Kenapa
dan Bagaimana Aku Menghafal Al-Qur'an (Pengalaman nyata Prof. Dr. Ir. Kudang
Boro Seminar, Msc. yang menghafal Al-Quran di usia 40 Tahun)
Semuanya
bermula saat aku masih kuliah di IPB, Institut Pertanian Bogor. Pada suatu
kesempatan, aku dan teman sekelasku mendapatkan tugas yang-mungkin- bagi
sebagian orang sangat sepele, tapi tidak untukku.
Dosen
menyuruh kami untuk menulis Surat Al-Fatihah dalam bahasa arab. Aku yang saat
itu adalah mahasiswa yang sangat buta atau bahkan tidak memiliki basic agama
sama sekali, hanya bisa diam membisu. Ya, aku terlahir bukan dari keluarga
pesantren, juga keseharianku tidak begitu bergelut dengan yang namanya kajian
keagamaan. Jangankan Surat Al-Fatihah, huruf hijaiyah pun tak ada yang aku
hafal. Kala itu aku benar-benar tersudutkan. Sampai waktu yang diberikan
selesai, lembaranku tetap saja putih bersih tanpa ada goresan pena sedikitpun.
Aku hanya berharap semoga dosen mengerti kedaanku, keadan yang tak tersentuh
pendar-pendar keislaman ini.
Jujur!
Hari itu benar-benar membuatku terusik. Peristiwa itu seakan telah
menjorokkanku ke dalam lubang yang paling dalam. Tapi kejadian itu tidak
berlalu begitu saja dengan peninggalannya yang sangat menyakitkan itu. Ada satu
hal yang membekas dalam fikiranku dan sepertinya aku harus benar-benar
membidaninya. Ya, aku ingin belajar Al-Qur’an.
Saat
itu tak banyak yang ingin aku kuasai dari yang namanya Al-Qur’an. Aku hanya
ingin belajar membacanya. Ya, sebatas membacanya. Aku mulai menyisihkan waktu
untuk mengeja huruf-huruf Tuhan itu. Bahkan saat aku tengah menempuh perjalanan
dari Jakarta-bogor dengan bus, sesekali aku juga mendekte lisanku dengan
huruf-huruf suci itu. Entahlah ! Kekuatan apa yang merasuk ke dalam
saraf-sarafku hingga aku begitu menggiati kebiasaan yang tak pernah aku jalani
sebelumnya. Dan setelah beberapa lama -akhirnya- upayaku benar-benar berbuah
manis. Meski tidak sempurna, tapi aku sudah bisa membacanya. Sebuah pencapaian
yang menurutku sangat memuaskan.
Tapi
taqdir membawaku ke alur yang sedikit berkelok. Setelah lulus sarajana dari
IPB, aku ditugaskan ke Kanada dalam rangka kuliah lanjutan di Bidang
Tekhnologi. Aku yang lulusan Institut Pertanian kemudian harus mendalami
tekhnologi yang –sejatinya- bukan fakku, tentu ini akan menjadi proses panjang
yang banyak menyita kesabaran dan menghadirkan keluh yang mendalam.
Dan
itu benar-benar terjadi. Hari-hariku di Kanada penuh dengan tekanan batin dan
masalah-masalah yang membuatku rentan depresi dan setress. Tidak hanya masalah
kuliah yang bukan fakku, tetapi kultur yang begitu bebas dan jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan yang beradab juga menjadi beban pikiranku. Aku kawatir
kalau-kalau aku terlarut di dalamnya. Dan satu lagi, kebiasaanku menyelisik
ayat-ayat Tuhan juga semakin terkikis. Hm…panorama Kanada dan karakteristik
Kanadian tak bersepaham dengan nuraniku.
Namun
selang beberapa tahun, tepatnya 4 tahun keberadaanku di Kanada, babak baru
dalam hidupku dimulai. Dalam ketidakstabilanku dan lalaiku pada kitab-Nya,
Tuhan mempertemukanku dengan mahasiswa berdarah Sudan, Yahya Faddallah
Al-Hafidz. Aku sering memanggilnya dengan sebutan Brother Yahya. Dia seorang
hafidz (hafal Al-Qur’an), teguh dan berkomitmen terhadap agamanya. Sehingga
sering sekali aku menemukan dan mendengar lantunan ayat-ayat Tuhan keluar dari
kedua bibirnya. Bahkan saat berdialog dengan teman sejawat pun, ayat-ayata
Tuhan sering kali mewarnai perkataannya. Dialah yang akhirnya mengajariku untuk
kembali mengeja ayat-ayat Tuhan.
Hari
demi hari aku belajar padanya. Dan aku baru tahu, bacaan Al-Quran yang dulunya
aku anggap cukup baik ternyata tidak seberapa benar ketika aku perdengarkan
pada Brother Yahya. Dari situlah aku mulai tertantang. Ada rasa keingintahuan
yang mendalam dalam benakku, tentang bagaimana seharusnya Ayat-ayat itu dibaca.
Sesekali
aku juga mulai mencari-cari keistimewaan yang tertabiri dibalik ayat-ayat
Al-Qur’an. Dan lama-kelamaan aku pun bisa menyingkap tabir kerahasiann itu,
meski hanya sedikit. Aku menemukan ayat tentang Al-qur’an sebagai obat (Syifa’)
untuk segala jenis penyakit (QS. Al-isra’ :82). Diam-diam aku seperti ingin
menguji kebenaran Al-Qur’an. Setiap kondisiku diganjali masalah, selalu aku
upayakan untuk membaca Al-Qur’an. menjadikan Al-Qur’an sebagai obat dan pelipur
lara. Dan sungguh Allah dzat yang Haq dan Ahaq. Selalu saja aku temukan
solusi-solusi saat aku menghadapi masalah dan aku lari pada Al-Qur’an.
Tidak
sampai di situ. Aku juga mulai mencoba mengait-ngaitkan dan menganlogikan kitab
suci itu dengan apa yang ada di sekitarku. Pernah suatu kesempatan aku berpikir
bahwa komputer itu tanpa adanya operating system tak ubahnya seperti bangkai
yang tak berguna. Hanya seonggok besi yang didesign apik tapi tak menampakkan nilai-nilai
kebermanfaatan sama sekali. Lalu aku pun berpikir bahwa manusia juga mesti
memiliki operating system. Karena dari operating system itulah manusia kemudian
bisa memotretkan nilai-nilai kebajikan. Dan klimaksnya, Tuhan kemudian membuka
pikiranku untuk menjangkau Kalam-Nya. Sehingga aku diketemukan dengan ayat yang
secara tegas mengatakan bahwa islam itu adalah agama satu-satunya yang diterima
Tuhan (QS. Ali-Imran : 19). Dan sejak itu kusimpulkan bahwa operating sytem
yang mengatur manusia adalah Al-Islam. Ya, islam dengan kitab sucinya,
Al-Qur’an.
Rupanya
pemikiran itu benar-benar kuseksamai. Sehingga dia merasuk ke dalam hatiku dan
membentuk bias semangat yang dahsyat. Aku semakin tertantang untuk memperdalam
Al-Qur’an. Dan diam-diam aku mulai tertarik untuk mengikuti jejak Brother
Yahya. Aku ingin menghafal Al-Qur’an, menjadi Hafidzul Qur’an seperti Brother
Yahya.
Tapi,
lagi-lagi Tuhan menggariskan berbeda. Dia belum menghendakiku untuk menghafal
ayat-ayat suci-Nya. Kala itu, mungkin hatiku belum begitu bersih, sehingga
nampaknya Tuhan belum mengizinkanku untuk mengecup firman-Nya. Ya, keinginan
untuk menghafal Al-Quran itu muncul berbarengan dengan habis kontrak masa
studiku. Sehingga aku harus kembali ke tanah kelahiran. Praktis, akan ada jarak
yang menengahi perjumpaanku dengan Brother Yahya dan tentu aku tidak bisa lagi
belajar padanya. Tapi apa hendak dikata. Ketetapan Tuhan sudah digariskan dan
tidak ada yang dapat mengubahnya. Mungkin yang bisa kulakukan saat itu hanya
berusaha menyelaraskan keinginan dengan apa yang dikehendaki Tuhan. Berpositif
thinking dan tidak mengkritisi keadilan-Nya.
Setelah
kepulanganku dari Kanada, aku mulai disibukkan dengan profesi baruku sebagai
dosen di IPB. Dan hari ke hari kesibukan demi kesibukan semakin memadati list
agendaku. Tapi aku sangat bersyukur, meski kesibukan semakin menggunung,
keinginan untuk menghafal Al-Qur’an rupanya tetap bersemayam dalam hati
kecilku. Selama tujuh tahun keinginan itu hidup tanpa bapak. Karena hanya
sebatas keinginan belum ada upaya untuk mewujudkannya sebab belum ada orang
yang membimbingku. Sampai akhirnya aku diketemukan dengan KH. Mohammad
Mudzaffar Al-hafidh. Beliau seorang Hafidz Qira’ah Sab’ah (tujuh model bacaan
Al-qur’an) dan pimpinan pondok yang memiliki banyak santri dan semua santrinya
adalah penghafal al-qur’an.
Dari
pertemuan itu aku mulai menganyam kembali keinginan besar itu. Kuutarakan pada
KH Mudzaffar perihal keinginan itu dan Alhamdulillah beliaupun mendukung
sepenuhnya dan bersedia membimbingku. Lalu beliau menyuruhku untuk menghatamkan
Al-Quran bin Nadhar (melihat) di hadapannya sampai tiga kali sebelum akhirnya
aku diperbolehkan menghafal. Tak banyak yang aku tanggapi dari titah sang guru.
Walau berat dan pastinya membutuhkan waktu yang lama, ku-iyakan saja perintahnya.
Satu yang menjadi keyakinanku saat itu, bahwa sebagai murid sudah selayaknya
aku mematuhi perintah guru selama tak menyeretku pada jurang kenistaan.
Dari
perintah itu, aku mulai menyisihkan waktu untuk membaca Al-Qur’an. Dan
pengalaman lama kembali kutekuni. Aku kembali memanfaatkan waktu perjalananku
dari Jakarta-Bogor yang –kurang lebih- satu jam itu untuk bersahabat dengan
ayat-ayat Al-Qur’an. Nyaris itu yang menjadi pekerjaanku selama di perjalanan.
Bahkan saat aku menyetir sendiri pun, aku selalu menyalakan murattal agar
Al-Qur’an bisa kudengarkan. Dan Alhamdulillah, proses yang memakan waktu 3
tahun itu akhirnya bisa kutaklukkan. Dan akhirnya, tepat saat umurku menginjak
kepala empat, aku sudah hatam Al-Qur’an bin-Nadhar di hadapan KH. Mudzaffar,
dan secara otomatis aku diperbolehkan menghafal Al-Qur’an.
Saat
itu aku benar-benar merasakan prestasi yang besar, jauh lebih besar dari
prestasi doktor dan professor yang selama ini telah aku dapatkan. Kini aku
tengah maniti jejak sahabatku, Yahya Faddallah Al-hafidz, sebagai penghafal
Al-Qur’an. Meski usiaku telah berumur dan kesibukan semakin menjamur, tapi aku
tetap menekuni proses menghafal Al-Qur’an.
Bahkan
sepertinya aku sudah semakin candu dengan Al-Qur’an. Sehingga sesibuk apapun
pekerjaanku selalu saja aku menyempatkan diri untuk menambah hafalan dan singgah
di kediaman KH. Mudzaffar untuk simaan. Walau sebenarnya beliau tak memaksaku
untuk selalu sima'an, tapi aku selalu berupaya untuk istiqamah dalam menambah
hafalan dan sima’an. Dari satu ayat, dua ayat, tiga ayat, satu halaman, dua
halaman, satu surat kemudian beralih ke surat berikutnya, berikutnya dan
berikutnya sampai akhirnya tepat di usiaku yang ke 45 tahun, aku berhasil
mengecup firman-Nya.
Ya,
aku bisa menyelesaikan hafalan Qur’anku lengkap 30 juz. Semacam aku tidak
percaya. Perjalananku selama ini yang aku anggap berkelok-kelok nyatanya sangat
indah dan berbekas.
Kini, proses menghafalku telah usai tetapi perjuanganku untuk mensahabati
Al-Qur’an masih terus berjalan dan akan terus berjalan hingga aku menutup mata.
Sebari terus menjaga hafalan yang telah terukir rapi di dalam jiwa, aku
berupaya untuk meluruskan langkah agar tidak menyelisihi nilai-nilai qur’ani.
Sangat
naïf rasanya, saat ayat-ayata-Nya telah terpatri dalam hati, tapi tidak
sedikitpun dipendarkan dalam elok prilaku. Semoga Allah tetap menjagaku dari
terjerumus ke dalam lingkar syaitan. Ya Allah! jangan jadikan Al-Qur’an bagiku
sebagai sebab murka-MU karena aku melalaikan dan melupaknnya. Tetapi jadikan
Al-Quran sebagai sebab keridhoan-Mu akan diriku karena aku bersahabat dan
berprilaku atas tuntunannya. Amien!
__________________________________
• Tulisan ini berdasarkan penuturan langsung Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar,
Msc. saat kunjungan ke Masjid Ar-rahmah, Sabtu 12 januari 2013, namun disajikan
dengan bahasa penulis (Mohammad Al Farobi). Semoga bermanfaat !
PROFIL SINGKAT
Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc
Guru Besar bidang Teknologi Komputer di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian (FATETA) dan Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam (FAMIPA), IPB.
Menyelesaikan
studinya pada strata S1 di IPB tahun 1983, dan strata S2 serta S3 di Faculty of
Computer Science University of New Brunswick Canada pada tahun 1989 dan 1993.
Bidang riset yang ditekuni mencakup Information Engineering, Software
Engineering, Intelligent Systems, Distance Learning, Internetworking,
Computer-Based Instrumentation & Control Systems.
Sejak
menyelesaikan studi doktornya, mendapat amanah untuk menjadi Ketua Departemen
Teknik Pertanian IPB (1997-2000), Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu
Keteknikan Pertanian IPB (2000-2003), Kepala Bagian (Lab) Ergotron( 2008-kini),
Kepala Perpustakaan IPB (2003-2007), dan Direktur Komunikasi dan Sistem
Informasi IPB (2007-kini).
Terlibat
dalam tim desain & implementasi pembentukan Departemen Ilmu Komputer IPB,
Program Studi Magister Komputer IPB, Program Studi Manajemen Teknologi
Informasi untuk Perpustakaan IPB, pembukaan program Doktoral Jalur Riset Ilmu
Keteknikan Pertanian IPB, serta pembentukan rumpun Departemen Teknik di IPB.
Dalam
bidang keprofesian, menjabat Ketua HIPI/ ISAI (Himpunan Informatikan Pertanian
Indonesia/Indonesian Society of Agriculture Informatics) , presiden AFITA
(Asian Federation for Information Technology in Agriculture), dan anggota
PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian/ Indonesian Society of Agricultural
Engineering). Kesempatan menggali ilmu yang sangat berharga adalah kesempatan
menimba dan mendalami ilmu agama khususnya Al-Qur’an baik dalam membaca dan
mengkajinya sejak tahun 1996 hingga saat ini. Melalui bimbingan guru-guru yang
yang bersahaja (tawadhu’) dalam ketinggian ilmunya yang salah satunya
berperingkat hafiz (penghafal Al-Qur’an) tanpa meninggalkan profesi sebagai
akademisi, peneliti, dan pendidik.