu membagi, itulah peliknya. Ketika orang menikmati, kamu menciptakan, itulah rumitnya. Ketika orang mengadu, kamu bertanggungjawab, itulah repotnya. Maka tidak banyak orang bersamamu disini; mendirikan imperium kebenaran.”

Referensi
1.      Eko Novianto. 2013. Sudahkah Kita Tarbiyah?. Yogyakarta: Era Adicitra Intermedia.

Saturday, September 3, 2016

Bagaimana Kita Memaknai Pengorbanan Itu?


Tidak banyak dari kita saat ini yang rela menyerahkan nyawa kepada orang lain, tidak banyak dari kita rela mengorbankan hidup untuk hal yang bisa dikata tidak logis, itulah realita yang terjadi saat ini namun idealitanya lebih dari 4.000 tahun yang lalu, nabi Ibrahim ‘alaihissalam lewat mimpinya ia melihat dirinya menyembelih anaknya nabi Ismail ‘alaihissalam, kemudian disampaikan apa yang ia mimpikan itu kepada anaknya. Namun apa yang dijawab oleh anaknya? Tanpa rasa takut ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shafaat: 102). Setelah itu, kemudian nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengonfirmasi apakah benar mimpinya itu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala atau jangan-jangan datang dari setan. Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah sebanyak tiga kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri, yaitu Ismail ‘alaihissalam. Setelah keduanya ikhlas untuk menjalankan perintah-Nya, ternyata Allah subhanahu wa ta’ala mengganti Ismail menjadi domba.
Kita bisa membayangkan, Ibrahim ‘alaihissalam yang baru dikaruniai anak, masih merah kulitnya, ia diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk meninggalkannya. Bisa kita bayangkan, anak yang begitu diharapkan kehadirannya, anak yang nantinya akan mendoakan orang tuanya setelah mereka tiada, anak yang bahkan beliau mungkin belum cukup memberikannya kebahagiaan, anak yang meski ia tinggalkan sejak lahir ia tetap patuh dan hormat padanya, ia diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk disembelih, bisa dibayangkan betapa sedihnya beliau saat itu yang akan kehilangan anak shalihnya.
Bayangkan juga bagaimana Ismail ‘alaihissalam tanpa membantah sedikit pun perkataan ayahnya ia rela mengorbankan nyawanya. Padahal, pada saat Ismail ‘alaihissalam masih bayi, beliau ditinggal oleh Ibrahim ‘alaihissalam di lembah yang tandus tanpa makanan dan minuman begitu saja, sepanjang jalan hidupnya hingga peristiwa pengorbanan itu, Ibrahim ‘alaihissalam tidak selalu berada di sisi Ismail ‘alaihissalam, sebab ia tinggal bersama Sarah istri pertamanya di Mesir, bahkan ia pernah menceraikan istrinya disebabkan oleh perintah Ibrahim ‘alaihissalam, jika dilogikakan begitu banyak pengalaman pahit yang beliau alami, secara manusiawi Ismail ‘alaihissalam bisa saja membantah ayahnya. Akan tetapi dengan keimanan beliau, ia rela mengikuti apa yang diperintahkan oleh ayahnya yang begitu ia sayangi.
Kisah ini, sejatinya mengajarkan kita bahwa manusia memiliki sifat manusiawi yang juga hewani. Terkadang, kita akan bertindak dengan pikiran dan juga tanpa pikiran, kita akan berperilaku sejalan dengan hati kadang juga bertentangan dengan hati, ada banyak faktor yang mempengaruhi tindakan-tindakan kita. Dengan berkorban, setidaknya akan menghadirkan sikap kecintaan kepada diri ini. Pengorbanan, hanya mereka orang-orang loyal yang akan mengorbankan waktu, pikiran bahkan nyawanya. Pengorbanan, dapat kita simbolkan sebagai unsur pembentuk diri agar cinta dan setia kepada keluarga, agama hingga organisasi. Tidak banyak orang yang bisa mengorbankan dirinya, Di jalan dakwah ini, pengorbanan menjadi acuan apakah kita serius dalam mensyiarkan Islam. Pengorbanan, sejatinya dapat kita maknai sebagai cara kita dalam mewujudkan cinta kita, menunjukkan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Iyas Muzani. Yogyakarta, 3 September 2016

Referensi:

Friday, August 26, 2016

Inilah Dakwah Kita

Ada kutipan yang cukup populer dari sosok Buya Hamka, ia mengatakan bahwa “Kalau hidup hanya sekedar hidup kera di rimba juga hidup, kalau kerja hanya sekedar kerja kerbau di sawah juga bekerja.” Artinya bahwa perlu ada aktivitas lebih, aktivitas yang membedakan antara kita dengan binatang, yang membedakan antara kita dengan makhluk Allah yang lainnya sebab kita sebagai manusia adalah makhluk Allah yang paling istimewa, kita dianugerahi kecerdasan intelektual, spritual serta emosional. Hidup ini tidak sekedar bermanfaat bagi diri sendiri sebagaimana jannah tidak dibuat hanya untuk diri ini saja. Jauh di belahan dunia sana, mungkin masih banyak saudara kita yang belum tersentuh dakwah ini, belum bisa merasakan nikmat Islam seperti apa yang kita rasakan seyogyanya. Maka siapakah yang mesti berdakwah kalau bukan umat Islam itu sendiri?
Saya, alhamdulillah dilahirkan di lingkungan keluarga yang baik, kedua orang tua paham agama dan ingin anak-anaknya menjadi anak yang tidak hanya pandai dalam urusan duniawi namun juga ukhrawi. Namun, terlahir di lingkungan yang baik saja tidak cukup, sebab pasti masih ada faktor-faktor lain yang bisa jadi mempengaruhi akhlak bahkan keimanan saya nantinya, apalagi ketika sudah dewasa dan jauh dari keluarga, di luar sana ada begitu banyak paham-paham yang bertentangan dengan apa yang kita yakini. Perlu ada sikap preventif tentunya, beberapa sikap agar bisa tetap istiqamah di jalan ini ialah kita senantiasa menjaga amalan yaumi, menjaga hubungan dengan orang-orang shalih serta menjadikan dakwah sebagai laku utama dalam menjalani kehidupan ini.
Terlepas dari kehidupan kuliah maupun organisasi, kewajiban kita sebagai seorang anak dari kedua orang tua maupun sebagai mahasiswa, ada kewajiban lain yang perlu untuk kita jalankan sebagai seorang muslim, yakni berdakwah, walaupun hanya satu ayat. Bahkan Umar bin Khattab pernah berkata, “Menyerulah (berdakwalah) dengan akhlak kalian!”, meski belum bisa menyampaikan lewat lisan, setidaknya tunjukilah akhlak kita kepada orang lain dengan akhlak Islam, tunjukilah bahwa agama ini indah dan damai sehingga menimbulkan rasa takjub di jiwa mereka.
Satu hal perlu  diingat, bahwa agama Islam tidak terjadi begitu saja, tidak menjadi agama yang langsung bisa diterima oleh masyarakat saat itu, tapi ada suatu proses yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni mensyiarkan ajaran agama ini walau berat tantangan yang beliau hadapi saat itu. Begitu indah Islam dengan ukhuwah umatnya, begitu indah jika menyaksikan barisan yang begitu rapih dalam shaf shalat berjama’ah dan begitu bangganya kita menyaksikan umat Islam dengan hafalan Al-Qur’an dan juga akhlak Al-Qur’an-nya. Semua ini tentu tidak cukup hanya dinikmati oleh kita yang lebih dulu merasakan nikmat Islam, saudara kita yang mungkin belum mengenal Islam itu seperti apa tentu juga ingin merasakan nikmat luar biasa ini. Akan tetapi memang, dakwah ini bagi sebagian orang masih dianggap sebagai perbuatan yang hanya dijalankan bagi mereka yang memiliki ilmu, padahal tidak demikian, siapa pun bisa untuk berdakwah, setidak-tidaknya dengan menunjukkan akhlak Islamnya kepada yang lain. Meskipun di tengah kesibukan yang kita hadapi saat ini, kita mesti paham, seberat apapun amanah, sebanyak apapun tugas, jangan lupakan saudara kita. Olehnya, mari rapatkan barisan ini, menguatkan tekad dan yakinkan kepada seluruh penduduk muka bumi ini, bahwa Islam hadir untuk mewujudkan kebahagiaan abadi suatu saat nanti. Begitu indah perkataan seorang tokoh nasional yang bisa membangunkan kembali ghirah kita dalam berdakwah, “Ketika orang tertidur, kamu terbangun, itulah susahnya. Ketika orang merampas, kamu membagi, itulah peliknya. Ketika orang menikmati, kamu menciptakan, itulah rumitnya. Ketika orang mengadu, kamu bertanggungjawab, itulah repotnya. Maka tidak banyak orang bersamamu disini; mendirikan imperium kebenaran.”
Jangan takut jika dakwah ini menghambat kuliahmu, jangan cemas jika dakwah ini memperlambat pekerjaanmu, jangan sedih bila dakwah ini memberatkan bebanmu, tapi yakinlah bahwa Allah akan membantumu dalam menyelesaikan urusan-urusan duniamu, insyaAllah.

Iyas Muzani. Yogyakarta, 27 Agustus 2016.

Sumber gambar : http://www.al-mubarok.com/wp-content/uploads/2016/01/beautiful-beach-sunset-with-sunset-wallpaper-hd-magicwallscom-beautiful-beach-sunset-with-sunset-wallpaper-hd.jpg 

Monday, August 15, 2016

Ilmu Untuk Kebermanfaatan


Lentera di pojok rumah itu belum saja padam di tengah gelap dan sepinya desa kala itu, si kecil di desa yang jauh dari hegemoni kemajuan perkotaan terus bermimpi untuk bisa bersekolah setinggi-tingginya walau keadaannya sekarang yang pas-pasan, selain itu ia juga mesti berhadapan dengan realita yang ia hadapi, bagaimana tidak, satu per satu teman sebayanya di desa itu lebih memilih untuk menjadi kuli, petani hingga pedagang dibanding harus bersekolah, sesuatu yang mereka anggap tidak bisa menjamin kehidupannya nanti. Tapi si kecil itu tetap saja optimis, suatu saat nanti ia bisa mengubah kehidupan keluarga, teman, dan desanya menjadi jauh lebih baik. Cerita ini nyata dan ada di sekeliling kita, mungkin sering dijumpai di beberapa tulisan kisah inspiratif teman-teman kita di jejaring media sosial mereka yang pantang menyerah serta memiliki visi yang jauh ke depan. Perjuangan mereka untuk bisa mengenyam pendidikan memang tidak mudah, bagi mereka pendidikan adalah gerbang yang dapat menyelematkan kehidupan keluarganya, membawa ia ke derajat yang lebih tinggi. Di sisi lain, tidak sedikit pula yang menganggap jika bersekolah itu hanya membuang-buang waktu mereka saja.
Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa jumlah pelajar SD di Indonesia tahun akademik 2011/2012 sebanyak 27.583.919 orang,  pelajar SMP sebanyak 9.425.336 orang, pelajar SMA sebanyak 8.215.624 orang dan mahasiswa sebanyak 5.616.670 orang (Indonesia Educational Statistics in Brief, 2012). Meskipun secara keseluruhan anak yang masuk  sekolah dasar cukup tinggi, sebuah kajian tentang Anak Putus Sekolah yang dilakukan bersama oleh Kementerian Pendidikan, UNESCO, dan UNICEF (2011) menunjukkan bahwa 2,5 juta anak usia 7-15 tahun masih tidak bersekolah, dimana kebanyakan dari mereka putus sekolah sewaktu masa transisi dari SD ke SMP.
Keadaaan seperti ini tentunya tidak diinginkan oleh mereka bahkan juga keluarganya, tapi karena keterbatasan yang dimiliki sehingga mimpi untuk bisa bersekolah lebih tinggi menjadi sirna. Bagi mereka sesuap nasi lebih berharga dibanding segudang ilmu, bagi mereka bangun di pagi hari untuk membajak sawah lebih memberikan manfaat ketimbang bangun di pagi hari untuk bersekolah. Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena kondisinya, mereka juga ingin seperti kita yang bersekolah, tapi mereka lebih membutuhkan uang untuk bertahan hidup meski dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan usaha mereka, there are millions of children who want to learn but lack due to financial problems. Lantas apakah kita yang berkepunyaan tidak berpikir? Tentu harapan mereka dibebankan kepada kita yang sedang menjalani proses belajar di perguruan tinggi, agar kemudian ilmu yang kita peroleh dapat bermanfaat bagi mereka.
Iqra’, lafadz pertama yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menegaskan agar kita senantiasa membaca atau meraih ilmu. Yusuf Al-Qardhawi pernah mengatakan bahwa umat Islam mestinya umat iqra’, tapi kenyataannya umat sekarang lemah dalam menuntut ilmu. Padahal dengan ilmulah kemudian kita bisa menjaga eksistensi agama ini, dengan ilmu kita dapat memakmurkan umat melalui posisi-posisi penting baik itu di organisasi, pemerintahan, ataupun instansi lainnya. Jangan sampai kemudian di tengah masyarakat Islam tidak ada yang meraih ilmu, sebab jika hal demikian terjadi maka pasti yang akan terangkat adalah orang bodoh yang kemudian akan sesat dan menyesatkan (fadollu wa-adollu) yang berdampak kepada kemaslahatan umat. Mencoba untuk berintropeksi diri dan memotivasi diri ini juga teman sekalian agar senantiasa tidak futur dalam meraih ilmu.
Iyas Muzani, Yogyakarta 15 Agustus 2016.



Saturday, May 7, 2016

Al-Qur’an Sumber Kehidupan Umat Manusia


Dalam ber-Islam, ada hal-hal yang memang harus kita yakini, tidak sekedar tauhid rububiyah saja, tapi tauhid uluhiyah dan tauhid asma wa sifat juga perlu karena yang demikian itulah yang membedakan kita dengan agama Nasrani maupun Yahudi. Kita meyakini Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai tuhan bukan hanya sekedar Ia sebagai sang pencipta, tapi juga diyakini dengan bentuk perwujudan beribadah kepada-Nya juga dengan mensucikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala aib.
Bukti keberadaan Allah sendiri terdapat di dalam Al-Qur’an, ada begitu banyak ilmuwan seperti Dr. Keith Moore, Marshall Johnson, Joe Simpson, Maurice Bucaille, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya, yang mempelajari Quran untuk sekian lama, dan mereka semua menyimpulkan bahwa kitab dan ayat-ayat di dalamnya tidak mungkin ditulis seorang manusia, ini tentunya dari Sang Pencipta. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan, contohnya Dr. Keith Moore, dia embriologist yang terkenal.1
Orang ateis selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan, tapi mereka sendiri tidak bisa membuktikan ketidakberadaan Tuhan. Dari 6236 ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, ada sekitar 500an ayat yang berbicara tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, satu per satu dari 500an ayat tersebut telah berhasil dibuktikan oleh para ilmuwan hingga sampai saat ini dan akan terus berlanjut, menandakan bahwa kitab Al-Qur’an sebagai mukjizat yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sekedar tulisan yang biasa-biasa saja, melainkan di dalamnya terdapat begitu banyak pelajaran yang dapat membimbing kita menjalani kehidupan ini.
Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 2 dijelaskan bahwa “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa”. Allah pulalah yang menjaga keorisinalitasan Al-Qur’an dari waktu ke waktu, berbeda dengan kitab suci lain yang telah mengalami kontaminasi oleh sentuhan tangan manusia. Mempercayai sesuatu yang belum pernah kita temui, belum pernah kita lihat sosoknya tentu bukan hal yang mudah, tapi itulah yang terjadi pada kita umat Islam, kita meyakini Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai sang pencipta berdasarkan referensi ilmu pengetahuan yang telah ada yang dimulai sejak 15 abad yang lalu. Kita meyakini karena ada sosok teladan yang memberikan kita bukti melalui mukjizat dan sirahnya.
Sayyid Quthb pernah menulis di bukunya yang jika diterjemahkan ke Indonesia judulnya menjadi “Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia Beriman”, ia mengatakan bahwa agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan menggunakan akalnya dan bahkan demikian hebatnya anjurannya ke arah itu. Tetapi yang dikehendaki itu bukanlah pemikiran yang tidak terkendalikan lagi kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan dapat dicapai oleh akal manusia. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal ciptaan-Nya, yakni apa-apa yang ada di langit dan di bumi, dalam dirinya sendiri, dalam masyarakat dan lain-lain. Tidak ada sebuah pemikiran yang dilarang, melainkan memikirkan dzat-Nya, sebab persoalan ini di luar kapasitas kekuatan akal pikiran manusia.
Terkadang, ketika ilmu pengetahuan disinggung bersamaan dengan agama, logika menjadi sesuatu hal yang diprioritaskan, realitanya para ateis selalu menganggap jika orang yang beragama seperti halnya agama Islam itu tidak dapat membuktikan secara empiris keberadaan Allah, wujud-Nya, maupun ciptaan-Nya yang berhubungan dengan pembuktian. Meskipun demikian, Al-Qur’an tetaplah kitab pembuktian umat Islam kepada seluruh umat manusia, salah satu contohnya ialah ketika Steven Weinberg, pengarang buku The First Three Minutes, pernah menegaskan bahwa langit tampaknya merupakan suatu “alam tak berubah” yang kokoh. Sesungguhnya, awan-awan berarak-arakan mengejar bulan, kolong langit biru mengelilingi bintang kutub, bulan itu sendiri membesar dan mengecil dalam waktu yang lebih lama, dan bulan serta planet-planet bergerak melalui suatu bidang yang ditentukan oleh bintang-bintang. Akan tetapi, kita paham bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh sistem tata surya.2 Berabad-abad sebelum Steven Weinberg memikirkannya, faktanya kasus ini telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Terdapat banyak ayat yang menggambarkan awan dalam bentuk jamak yakni “samawat” yang berarti langit-langit, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka, lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian, pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk:3-4)
Dari penjelasan tadi kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat segala pelajaran yang dapat kita dalami agar dapat memperoleh hikmah, percaya atau tidaknya kaum non muslim/ateis terhadap kebenaran Al-Qur’an nyatanya bahwa ayat yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan atau sains yang telah dicatatkan di dalam Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu satu persatu telah terbukti secara ilmiah, tinggal bagaimana hati ini menerimanya.


Referensi:
2. Yahya H. 2001. Mengenal Allah Lewat Akal. Jakarta. Robbani Press.

Sumber gambar:
http://www.wallpaperislami.com/wp-content/uploads/2015/10/Al-Quran-dan-Tasbih.jpg 


Thursday, May 5, 2016

Saudara yang Terpaut Jauh


Awal bulan ini Mei 2016 kita dikagetkan dengan berita duka yang menghampiri saudara seiman kita di Aleppo Suriah, Belum selesai air mata ini diusap akibat serangan udara Israel di jalur gaza, kita disuguhkan (lagi) berita duka di Suriah, hampir seluruh bagian kota Aleppo dihujani rudal dan bom oleh mereka yang tidak bertanggung jawab dan tidak punya rasa kemanusiaan, hari ini menjadi saksi bagaimana kebiadaban pembenci umat Islam itu terjadi. Selama dua pekan terakhir ini jumlah korban jiwa akibat serangan di kota Aleppo mencapai lebih dari 300 orang (BBC, 2016).
Islam adalah agama yang terhimpun umat yang memiliki visi yang sama, visi vertikal, visi abadi. Islam adalah ummatan wa hidatan (umat yang satu), sehingga apabila ada saudaranya yang dilanda bencana, kesedihan dan keterpurukan ia hadir sebagai pelipur lara, kehadirannya setidaknya membuat saudara kita dapat tersenyum. Jangan kemudian kita menjadi umat Islam yang hanya sekedar diam melihat penderitaan saudara kita, Imam Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’ anhu pernah berkata “Kezhaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik.”
Kita yang tinggal di negeri yang masih aman ini masih bisa mendapati masjid yang menjamur dimana-mana tapi isinya masih didominasi orang-orang yang berusia lanjut, tahukah bahwa saudara kita disana bahkan untuk shalat dengan khusyu’ saja susah, di saat kita sedang asyik bermain dengan gadget kesayangan, tahukah bahwa mereka untuk bisa membaca Al-Qur’an saja terus dibayang-bayangi rasa was-was. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bukanlah seorang mukmin, orang yang tidur di malam hari sedangkan tetangganya kelaparan” (HR. Al-Hakim).

Saudaraku seiman, pernahkah kita berpikir tentang kondisi saudara seiman kita? Di sekeliling kita masih banyak yang membutuhkan bantuan sandang dan pangan, sedangkan kita masih serius memperkaya diri tanpa mau memberi sedikitpun, di saat saudara kita yang bahkan tidur di malam hari pun susah kita justru tak kuat bangun karena saking kekenyangannya. Mari berintropeksi bersama-sama, hingga saat ini apa yang telah kita berikan buat umat ini? Syakib Arselan, seorang pemikir Muslim dari Suriah pernah mengatakan, “Orang-orang Barat lebih banyak berkorban dari pada kaum Muslimin. Mereka memberi lebih banyak demi agama mereka ketimbang apa yang diberikan kaum Muslimin bagi agamanya”. Semoga menjadi renungan bagi kita semua, agama ini kuat karena persatuan umatnya, maka jangan kita nodai dengan memendam kebencian terhadap kelompok lain, fokus untuk berbenah diri dalam menguatkan agama ini, fil ittihad quwwah.

Sumber Gambar : http://www.channel4.com/media/images/Channel4/c4-news/2015/February/24/24_aleppo_slider_w--(None).jpg