Kita tentu sudah begitu familiar dengan perkataan Buya Hamka, “Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja hanya sekedar kerja, kerbau di sawah juga bekerja”. Apa maknanya? Buya Hamka hendak memberitahu kita agar menjalankan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya, manusia yang dibekali dengan akal sehat tentu mesti memiliki nilai lebih ketimbang kera yang merupakan binatang dan tidak memiliki akal sehat. Binatang hidup hanya dengan instingnya, mereka tidak mampu memilah antara yang benar dengan salah, sedangkan manusia semestinya bergerak atas dasar akal sehatnya, akan tetapi pada kenyataannya tidak sedikit juga dari kita yang bergerak tidak atas dasar akal sehat. Sebagai makhluk yang dibekali akal untuk berpikir tentu kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, saling menghargai satu sama lain. Terlebih kita tinggal di negara dengan ideologi pancasila, negara yang menghormati hak asasi tiap manusia, maka kita perlu untuk merawat ini bersama, gunakan akal kita sebelum bertindak.
Ada fakta menarik yang perlu kita ketahui bersama, jumlah kejahatan yang terjadi di Indonesia menurut Biro Pengendalian Operasi Mabes Polri (2015) mencapai 352.936 kasus meningkat 27.619 kasus dari tahun sebelumnya dengan selang waktu terjadinya kejahatan yakni 1 menit 29 detik. Jumlah yang tidak sedikit di negara dengan ideologi pancasila ini, “kemanusiaan yang adil dan beradab”, ini menandakan ada yang salah dari cara berpikir sebagian masyarakat kita. Dalam perspektif hukum kita mungkin ketahui bersama, bahwa perilaku kejahatan terkesan aktif, manusia melakukan kejahatan. Namun sebenarnya “tidak berperilaku” pun bisa menjadi suatu bentuk kejahatan, contohnya: penelantaran anak atau tidak melapor pada pihak berwenang ketika mengetahui terjadi tindakan kekerasan pada anak di sekitar kita.1 Dalam perspektif moral, perilaku dapat disebut sebagai kejahatan hanya jika memiliki 2 faktor: 1) mens rea (adanya niatan melakukan perilaku), dan 2) actus reus (perilaku terlaksana tanpa paksaan dari orang lain). Contohnya: pembunuhan disebut kejahatan ketika pelaku telah memiliki niat menghabisi nyawa orang lain, serta ide dan pelaksanaan perilaku pembunuhan dimiliki pelaku sendiri tanpa paksaan dari orang lain. Jika pelaku ternyata memiliki gangguan mental yang menyebabkan niatnya terjadi diluar kesadaran, contoh: perilaku kejahatan terjadi pada saat tidur atau tidak sadar, maka faktor mens rea-nya dianggap tidak utuh, atau tidak bisa secara gamblang dinyatakan sebagai kejahatan, karena orang dengan gangguan mental tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perilakunya (Davies, Hollind, & Bull, 2008).
Memang, kita tidak bisa memungkiri bahwa setiap negara pasti ada tindak kejahatan di dalamnya, akan tetapi kita juga tentu tidak boleh menolerir tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum ini. Seminimal mungkin, masyarakat dan pemerintah bergerak bersama dalam melakukan langkah preventif di tengah-tengah masyarakat, pembekalan anak dari usia dini dengan mengajarkan dan membina mereka, tidak hanya Intelligence Quotient (IQ) namun juga Emotional Quotient (EQ) dan Spirituality Quotient (SQ), kombinasi dari ketiganya inilah yang bisa memberikan masa depan yang lebih baik. Emotional Quotient (EQ) ini yang menciptakan hasil positif dalam relasi kita dengan orang lain, kalau dalam Islam dikenal dengan istilah hablumminannas (Hubungan dengan sesama manusia). sedangkan Spirituality Quotient (SQ) merupakan pusat dan dasar dari segala macam kecerdasan, ia akan menjadi sumber penuntun, kunci kepenuhan personal dan performa seumur hidup, hablumminallah (hubungan dengan Allah) kalau diistilahkan dalam Islam. Tanpa spiritualitas kita mungkin jadi kurang bergembira dan tak nyaman dengan kehidupan kita. Seberapa kaya pun kita, seberapa banyak pun materi yang kita kumpulkan2.
Ada yang mengatakan jika kebahagiaan kita diukur dari jumlah harta yang dimiliki, akan tetapi kalau kita perhatikan, para artis nasional maupun internasional, kebanyakan dari mereka justru banyak juga yang bercerai dengan pasangannya karena tidak merasa bahagia meski harta yang mereka punya melimpah. Gubernur Maluku Said Assagaf (2016) dalam rapat Telaah Program Keluarga Berencana dan Pengembangan Keluarga (KKBPK) mengatakan jika provinsi Maluku urutan ke-4 termiskin di Indonesia, namun provinsi Maluku juga menjadi provinsi dengan indeks kebahagiaan ke-2 di Indonesia3. Ini mengindikasikan bahwa tidak selamanya hidup dengan bergelimang harta akan membuat kehidupan menjadi bahagia, tergantung dari prinsip hidup kita dan bagaimana komitmen kita terhadapnya.
Berbicara tentang prinsip hidup, sebagai seorang muslim adakalanya kita coba membaca penjelasan Dr. Fathi Yakan dalam bukunya yang berjudul “Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?”, beliau menerangkan bahwa keberadaan kita sebagai seorang muslim menuntut agar menjadikan Islam sebagai prinsip hidup dalam beraqidah, ibadah, dan akhlak (baik untuk diri sendiri, rumah, maupun keluarga), maka ini berarti bahwa kita juga dituntut agar mengabdikan diri untuk Islam, mengarahkan hidup kita untuk Islam, dan menggunakan segenap kemampuan serta potensi kita untuk memperkuat kedudukan Islam dan mengangkat pilarnya. Dengan menjalankan perintah agama dengan baik dan benar tentu akan berimplikasi kepada cara kita memahami kehidupan, tindakan-tindakan yang kita lakukan yang berlandaskan Al-Qur’an dan sunah tentunya tidak akan bertentangan dengan apa yang menjadi aturan negara. Dengan bekal ini kita sudah bisa membantu mengurangi tindak kejahatan yang ada di negeri ini, sebab orientasi hidup kita bukan sekedar harta, tahta dan wanita.
Prinsip hidup yang telah dirumuskan dalam Islam setidaknya bukan hanya materi semata yang masuk di telinga kanan keluar di telinga kiri, akan tetapi pengaplikasiannya dalam setiap elemen kehidupanlah yang penting. Saya rasa, banyaknya jumlah kejahatan yang terjadi adalah dampak dari kurangnya pemahaman dalam menjalankan perintah agama secara baik dan benar, dan sudah menjadi tugas kitalah yang telah memperoleh ilmu untuk menyampaikan ke masyarakat, ikut andil dalam melakukan pembinaan, saya optimis jika satu RT/RW ada pembinaan yang dilakukan oleh satu saja mahasiswa, kelak akhlak masyarakat kita akan membaik. Ini seharusnya yang menjadi prinsip kita dalam mengarungi samudra kehidupan ini, senantiasa menjadi manusia yang bermanfaat.
Referensi
1. http://psikologi.unair.ac.id/artikel-mengapa-orang-melakukan-kejahatan/, diakses pada 10 Juli 2017
2. http://student.cnnindonesia.com/inspirasi/20170222143418-454-195324/iq-eq-sq-sama-dengan-masa-depan-lebih-baik/, diakses pada 10 Juli 2017
3. http://regional.kompas.com/read/2016/08/26/12020031/.Pilih.Mana.Miskin.tapi.Bahagia.atau.Kaya.tapi.Menderita. Diakses pada 8 Juli 2017
https://c1.staticflickr.com/3/2916/33789342256_da1e56614f_b.jpg