Bagi generasi millenial dan bahkan mungkin juga
beberapa generasi sebelumnya, bulan ramadhan tahun ini menjadi bulan ramadhan
tersulit dan berbeda dari bulan ramadhan tahun-tahun sebelumnya, pandemi
covid-19 mengharuskan kita untuk beristirahat sejenak dari interaksi sosial.
Pembatasan interaksi sosial atau di Indonesia dikenal dengan istilah Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB) mengharuskan kita untuk membatasi kegiatan di luar
rumah, kuliah di rumah, shalat wajib bahkan shalat jum’at yang diganti dengan
shalat dzuhur sudah sekitar 8 pekan dijalankan di rumah masing-masing, sulit
tapi itu mesti dilakukan untuk kebaikan kita bersama.
Kini, tidak terasa kita telah sampai pada
penghujung ramadhan, ada perasaan sedih memang bagi mereka yang setiap tahunnya
menjalankan momen idul fitri dengan berkumpul dengan keluarga besar,
bernostalgia bersama, saling maaf-memaafkan, hingga menikmati hidangan dari
satu rumah ke rumah yang lain. Tapi tentu yang utama adalah kita harus
mengambil hikmah dari peristiwa ini dan terus bersyukur atas keadaan yang
terjadi bahwa skenario Allah Subhanahu wa ta’ala akan indah pada
waktunya bagi orang-orang yang beriman dan bersabar.
Beberapa tahun yang lalu dan bahkan juga sampai
sekarang ini, kita membaca, mendengar, dan menyaksikan betapa sulitnya saudara muslim
kita di wilayah konflik Suriah, Palestina, Irak, dan Yaman menjalankan shalat ‘Id.
Alih-alih ikut meramaikan momen idul fitri, menjalankan ibadah puasa dengan
aman dan nyaman pun sudah menjadi hal yang sangat didambakan oleh setiap orang
disana. Sekarang dengan kondisi pandemi, kita mesti banyak belajar dan mengambil ibrah, bahwa kondisi ini masih jauh lebih baik dari saudara kita yang hidup di
daerah konflik yang kesehariannya diliputi dengan kelaparan, bunyi dentuman
bom, hingga berbagai macam penyakit.
Kondisi demikian memunculkan satu pertanyaan
besar, apa sebenarnya hikmah dari bulan ramadhan dan idul fitri? Meskipun tidak
bisa beribadah di masjid, tapi kita masih bisa intens beribadah di rumah masing-masing
selama bulan ramadhan ini, apakah ibadah yang giat ini hanya sebatas di bulan
ramadhan saja? Apa kewajiban kita selaku umat manusia dan juga sebagai makhluk
sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong saya untuk menelusuri buku,
artikel, ceramah/khotbah para asatidz yang bisa diperoleh melalui internet.
Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi (2015) dalam salah
satu tulisannya mengatakan bahwa dengan berpuasa seorang
Muslim sedang mengosongkan dirinya dari kecenderungan fisik manusia yang
umumnya didominasi oleh nafsu hewani (nafsu-l-ammarah bissu’). Dengan
memberhentikan makan dan minum dalam sehari maka kekuatan fisiknya akan melemah
dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani tersebut. Ketika jiwa hewani
melemah maka jiwa yang tenang (nafs al-mutma’innah) akan menguat dan
dominan. Dalam teori al-Ghazali ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh
nafsu hewani diganti atau dikuasai oleh akalnya atau oleh jiwanya yang tenang,
maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.
Sedangkan makna idul fitri, oleh ustadz
Bachtiar Nasir dalam khotbah idul fitrinya pada tahun 2013 di Masjid Kampus UI
Salemba menyampaikan bahwa esensi terpenting dari idul fitri adalah wala
allakum tasykurun, agar kalian (kita semua) bersyukur. Yang kaya
dipertemukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan yang miskin dalam
bentuk cinta silaturahim, yang kaya bisa menghapus kekeliruannya dalam setahun
dalam bentuk zakat, kenapa zakat fitrah harus ditunaikan sebelum khotib naik ke
mimbar? Agar tidak ada orang miskin yang tidak makan sebelum ditunaikannya shalat
‘Id. Makna sosial dari idul fitri tidak hanya sekedar bersyukur, tapi yang
penting adalah implementasi sosialnya, bagaimana nilai-nilai yang terkandung
dalam momen idul fitri ini mengejewantah dalam akhlak keseharian, umat Islam
harus membuktikan dirinya sebagai rahmatan lil alamin.
Salah satu sistem sosial yang direfleksikan
Islam adalah melalui ibadah zakat fitrah - Idul Fitri. Melalui Idul Fitri,
Islam menjadi kekuatan moral yang wajib dimobilisasikan oleh umat Islam untuk
memerdekakan masyarakat dari penyakit-penyakit sosial yang membebani kehidupan.
Seperti kolonialisme struktural-kultural, gaya hidup yang diliputi konsentrasi
mengejar kekayaan dan menanggalkan patokan etika atau dilanda kemiskinan hati
nurani dan jiwa kepedulian terhadap sesamanya.
Sayangnya, masih banyak umat Islam yang
menyikapi Idul Fitri sebagai “pesta” penebusan dosa, penebus segala kesalahan
dan kembali kepada kesucian jati diri. Dengan kata lain, Idul Fitri diartikan
secara skeptis sebagai kebutuhan yang bercorak individual dan kurang menyentuh
aspek pembangunan masyarakat (social building). Tidak salah, hanya saja
jika kita mencoba untuk menyelami maknanya secara komprehensif dan substansial
maka ada esensi yang jauh lebih besar.
Idul Fitri bukanlah sekedar penutup ibadah
puasa dan bukan pula “pesta” berakhirnya puasa. Ia justru menjadi gerbang
religi-humanis, yang akan mempertemukan manusia pada suatu kewajiban yang tak
kalah nilainya dengan puasa. Waktu sebulan dalam berpuasa, baru sebagai
prasyarat ruhaniah dan psikologis, agar seseorang yang sudah terbebani hukum (mukalaf)
mempunyai integritas moral guna membangun jati diri di tengah masyarakat.
Sehingga diharapkan pasca bulan ramadhan, ruh dan jasmani bisa fit kembali
dalam menjalankan aktifitasnya.
Shalat ‘Id yang merupakan substansi normatif
dari Idul Fitri, manusia diajak meningkatkan kualitas bergaul dengan Allah Subhanahu
wa ta’ala (hablumminallah) dan bukan sekedar sebagai ibadah temporer
dan pamer ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain, namun untuk
memperbanyak pujian kepada Dzat Yang Menguasainya dan merekonstruksi jiwa
kepedulian sosial.
Bangunan (konstruksi) lebaran pasca salat ‘Id,
terletak pada aspek sosial, institusi keluarga dan masyarakat marhamah (penuh
kasih-sayang). Melalui Idul Fitri ini juga Islam memberikan landasan normatif
atas perilaku manusia (human behaviour) untuk menjangkau manisnya nilai
ukhrawi dengan kekuatan nilai duniawi.
Idul Fitri mengingatkan kedudukan, peran dan
tugas-tugas manusia di sisi sesamanya, saudara-saudaranya dan asetnya bagi
kepentingan pembangunan. Manusia diingatkan untuk tidak terlena dalam sifat
memiliki dirinya sendiri dan kepentingannya dan dibangun untuk memiliki sifat
kepedulian. Peduli kepada orang-orang yang mungkin belum seberuntung kita.
Abdul Wahid dalam bukunya yang berjudul Islam
di Tengah Pergulatan Sosial (1993) bahkan menekankan agar sikap chauvanistik
dan tribalistik yang seringkali membawa imbas destruktif di tengah masyarakat
berusaha disembuhkan melalui paket lebaran ini. Manusia diajak melacak kembali
jalannya interaksi sosial yang sering diwarnai mobilitas gaya hidup yang keluar
dari jalur moralitas serta terstruktur secara dehumanisasi.
Referensi:
1.
Wahid,
Abdul. 1993. Islam di Tengah Pergulatan Sosial. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
3.
Nasir,
Bachtiar. 2013. Meluruskan Makna Idul Fitri https://www.youtube.com/watch?v=kxmmLNGUqxo, diakses pada 21 Mei 2020.
0 comments:
Post a Comment