Tuesday, May 23, 2017

Apa yang Hilang Dari Kita?


Ada banyak orang yang muncul dan hilang, ada juga orang yang dilemparkan oleh takdir ke atas untuk dihempaskan ke bawah. Kita harus bertanya, ketika kita belum siap dan belum mampu untuk memimpin akan tetapi jabatan itu telah kita peroleh, jangan-jangan ini adalah takdir untuk menghempaskan kita ke bawah. Makanya, tidak ada salahnya kita coba merefleksikan kembali perkataan Umar bin Khattab kepada rakyatnya, beliau mengatakan: tafaqqahu qabla an tusawwadu, “Perdalamlah ilmu agama, sebelum kamu menjadi pemimpin”. Umar bin Khattab ketika mengatakan ini tentu ingin menekankan kepada umatnya, bahwa posisi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah dan perlu untuk dibangga-banggakan, sebab dibalik semua itu ada pertanggungjawaban yang begitu besar dihadapan sang pencipta, bahkan Umar bin Abdul Aziz ketika diawal-awal dipilih sebagai khalifah bani Umayyah menjelang pelantikan beliau mengucapkan suatu perkataan yang setidaknya bisa menjadi tamparan bagi kita juga dalam menjalankan peran, inni akhaufu naar, “saya takut kepada neraka”. Apa korelasinya kalimat itu dengan pencapaian orang dalam kepemimpinan? Itu artinya bahwa beliau memulai dari akhir, bahwa akhir dari semua ini pada akhirnya adalah kematian, dan hidup setelah kematian hanya mempunyai dua pilihan yaitu surga atau neraka.
Kalau kita mencermati kondisi sekarang ini, apa yang dihadapi adalah persoalan yang tidak bisa dipandang enteng, dan jika kita telusuri, sedikit sekali kalau kita hitung, mereka-mereka yang Allah Subhanahu wa ta’ala tugaskan serta diberikan amanah untuk memikul beban dakwah ini. Sungguh beruntung, setelah diberikan ni’matul iman wa Islam, Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kenikmatan sebagai da’iyah fi sabilillah (da’I di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala). Ikhwah sekalian, Kafilah ini akan tetap berjalan, jadi yang bergabung dalam kafilah dakwah, merekalah orang-orang yang beruntung. Qul Hadzihi Sabili Ad’u Illallah ala Bashirotin ana wamanit taba’ani, “Katakanlah wahai Muhammad ini adalah jalanku, yaitu mengajak orang kepada Allah, dengan hujjah yang nyata, aku dan pengikutku.” Begitu beruntung orang-orang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk bergabung di kafilah dakwah ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi diri ini untuk selalu bersyukur atas nikmat yang begitu banyak, bersyukur karena kita masih dikumpulkan dengan orang-orang sholih dan sholihat, lingkungan yang insyaAllah senantiasa mengingatkan kita atas kebaikan.
Tentu, setiap kita mempunyai sayyiat (perbuatan dosa), tapi dengan kita aktif bergerak terus, hasanat (mobilisasi kebaikan) kita, insyaAllah sayyiat kita menjadi marginal/tidak punya ruang gerak, innal hasanaati yudzhibinassayyiati, dzaalika dzikro lidzzaakiriin, artinya bahwa dengan mengkoordinasikan kebaikan (hasanat) kita untuk amal jama’I, untuk kebaikan bangsa, kebaikan umat, kebaikan dakwah dan kebaikan jama’ah, pada akhirnya akan mengeliminir sayyiat (perbuatan dosa) Kita. Jangan takut untuk mengubah hidup menjadi lebih baik hanya karena bayang-bayang masa lalu yang suram penuh dosa, ciptakan sikap optimisme dalam melangkah ke depan dan berikan senyuman kepada masa lalu yang kelam. Sekiranya jika sikap optimisme ini dihidupkan kembali, maka dorongan untuk selalu berbuat kebaikan itu akan terus ada, sebab pikiran ini dipenuhi dengan gagasan yang konstruktif. Tapi kita juga perlu ingat, aktivitas beramal kita harus dilandasi dengan keikhlasan, beramal tanpa merasa sok suci, kenapa bahasanya sok suci? Karena bahasa ini yang digunakan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menegur kita, wala tuzakku anfusakum huwa a’lamu bimanittaqo, jangan menganggap diri ini suci, Allah lebih tahu siapa yang paling bertaqwa. Malu rasanya, kadang amal kita masih sedikit, tapi merasa banyak, amal kita pas-pasan, tapi merasa sudah cukup, celakanya lagi, tidak beramal tapi berasa beramal, itupun dilakukan dengan riya’, takabur, sum’ah.
Lebih bijak sepertinya kalau kita fokus dalam berfastabiqul khoirat ketimbang membanding-bandingkan amalan kita dengan orang lain, lebih arif ketika kita lebih peka dalam menebarkan manfaat ketimbang menuai pujian. Ibarat buih di lautan, di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa, Fa ammaz zabadu fayadzhabu jufaa’an, “Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada harganya.” Ia hanya akan tampak di awal-awal, namun setelah itu hilang tanpa memberikan manfaat. Dan lanjutan dari ayat itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa, wa ammaa maa yanfa’un naasa fayamkutsu fil ardli kadzaalika yadl-ribullaahul amtsaal “Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikanlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. Pilihan ada kepada kita, sekedar menjadi buih atau menjadi orang yang meninggalkan manfaat? 

Yogyakarta, 23 Mei 2017.