Beberapa budaya yang mesti dibumihanguskan dari tanah Sulsel secara umum adalah mindset orang-orangnya yang selalu mensimplifikasi sesuatu, tidak mau repot, dan oportunis. Kenapa saya katakan mesti untuk dihilangkan? Karena ini menjadi akar permasalahan perilaku koruptif yang dilakukan oleh elit lokal saat ini.
Kita terlalu dibiasakan dan dibiarkan tenggelam dalam aktivitas yang sejatinya merusak budi pekerti kita. Contoh sederhana yang sering kita saksikan di dalam aktivitas harian adalah perilaku mencontek, nilai ujian yang dikatrol, masuk perguruan tinggi dan urus SIM lewat 'dekkeng', merekayasa agenda kedinasan untuk sekedar mendapatkan biaya transport, hingga keberadaan lingkaran pertemanan yang sering disalahgunakan untuk memuluskan kepentingan golongan mereka. Menjadi praktik yang sudah menjadi rahasia umum dan mendarah daging.
Kabar korupsi yang dilakukan oleh elit lokal Sulsel yang menjadi pembicaraan seluruh masyarakat Indonesia saat ini adalah efek domino atas perilaku yang telah terbentuk sejak lama dan membudaya, mungkin menjadi heboh karena yang melakukan adalah para elit. Akan tetapi, kita juga mesti jujur dan mengakui bahwa kita sendiri sering menyaksikan perilaku koruptif dalam keseharian kita, tentunya dalam jumlah, posisi dan kondisi yang berbeda. Perilaku-perilaku koruptif seperti itu akan terus ada bahkan dengan orang yang berbeda jikalau budaya dalam keseharian kita seperti yang saya sebutkan di awal tidak diubah.
Dari peristiwa ini kita harus berintrospeksi dan kedepan turut andil dalam menghilangkan budaya koruptif tersebut dari hal sekecil sekalipun. Tidak masalah jika nilai siswa rendah, mereka harus terbiasa legowo dengan kemampuannya, sehingga akan terbentuk jiwa pembelajar yang terus meningkatkan kemampuan dirinya ketimbang memperoleh nilai yang tidak merepresentasikan kemampuannya. Tidak masalah kita tidak lulus jurusan yang diinginkan, masih ada kesempatan dari jalur lain yang bisa kita coba sembari terus belajar ketimbang masuk ke jurusan tersebut karena 'dekkeng'. Biarkan mereka berhasil dengan usaha dan pikirannya sendiri, bentuklah karakter jujur, kompetitif, dan tidak melulu bergantung kepada orang lain. Watak yang menjadi tameng dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Kita, selalu menganggap kesalahan dan kekurangan itu sebagai kelemahan, padahal dari kesalahan itulah kita bisa tahu pada titik mana kemampuan kita dan apa yang perlu kita benahi. Kita, selalu menjadikan eksistensi dan penilaian orang lain sebagai faktor tunggal kesuksesan sehingga segala cara dilakukan untuk memuluskan capaiannya.
Pada akhirnya, korupsi akan selalu ada sejalan dengan perilaku simplifikasi, oportunis, dan pendek akal. Jalan untuk mencegah korupsi di masa depan adalah dengan mengubah cara pandang dan kebiasaan kita, dimulai dari diri sendiri dan ditularkan kepada orang lain.