Alam di sekitar kita bergerak dan berubah. Waktu terus
berjalan, dan bintang terus berputar sehingga perubahan-perubahan itu mewarnai
kehidupan kita. Ada malam dan siang, musim panas dan musim dingin, anak-anak
tumbuh besar, pemuda kian menua, dan kemajuan teknologi yang terus berubah
telah mengubah wajah dunia ini dan jadilah dunia ini sebuah kampung kecil.1
Telah banyak perubahan yang terjadi dengan begitu cepat di abad ke-21
ini, dan terlebih lagi sejak zaman Rasulullah. Tak jarang, kita menemui
perkara-perkara yang tidak ada di zaman Rasulullah, maka pertanyaannya ialah
bagaimana kita menyikapi semua persoalan itu? Tentu kita harus senantiasa
berpedoman kepada Al-Qur’an dan sunnah, adapun jika tidak ada dalilnya maka carilah
fatwa ulama mujtahid, merekalah sebaik-baik tokoh yang dapat dipercaya pendapatnya.
Akan tetapi dalam perkembangannya tentu tidak semua pendapat para ulama
mujtahid itu sama, adakalanya mereka juga berbeda pendapat, maka sikap kita
terhadap kedua pendapat maupun orang lain yang menjalankan pendapat yang
berbeda dengan kita ialah dengan tidak saling mencela. Yahya Bin Sa’id
mengatakan. “Orang yang berilmu adalah orang yang memiliki keleluasaan. Dan
selagi para pemberi fatwa berbeda pendapat, yang satu menghalalkan ini dan yang
lain mengharamkan itu, maka tidak boleh saling-mencela selama semua pihak
berpegang pada tsawabit sedangkan
ijtihad mereka terjadi dalam mutaghayyirat.”2
Sebelumnya kita perlu mengetahui arti dari tsawabit atau tsabit dan mutaghayyirat dari
apa yang sempat disinggung oleh Yahya bin Sa’id, dan juga sebagai pembuka dari
tulisan ini untuk memudahkan kita di pembahasan berikutnya. Tsawabit dan mutaghayyirat dalam bahasa inggris berarti stable dan alternative. Tsabit atau tsawabit adalah pokok dan sesuatu yang tetap, yang diciptakan Allah
untuk diikuti, bukan dimodifikasi dan dikritisi, seperti Al-Qur’an dan sunah. Tsawabitlah
yang menjaga eksistensi manusia dan tetap menjadikannya sebagai seorang
manusia. Tsawabit itu berupa
nilai-nilai yang mengatur kehidupan manusia. Ketika manusia hidup tanpa sebuah
nilai, bagaimana jadinya kehidupannya? Apakah hanya menggunakan hukum rimba
seperti yang ada di dunia politik dan ekonomi hari ini?3. Berbeda
dengan mutaghayyirat yang selalu
berubah, tidak ada dalil pastinya, dan condong pada perkara muamalah semisal
sosial, ekonomi, budaya, pendidikan serta politik. Oleh karena itu Imam Syafi’I
mengatakan bahwa mutaghayyirat adalah
sesuatu yang bisa ditakwilkan atau dikiyaskan4. Dua pengertian ini
mau tidak mau harus kita pahami, sebab realita kehidupan sekarang yang sangat
jauh berbeda dengan zaman Rasulullah tentu membawa kita untuk bisa menempatkan
dalil-dalil dalam ranah praktis kontemporer ini dengan tepat, sehingga kita tidak
terjebak dalam realita dan juga tidak menutup diri dari kehidupan sekarang ini.
Apalagi sebagai seorang aktivis dakwah, tentu sangat perlu untuk menanamkan syakhsiyah da’iyah wal Islamiyah (kepribadian
da’I dan Islam) yang sifatnya tawazun (proporsional)
dan tawassuth (moderat), sehingga
menghindari diri dari sifat ghuluw (berlebih-lebihan
dan ekstrem) dan tasahul (menggampangkan
dan memudah-mudahkan).
Dalam lingkungan kampus, ambillah contoh aktivitas di
perpolitikan kampus. Kita memahami bahwa memilih pemimpin secara langsung dalam
hal ini mencontreng calon presiden mahasiswa adalah aktivitas yang tidak
terjadi di zaman Rasulullah, begitu juga di zaman khulafaur-Rasyidin, apakah dengan begitu kita lantas menjustifikasi
pemilihan secara langsung ini sebagai hal yang buruk? haram? Tentu kita juga
mesti memahami kondisi yang ada sekarang ini, bahkan jika setiap mahasiswa
muslim bersikukuh untuk tidak terlibat di dalam perpolitikan kampus maka
dampaknya adalah kebijakan-kebijakan yang ditetapkan akan semakin jauh dari
nilai-nilai Islam terlebih jika presiden mahasiswa yang terpilih beserta
jajarannya adalah orang ammah atau
paling buruk yakni mereka yang dalam tanda kutip memusuhi dakwah. Tsawabit Dalam konteks ini yang perlu
kita ketahui ialah mencakup asas politik Islam, tujuannya, referensinya, dan
prinsip-prinsipnya. Dan aktivitas yang dilakukan juga harus sesuai dengan
prinsip-prinsip akhlak. Adapun mutaghayyirat
disini ialah partisipasi politik (musyarakah
siyasiyyah) yang kita lakukan, minimal partisipasi yang kita lakukan dengan
memberi dukungan kepada calon presiden mahasiswa yang hanif, dan lebih bagus lagi jika kita bisa ikut berpartisipasi di
dalam lembaga mahasiswa tersebut.
Sudah jelas bahwa setiap muslim mesti sadar dengan
identitasnya, harus berpartisipasi dalam mengemban amanah dakwah ini. Bahkan
kewajiban dalam menyeru kebaikan ini dijelaskan sendiri oleh Allah Subhanahu wa ta’ala di dalam Al-Qur’an,
“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”
QS. Luqman: 17. Jangan kemudian kita menutup diri dari realita kehidupan
sekarang, seorang aktivis dakwah mesti senantiasa berinteraksi tanpa
terkontaminasi. Islam adalah agama yang syumul
(menyeluruh), mencakup semua bidang kehidupan, jangan kemudian kita sekedar
memahaminya sebagai ajaran yang hanya dilaksanakan di masjid saja. Ada kutipan
yang cukup menarik "Umat Islam yang tidak peduli pada politik akan
dipimpin oleh politikus yang tidak peduli terhadap kaum muslimin."
Demikian perkataan Necmetin Erbakan, politikus Turki.
Referensi
1.
Ganiyyah An-Nanlawi, At-Tsabit wa Al-Mutaghayyir (Cet. 1: Dar
Al-Fikr, Damaskus: 2008), h. 9.
2.
https://id.scribd.com/doc/30917327/At-Tsawabit-Wal-Mutaghayyirat-Dalam-Tart-Asy
, diakses pada 4 Juli 2017
3.
Muhammad Qutb, Haula At-Ta’shil Al-Islami lil ‘Ulum
Al-Ijtima’iyyah (cet. 1; Kairo: Dar Asy-Syuruq, 1998), h. 109.
4.
Ibid. Dr. Shalah Shawi mengambilnya dari
Ar-Risalah karya Imam Syari’I halaman 560.
0 comments:
Post a Comment