Kira-kira apa
yang membuat orang-orang anti berbicara tentang politik? Juga munculnya
pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh masuk ke dalam ranah politik,
segala sesuatu yang mengandung unsur-unsur rohani harus disingkirkan dari
politik. Selama ini, kita mungkin dibayang-bayangi sikap para politisi yang
kerap kali lebih mementingkan diri sendiri dan partai ketimbang janji yang dulu
mereka sampaikan kepada masyarakat. Akibat dari ulah beberapa oknum ini yang
kemudian membentuk stereotip bahwa seluruh politisi sama saja, hanya memikirkan
diri sendiri ketika sudah terpilih. Munculnya stereotip yang seperti ini tentu
menjadi masalah, karena ini berarti kita menyamakan mereka yang berjuang di pemerintahan
untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan mereka yang hanya mengikuti
hawa nafsunya. Secara tidak langsung tentu pendapat di atas membenarkan sikap pragmatis politisi yang antipati pada ajaran
agama, karena mereka yang taat pada agama dilarang untuk ikut serta dalam politik
praktis.
Pendapat Yusuf
Qardhawi yang dikutip oleh Khalif Muammar (2005) menegaskan bahwa pengikisan
agama dari politik berarti terkikisnya dari nilai-nilai murni, penolakan
terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan
masyarakat dikontrol oleh unsur-unsur kejahatan. Maka, dengan berhasilnya
proyek sekularisasi, yang terjadi nantinya adalah terkikisnya moralitas
manusia. Karena pada umumnya, esensi agama adalah meningkatkan moralitas
manusia. Sehingga tidak mengherankan jika dewasa ini kita banyak melihat manusia
yang tidak bermoral walaupun mereka berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled and yet uneducated. Oleh karena
penolakan dan pemisahan politik dari agama menurut beliau merupakan suatu
kejahilan.1
Konsep pemisahan
antara negara dan agama (sekularisme) pertama kali berkembang di eropa, diperkenalkan
oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846, ia menganggap sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada
prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Akar historis
dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah kristen di dunia
Barat. Di barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal
yang menyangkut masalah agama dan non-agama (bidang sekuler) yang diawali
dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di
satu pihak dan dogma kristen di pihak lain, ini terjadi pada abad 15 yang
dikenal sebagai renaissance, lambang
pembebasan masyarakat eropa dari kungkungan gereja. Dalam dunia Islam ideologi
ini tumbuh dan berkembang pertama kali di Turki yang dipopulerkan oleh Zia
Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka
pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di
Turki Utsmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya
pemisahan antara diyanet (masalah
ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan
sosial manusia).2
Di Indonesia sekulerisme
mulai merambah pada tahun 1808-1811, dibawa pertama kali oleh gubernur jenderal
Belanda Herman William Daendles pada tahun 1808-1811, yang hadir ke Indonesia
untuk menggantikan VOC yang telah bercokol hampir 200 tahun.3 Meskipun
tiap zaman ada gerakan penetrasi untuk menghalau paham tersebut, akan tetapi
kenyataannya sekulerisme itu tetap bertahan hingga saat ini. Tekanannya tidak
hanya dari eksternal saja, namun juga dari internal itu sendiri. Umat terpecah
belah oleh perbedaan pendapat para ulama, diantara mereka ada yang
memperbolehkan dan ada juga yang melarang. Sikap harokah Islamiyah yang ada di
Indonesia pun berbeda-beda. Sekulerisme ini terus berkembang, namun kita masih
disibukkan oleh perbedaan pendapat, tidak ada titik temu untuk mempersatukan
umat. Realita yang ada sekarang perlu menyadarkan kita bahwa zaman telah
berubah, perlu ada upaya untuk membantu menghadirkan tokoh yang berjuang atas
nama kebenaran dan keadilan. Apapun namanya wadah yang kita naungi, mau
jam’iyah mau jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk
"‘ibadatillaahi wahdah". Organisasi,
lembaga, maupun harokah, itu hanyalah wasilah kita dalam memperjuangkan kebenaran.
Ustadz Adi
Hidayat mengatakan bahwa kita mesti taat kepada pemimpin yang terpilih,
pemimpin yang terpilih adalah orang yang buruk dan kita tetap mesti mentaati
orang yang buruk. Aneh, tidak ikut memilih dengan dalih tidak ada calon yang
baik padahal melarang ikut partai politik karena Indonesia menganut sistem
demokrasi.
Jika orang-orang
shalih tidak ikut partai politik, berarti selamanya negeri ini dipimpin sama
mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, mereka yang tidak mampu bersikap
adil terhadap masing-masing golongan, dan paling buruknya yakni sebagaimana
yang kita saksikan belum lama ini betapa umat Islam diperlakukan berbeda dengan
yang lain. Hal ini tentu karena kekeliruan para pemangku kebijakan dalam
mengelola negeri ini.
Orang shalihnya
berdiam diri di masjid, seakan terpisahkan oleh persoalan-persoalan yang ada
di sekitarnya. Masjid terdistorsi perannya sekedar dijadikan tempat untuk
beribadah mahdhah saja, padahal Rasulullah
telah mencontohkan jika pada zaman beliau Masjid menjadi pusat peradaban.
Membahas negara di Masjid, membahas politik di masjid, membahas permasalahan
ekonomi juga di masjid. Dahulu Masjid berperan besar dalam pemberdayaan
masyarakat, sekarang sangat prihatin, masjid didominasi oleh para sepuh karena
para pemudanya sibuk memakmurkan cafe, mall, warnet. Lebih miris lagi karena
sekarang doktrin bahwa di Masjid dilarang berbicara tentang politik jadinya
mereka mencari ideologi lain di luar, mereka lebih kagum pada paham Marxisme,
liberalisme, sosialisme, maupun sekulerisme daripada ajaran agamanya sendiri. Lantas,
apa bedanya kita dengan orang sekuler maupun liberal jika kita juga kukuh
menolak Islam masuk ke dalam parlemen?
Referensi
1.
K. Muammar, Politik
Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi (Majalah Islamia, 2005), Tahun II,
Nomor 6, 99-102.
0 comments:
Post a Comment