Apresiasi terhadap kinerja Prof
Nurdin Abdullah dan pak Andi Sudirman Sulaiman pada satu tahun lebih masa bakti
beliau saat ini sejak terpilih september 2018 lalu. Selama setahun concern beliau
pada pembangunan daerah-daerah bahkan hingga daerah yang secara jarak jauh dari
pusat kota (Makassar), ini tentu perlu untuk terus kita dukung. Sudah seharusnya
pembangunan yang dieksekusi di Sulsel memberikan perhatian lebih pada kabupaten/kota
lain yang ada di Sulawesi Selatan, agar perekonomiannya dapat berkembang secara
signifikan sehingga aktivitas perekonomian tidak hanya terfokus kepada kota
Makassar saja, terlebih sekarang kota Makassar semakin padat karena tidak hanya
sebagai pusat perekonomian namun juga pusat pendidikan dan pemerintahan.
Bukan tanpa alasan, Selama ini kita mengenal
Makassar sebagai kota metropolitan di Indonesia dan kota terbesar kelima di
Indonesia. Akan tetapi kemajuan pusat kotanya tidak sebanding jika melihat
pembangunan kabupaten/kota lain yang ada di Sulsel, terjadi urbanisasi ke kota
Makassar tiap tahunnya sehingga membuat jumah penduduk dan kepadatan di kota
Makassar semakin besar, data dari BPS Sulsel (2018) mengatakan bahwa persentase
penduduk di kota Makassar sebesar 17,19% dari total penduduk yang ada di 24
kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk sebesar 8.580 jiwa per km2
(kabupaten/kota lain berada di rentang 40 – 1.447 jiwa per km2).
Penelitian yang dilakukan oleh
Luciana Sari (2018) mengungkapkan jika PDRB, upah minimum dan kesempatan kerja
secara simultan berpengaruh positif terhadap urbanisasi di kota Makassar. Artinya
bahwa masyarakat melakukan urbanisasi karena ingin mendapatkan upah lebih
tinggi dari upah di daerah asal, akan tetapi pada faktor kesempatan kerja,
terjadi temuan seperti pada ide dasar Human Capital Model bahwa niat
untuk melakukan migrasi (urbanisasi) dipengaruhi oleh motivasi untuk mencari kesempatan
kerja dan pendapaan yang lebih baik. Hubungan tidak signifikan menandakan tidak
semua penduduk yang melakukan migrasi ke kota memiliki kesempatan kerja atau
peluang kerja, skill atau pengalaman yang diinginkan oleh perusahaan di pusat
kota Makassar. Hal ini tentu perlu diperhatikan sebab pertumbuhan nilai
urbanisasi bisa linear dengan jumlah pengangguran, kemiskinan, dan kriminal
yang terus terjadi di kota Makassar. Imbas dari tidak adanya lapangan pekerjaan
sehingga mencari alternatif lain yang dapat merugikan orang lain dan dirinya
sendiri.
Tentu, terlepas dari apresiasi, ada beberapa
catatan yang perlu di-highlight oleh pemprov agar makna pembangunan tidak
hanya melekat pada sesuatu yang sifatnya tengible layaknya infrastruktur
yang bisa dilihat dengan nyata, sehingga untuk mengukur keberhasilan pemerintah
provinsi bahkan juga pemerintah pusat tidak sepragmatis melihat berapa jumlah
infrastruktur yang telah dibangun. Akan tetapi kembali ke pemaknaan awalnya,
bahwa pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik
sebagaimana yang didefinisikan oleh negara “an increasing attainment of one’s
own cultural values” (Tjokrowinoto, 1996) inilah yang disebut dengan
cita-cita bangsa, pembangunan yang dilakukan adalah untuk mewujudkan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Drajat Tri Kartono dan Hanif
Nurcholis (2016) mengatakan bahwa pembangunan sangat berkaitan dengan nilai dan
sering kali bersifat transendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan
sebuah ideologi (the ideology of developmentalisme). Oleh karena itu,
para perumus kebijakan, perencana pembanguna, serta para pakar selalu dihadapkan
dengan nilai (value choice), mulai pada pilihan epistimologis-ontologi
sebagai kerangka filosofinya, sampai pada derivasinya pada tingkat strategi,
program, atau proyek. Pembangunan infrastruktur harus bisa sejalan dengan IPM
dan revolusi mental yang digaungkan oleh pak Jokowi sejak pertama kali terpilih
sebagai presiden 6 tahun lalu, pola pikir masyarakat harus berubah sejalan
dengan pembangunan yang ada agar masyarakat bisa menjadi supporting system, menjaga,
mengembangkan, dan memperoleh dampak positif dari kehadiran pembangunan
tersebut.
Untuk meningkatkan mutu SDM ini, yang
perlu diperhatikan tentunya adalah pendidikan. Pemprov perlu hadir dalam
memberikan bantuan kepada pelajar yang berprestasi namun terkendala secara
finansial di seluruh daerah yang ada di Sulsel, sebab sepengetahuan saya baru
Kab. Gowa yang pada periode pemkab sebelumnya mempunyai program kerjasama
dengan beberapa Universitas terbaik di Indonesia untuk diberikan beasiswa.
Selain itu, hal lain yang penting
untuk dibenahi adalah citra pelajar Makassar yang selalu menjadi sorotan di
tingkat nasional karena aktivitas tawuran, pengeroyokan dan demonstrasi. Tentu Sulsel
terutama Makassar sebagai pusat pendidikan di Sulsel harus bisa menghadirkan iklim
yang kondisif untuk belajar bagi para siswa dan mahasiswa yang merantau dari
daerahnya untuk menggapai cita-citanya, sekolah-sekolah harus didorong untuk
melahirkan siswa yang kompetitif dan dapat bersaing di Olimpiade Sains Nasional,
bukan hanya 1-2 sekolah yang biasa menjadi langganan, akan tetapi lahir sekolah-sekolah
lain yang selama ini jarang muncul ke permukaan.
Memang, saya harus jujur mengatakan
jika sektor pendidikan ini masih menjadi masalah yang begitu kompleks dan sulit
menemukan penyelesaiannya, secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan
pengetahuan dan kemapuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam
kehidupan masyarakat ekonomi modern saat ini. Semakin lama waktu bersekolah
akan sejalan dengan semakin banyaknya informasi dan kemampuan yang diperoleh,
akan tetapi ada argumen yang muncul sekitar 40 tahun yang lalu dan sepertinya
masih relevan hingga saat ini, Randal Collins dalam karyanya The Credential
Society: An Historical Sosiology of Education and Stratification (1979)
mengatakan jika pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus
diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang
memiliki pendidikan yang rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru
dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan
kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih
canggih. Ini menjadi tantangan tersendiri dan diperlukan sinergisitas antara
Kemendikbud dan Kemenristekdikti mewakili pemerintah pusat, pemprov, dan pemkab
untuk menyelesaikan persoalan bagaimana melahirkan para pelajar yang mampu
bersaing di era global namun juga memiliki akhlak yang baik.