Ketika
buku pertama kali ditemukan sekitar tahun 2400 SM di Mesir, wujud aslinya
tidaklah seperti apa yang biasa kita pegang saat ini, bentuk buku pada awalnya merupakan
hieroglif yang ditulis pada kertas papirus
yang digulung. Kalau kita membaca sejarah, buku yang ada pada waktu itu
tidaklah sekecil buku yang ada pada zaman sekarang ini, sebab buku yang ada pada
saat itu panjang gulungannya bisa mencapai puluhan meter dengan ketebalan
kertas yang tidaklah setipis kertas yang ada sekarang ini. Coba kita pikirkan,
kira-kira seperti apa aktivitas baca-tulis orang-orang terdahulu? Tidak mudah, bahkan
bangsa Sumeria membuat tulisan dalam media yang dikenal sebagai clay tablet yang terbuat dari tanah liat
yang berbentuk persegi dan kemudian ditulis dengan stylus, setelah clay tablet itu
ditulis, proses yang dilakukan selanjutnya adalah mengeringkan tanah liat tadi
dengan panas matahari ataupun dipanasi dengan api. Dari aktivitas ini, kalau
kita bandingkan dengan proses yang ada sekarang, tentu sangat jauh berbeda. Perbedaannya
bukan hanya dari segi proses pembuatannya, tapi juga dari efisiensi waktunya,
orang-orang terdahulu membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa mencetak atau membuat
satu buku saja.
Kita harus berterima
kasih terhadap apa yang telah dilakukan orang-orang terdahulu, sebab karena aktivitas
yang mereka lakukanlah sehingga orang-orang yang hidup setelahnya bisa
mengembangkan dan memodifikasi bentuk buku itu menjadi lebih efisien. Tentu,
peradaban yang berkembang seperti saat ini merupakan hasil akumulasi dari ide-ide
orang terdahulu, yang kemudian diabadikan menjadi suatu karya yang kita sebut
dengan buku (kitaabun), dan buku ini
memberikan fungsi kepada manusia sebagai media dalam memberikan pemahaman,
sebagai sarana pembelajaran. Itulah kenapa dikatakan bahwa buku merupakan
jendela dunia, sebab dengan membaca bukulah kita dapat mengenal Sphinx meski belum
pernah ke Mesir, mengenal tembok Cina, mengetahui apa yang ada di dasar laut
meski belum pernah menyelam, hingga memahami segala yang ada di semesta ini. Coba
bayangkan, jika ide-ide terdahulu itu tidak dibukukan, akan seperti apa dunia
saat ini? Stagnan, ilmu pengetahuan tidak akan berkembang karena usia manusia
yang terbatas, penyaluran hasil pemikiran itu akan terputus. Peran buku ini
tentu sangat luas, ia mampu mengubah peradaban dan memberikan ibrah bagi generasi masa depan. Itulah sebabnya
di dalam Islam, mengapa kitab Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi ini tidak lain ialah
untuk memberikan petunjuk bagi setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya, kitabun anzalnahu ilaika mubaraku li
yaddabbaru ayatihi wa li yatadzakara ulul albab, “Inilah kitab yang Kami
turunkan kepadamu yang penuh berkah supaya mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan
supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.”
Sekarang ini mungkin kita
hidup pada era dimana teknologi itu berkembang dengan pesat, ada gadget yang
senantiasa menemani kita dari tidur hingga bangun. Informasi bisa dengan mudah
kita peroleh, akan tetapi di satu sisi juga banyak dampak negatif yang
ditimbulkan dari perangkat ini. Kebiasaan membaca buku ini tentu semakin sulit
kita temukan saat ini, terlebih di daerah-daerah pelosok yang serba
keterbatasan. Berada dalam era globalisasi, yang segala informasi mudah untuk
diakses namun tingkat literasi malah semakin rendah, Indonesia dengan populasi sekitar
250 juta hanya memiliki tingkat minat baca 0,001 dan berada dalam ranking 60
dari 61 negara menurut survei yang dilakukan oleh UNESCO. menjadi tugas kita
bersama untuk bisa mengembalikan kebiasaan para pendahulu ini ke tengah-tengah
masyarakat, ada peribahasa Arab yang mengatakan, khoiru jalisin fi az-zamani kitabun, “Sebaik-baik teman duduk di
setiap waktu adalah buku”.