Saya kira bangsa ini bukan tidak bisa menjadi bangsa besar, namun ia
hanya menunggu momentum untuk bisa melakukan terobosan besar, kita masih menunggu
munculnya para generasi yang hadir membawa gagasan konkret yang tidak sekedar
mengkritik namun juga turut andil dalam proses pembangunan, berani menawarkan
ide namun tidak putus semangat jika idenya tidak didukung para stakeholder sebab masih banyak jalan lain
yang bisa ditempuh, berani berbicara juga berani bertindak. Mereka yang
menawarkan inovasi terkait penghematan energi juga harus bisa memberikan contoh
bagaimana cara menghemat energi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya,
mereka yang mengajak orang lain untuk hidup sehat juga harus bisa mencontohkan
bagaimana caranya hidup sehat, dengan tidak merokok misalnya. Keteladanan
menjadi metode yang paling efektif dalam mengubah seseorang, tidak cukup dengan
perkataan saja.
Kritik tidak salah, hanya saja jika
kritik itu dibalut dengan rasa benci maka bukan titik temu yang kita jumpai
melainkan konflik yang berkepanjangan, bukan memberikan solusi malah
menimbulkan masalah baru. Kalau kita ingin memberikan kritik, yang dituju itu
argumennya bukan orangnya, kalau kata Prof. Rizal Ramli dalam salah satu acara
televisi “level kualitas pembahasan bangsa ini memalukan, semakin lama kita
makin tidak intelek, kualitas debat di sosial media norak, sangat personalize, bukan kontennya yang
dibahas, bukan asumsinya yang dibahas. You
should debate assumption not personality.” Itu yang sering kita jumpai di
masyarakat, satu hal yang dapat kita saksikan misalnya bahwa masyarakat tidak
dapat membedakan antara yang benar dengan yang menarik, mereka lebih tertarik
kepada semua yang menarik walaupun tidak benar.
Berita hoax mudah viral karena tidak
ada budaya tabayyun (mengecek
kebenaran informasi), sebab logika yang dipakai yakni yang penting sesuai
dengan apa yang mereka yakini dan menarik bagi mereka, benar atau tidak urusan
belakangan. Itulah sebabnya kenapa dalam masyarakat terkadang artis itu lebih
populer daripada tokoh intelektual atau ulama, karena yang satu menarik
sedangkan yang satunya lagi membawa kebenaran. Oleh karena itu, untuk mengubah
mindset ini yang kita perlukan adalah menggabungkan dua unsur itu sekaligus,
antara unsur benar dan unsur menarik, harus ada pesona pada kebenarannya.
Zaman telah berubah, informasi dapat dengan mudah kita peroleh, bayangkan
orang-orang dulu untuk bisa berkomunikasi jarak jauh dengan orang lain harus bisa
menunggu beberapa hari sampai suratnya sampai di rumah tujuan, itupun orang
yang dituju tadi mesti mengirim surat kembali dan memerlukan waktu berhari-hari
pula. Tapi tidak hari ini, balasan chat WA kita yang baru dibalas satu jam
setelahnya saja sudah terasa lama, kita hidup di zaman kecepatan eksponensial, real-time, setiap manusia menuntut
respon cepat. Kehadiran smartphone yang
pertama diperkenalkan ke publik pada tahun 2008 tentu mengubah kebiasaan lama
masyarakat dunia. Laporan dari Emarketer
(2014) menyatakan bahwa tahun 2013 jumlah pengguna smartphone aktif sebanyak 27.4 juta orang dan diprediksi akan
meningkat menjadi 103 juta pada tahun 2018, menjadikan Indonesia kokoh menjadi
negara keempat populasi pengguna smartphone
terbesar di dunia (di belakang China, India, Amerika Serikat). 103 juta
orang tentunya bukan jumlah yang tidak sedikit, jumlahnya hampir setengah dari
populasi masyarakat Indonesia. International
Telecommunication Union (ITU) menekankan perlu adanya perhatian khusus
terhadap generasi muda yang telah akrab dengan dunia digital, dikenal sebagai digital native atau generasi millenial. Di Indonesia lebih kurang 50%
total pengguna internet adalah digital
native (KOMINFO, 2018).
Bijak dalam perbuatan serta santun dalam perkataan menjadi harapan
bersama kepada generasi millenial,
generasi yang sejak lahir sudah kenal dengan smartphone. Sebab lewat jari-jari merekalah nasib Indonesia digantungkan,
dulu konflik global lewat adu fisik namun sekarang tidak demikian, konflik
antar negara bisa dipicu hanya karena sebuah tulisan. Perang kata-kata di
sosial media tak terhindarkan, kita jangan sampai terjebak dalam haters and lovers hanya karena apa yang
kita dengar dari orang lain tanpa kemudian paham apa yang sebenarnya terjadi. Kita
juga jangan menjadi manusia berkepala batu, hanya mau berbicara tapi tidak mau
mendengarkan, sulit menerima kebenaran. Dan terakhir, dari sekarang kita harus
belajar menggali wawasan kita, membuka mata kita untuk melihat realitas dunia dengan
kacamata dan pola pikir masa sekarang.