Tidak bisa
dipungkiri bahwa kebutuhan energi nasional akan terus meningkat hingga tahun
2050 seiring dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk, gaya hidup, harga energi,
dan kebijakan pemerintah. Data dari BPPT (2018) menyatakan bahwa dengan laju
pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 6,04% per tahun dan pertumbuhan penduduk
sebesar 0,71% per tahun selama tahun 2016-2050 mengakibatkan laju pertumbuhan
energi final sebesar 5,3% per tahun, dengan kata lain kebutuhan energi
meningkat dari 795 juta BOE pada tahun 2016 menjadi 4,569 miliar BOE pada tahun
2050. Sektor dengan kebutuhan energi terbesar di Indonesia pada tahun 2016
adalah industri (282,3 juta BOE), transportasi (338,4 juta BOE), rumah tangga
(116,2 juta BOE), dan komersial (40,6 juta BOE). Sektor industri menjadi sektor
yang paling produktif dengan terus didorong perkembangannya agar bisa
meningkatkan perekonomian nasional, pangsa kebutuhan energi final sektor
industri meningkat dari 35,5% pada tahun 2016 menjadi 46,8% pada tahun 2050.
Meskipun demikian, kita tidak bisa menegasikan peran sektor transportasi, sebab
sektor ini yang mendukung aktivitas semua sektor pengguna energi, tanpa adanya
sektor ini akan berdampak pada terhambatnya aktivitas sektor lain. Kebutuhan
energi di sektor transportasi diproyeksikan mengalami pertumbuhan sedikit lebih
rendah dari sektor industri, yaitu 4,6% per tahun dan akan membutuhkan energi
4,6 kali lipat pada tahun 2050 dibanding dengan tahun 2016.
Sektor
transportasi dengan konsumsi energi yang cukup besar tersebut sudah menjadi permasalahan
sendiri, belum lagi ditambah dengan kontribusinya terhadap peningkatan emisi
gas rumah kaca dan kemacetan yang semakin parah. Sejak tahun 2013 hingga 2017
tingkat pertumbuhan dari kendaraan bisa diuraikan sebagai berikut: (a) mobil
penumpang dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 7,77%, (b) bis sebesar
2,35%, (c) mobil barang sebesar 7,59%, dan (d) sepeda motor sebesar 7,47%.
Peningkatan jumlah kendaraan terjadi pada semua jenis kendaraan setiap tahunnya
dan sepeda motor merupakan jenis kendaraan yang paling banyak digunakan oleh
masyarakat. Hal ini terlihat dari proporsi sepeda motor sebagaimana yang kita
lihat dalam keseharian kita, dimana persentasenya sebesar 81,58%, kemudian
menyusul mobil penumpang dan mobil barang masing-masing 11,18% dan 5,43% (Badan
Pusat Statistik, 2017). Pertumbuhan kendaraan di Indonesia yang terus meningkat
ini tentu membuat jumlah kendaraan di jalanan menjadi semakin banyak dan padat
sehingga akan berdampak pada hadirnya permasalahan baru di masa yang akan datang
bahkan sebagian diantaranya telah kita rasakan saat ini.
Dari fakta
pertumbuhan kendaraan yang semakin meningkat ini, peneliti tertarik untuk
menggali lebih dalam terkait relasi pertumbuhan transportasi dengan dinamika
yang terjadi di masyarakat dan pengaruhnya terhadap perilaku konsumsi energi
masyarakat.
Sejarah Kendaraan Bermotor di Indonesia
Zaman semakin berkembang dan hal ini berimplikasi
terhadap perubahan gaya hidup manusia. Masyarakat yang awalnya hidup dengan
cara tradisional, kini perlahan-lahan sudah bertransformasi dengan cara dan
perangkat yang lebih modern, hal ini disebabkan karena adanya perkembangan
teknologi. Khusus dalam sektor transportasi, perkembangannya juga terjadi
begitu cepat. Di Indonesia, orang pertama yang memiliki kendaraan bermotor adalah
orang Inggris, John C Potter, pada tahun 1893, yang bekerja sebagai Masinis
Pertama di Pabrik Gula Oemboel, Probolinggo, Jawa Timur. Potter memesan
langsung sepeda motornya ke pabriknya, Hildebrand
und Wolfmuller, di Muenchen, Jerman. (halaman 58-59 Bab III Sejarah Mobil
di Indonesia, 2014). Akan tetapi pada saat itu Potter merupakan satu-satunya
orang yang menggunakan kendaraan bermotor di Indonesia, karena sebagian besar
masyarakat masih menjadikan sepeda, delman, dan becak sebagai transportasi
mereka bahkan hal ini terus berlangsung sampai masa orde baru. Baru pada tahun
1961, ada 100 unit mobil jip Toyota kanvas masuk ke Indonesia, dibeli oleh
Departemen Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa. Dan selanjutnya
tahun 1975, Toyota Kijang bak terbuka dipamerkan di paviliun Toyota di arena
Jakarta Fair (halaman 98-118 Bab III Sejarah Mobil di Indonesia, 2014). Baru
ketika memasuki awal abad ke 21 ini, terutama pasca krisis moneter 1998,
kendaraan bermotor pribadi semakin banyak dimiliki oleh masyarakat karena
dipengaruhi kondisi perekonomian masyarakat yang semakin membaik dan inovasi
kendaraan yang semakin canggih dengan harga yang terjangkau.
Badan Pusat
Statistik (2017) menyatakan bahwa jumlah kendaraan yang beredar di jalanan pada
tahun 2017 ada sekitar 138 juta unit, dimana sepeda motor menjadi kendaraan
terbanyak yang dimiliki oleh masyarakat dengan 113 juta unit dan mobil
penumpang dengan 15,4 juta unit. Angka ini akan terus bertambah karena salah
satunya juga didukung oleh kebijakan Kementerian Perindustrian yang terus
mendorong industri manufaktur di Indonesia untuk terlibat aktif dalam melakukan
peningkatan ekspor guna dapat menguatkan struktur perekonomian nasional.
Terlebih jika kita melihat peta jalan Making Indonesia 4.0, dimana salah satu
dari lima sektor manufaktur yang akan ditingkatkan daya saing regionalnya
adalah industri otomotif dengan menggandeng perusahan otomotif ternama PT Honda
Prospect Motor (HPM) untuk terus meningkatkan investasi dan fasilitas
produksinya di Indonesia, saat ini Indonesia sendiri sudah menjadi negara
terbesar keempat dengan kapasitas produksi kendaraan Honda setelah Amerika
Serikat, China, dan Jepang. Perusahaan Industri yang beroperasi di Indonesia
terus didorong oleh pemerintah untuk melakukan penambahan investasi baru maupun
perluasan usaha, total produksi kendaraan bermotor hingga juni tahun 2019
mencapai lebih dari 600 ribu unit kendaraan dan oleh pemerintah berharap untuk
bisa merealisasikan target produksi 1,3 juta pada tahun 2019 dan 1,5 juta pada
tahun 2020 (KEMENPERIN, 2019).
Transportasi dan Mobilisasi Masyarakat Masa Kini
Semakin
berkembangnya zaman juga mempengaruhi mobilitas dari masyarakat, dewasa ini
tingkat mobilitas semakin meningkat seiring dengan aktivitas masyarakat yang
semakin beragam. Mobilisasi masyarakat yang semakin meningkat ini disebabkan oleh
banyak faktor diantaranya ekonomi, perubahan demografi, perjalanan pembangunan
di tengah globalisasi, dan perubahan lingkungan (Noveria, 2018).
Untuk bisa
memenuhi mobilisasi masyarakat yang semakin meningkat tersebut, maka kemudian
diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi, terutama untuk
wilayah perkotaan. Karena kecenderungan yang terjadi adalah bahwa semakin
meningkatnya jumlah penduduk disebabkan oleh tingkat kelahiran dan urbanisasi,
tingkat urbanisasi berimplikasi pada semakin padatnya penduduk yang secara
langsung maupun tidak langsung mengurangi daya saing dari transportasi wilayah
(Susantoro & Parikesit, 2004). Kerumitan persoalan ini menyatu dengan
variabel pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, sehingga sistem
transportasi yang merupakan elemen dasar infrastruktur sangat berpengaruh
terhadap pengembangan perkotaan untuk bisa menyelesaikan permasalahan akan
semakin padatnya penduduk.
Mobilisasi
masyarakat yang semakin meningkat tentu perlu diimbangi dengan penyediaan
fasilitas transportasi yang memadai, agar produktivitas masyarakat tidak
menjadi terhambat. Akan tetapi, kerumitan dalam transportasi publik bukan hanya
menjadi masalah pemerintah dan operator saja, melainkan juga masyarakat.
Fenomena yang muncul belakangan ini bahwa transportasi yang saat ini tersedia
belum bisa memberikan kenyamanan, keamanan, dan keterjangkauan dan masih
mengesankan biaya sosial dan ekonomi tinggi. Hal ini tentu berimplikasi
terhadap peminggiran masyarakat secara tidak langsung untuk melakukan mobilitasnya.
Kemacetan dan Konsumsi Energi Masyarakat
Kemacetan yang
kerap terjadi di kota-kota besar secara langsung menyebabkan peningkatan
pemakaian bahan bakar dan emisi gas buang kendaraan, dengan kata lain akan
memberikan pengaruh terhadap konsumsi energi masyarakat. Di Indonesia, pada
awal PELITA IV (1984) transportasi menghabiskan 39,7% dari konsumsi BBM
nasional (Dikun, 1999). Pada tahun 1996 angkanya meningkat menjadi 53,5% dan
pada tahun 1998 mencapai lebih dari 60%, dan pada tahun 2016 total konsumsi
energinya sebesar 43,5% dari total konsumsi energi nasional. Jika kita
bandingkan dengan negara lain, contohnya Jepang dengan konsumsi energi 0-25%
dari total konsumsi energi nasional pada tahun 1998 (Ohta, 1998) dan sebesar
23,3% pada tahun 2011 (Hiroyuki, 2017).
Isu kebijakan
pengembangan sistem transportasi sekarang dan ke depan adalah bagaimana setiap
negara memainkan perannya dalam bingkai sistem transportasi berkelanjutan (sustainable transportation). Kesadaran
bahwa kualitas lingkungan dan pengerukan sumber daya alam yang semakin
memprihatinkan, Roby Hervindo (2019) mengatakan bahwa Indonesia diperkirakan
akan kehilangan cadangan minyak bumi pada tahun 2030, hal ini terlihat karena
cadangan minyak bumi Indonesia saat ini hanya sekitar 3,3 miliar barel,
sementara konsumsi BBM terus meningkat mencapai sekitar 1,6 juta barel per
hari.
Penataan kota
perlu dilakukan terutama untuk bisa mengintegrasikan jalur transportasi antara
wilayah hunian dengan perkantoran maupun kawasan bisnis. Hal ini perlu
dilakukan untuk bisa mengefektifkan mobilitas penduduk dari satu tempat ke
tempat yang lain dalam skala yang besar dan durasi yang cepat. Nilam Atsirina
(2019) mengatakan bahwa salah satu konsep yang bisa menjadi opsi dalam
menyelesaikan permasalahan kemacetan dan mobilitas penduduk adalah dengan
menghadirkan konsep transit oriented
development (TOD), dimana konsep ini juga sudah banyak diadopsi oleh
beberapa negara berkembang. Transit
Oriented Development (TOD) sebagaimana didefinisikan oleh Calthorpe (1993)
adalah, “A mix use community within an
average 2000 foot walking distance of a transit stop and core commercial area.
TOD mix residential, retail, offices, open space, and public uses in a walkable
environment, making it convenient for residents and employees to travel by
transit, bicycle, foor or car.” Intinya bahwa konsep TOD ini bertujuan
untuk memberikan alternatif dan pemecahan bagi permasalahan pertumbuhan
metropolitan yang cenderung pada pola auto
oriented development. Harapannya ketika sistem penataan ini telah
terbentuk, dengan fungsi campuran (mixed
use), terjadi internalisasi pergerakan antara hunian, perkantoran dan
fungsi-fungsi lain dalam sebuah distrik yang tersentralisasi. Akumulasi pola
ini pada level regional diharapkan dapat menolong masyarakat untuk menggunakan
fasilitas transit ketimbang kendaraan pribadi, dengan demikian dapat
menyelesaikan permasalahan sprawling.
Kegagalan
sistem transportasi akan memberikan pengaruh kepada perkembangan suatu wilayah,
berakibat kemacetan, mempengaruhi efisiensi ekonomi perkotaan, produktivitas
masyarakat, dan juga pemborosan bahan bakar. Dengan banyaknya kendaraan di
jalanan dan berakibat kemacetan, tentunya membuat waktu yang dibutuhkan
pengendara untuk sampai ke tujuan akan lebih lama, sehingga ini memberikan
kerugian dari sisi waktu, pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak (BBM)
semakin besar, dan hilangnya produktifitas. Terkait dengan pengeluaran
pembelian BBM untuk kendaraan bermotor, dalam salah satu penelitian yang
dilakukan Mangatur, Edison dan Suandi (2018) di Kota Jambi ditemukan bahwa
potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan yang ditanggung Kota Jambi
mencapai 20 milyar rupiah
Tantangan-tantangan
tersbut menggarisbawahi akan perlunya mereformasi kebijakan transportasi untuk
mendukung kualitas kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan. Esensinya
adalah bagaimana memenuhi kebutuhan aktivitas masyarakat tanpa mengesampingkan
kebutuhan generasi mendatang.
Regulasi
Dalam hal aspek regulasi,
yang perlu mendapat perhatian adalah baik yang menyangkut tahap perencanaan dan
pembangunan infrastruktur maupun sistem operasinya. Dimana pendekatan yang
perlu dilakukan dalam menangani permasalahan menjangkau sisi penyediaan (supply) maupun sisi kebutuhan (demand), sebab tidak ada solusi tunggal
yang bisa dilakukan untuk menuntaskan permasalahan ini, melainkan perlu
tindakan-tindakan yang saling terpadu. Setiap langkah yang dilakukan menuntut
adanya suatu perencanaan yang saling terintegrasi. Keterpaduan suatu sistem
transportasi perkotaan paling tidak bisa ditinjau dari sisi-sisi kebijakan,
rencana dan program, pendanaan, aksesibilitas, dan pelayanan. Negara dalam hal
ini pemerintah mempunyai peranan penting dalam merancang konsep transportasi
publik. Dalam beberapa dekade belakangan ini terlihat dahsyatnya perubahan
politik-ekonomi menuju titik minimal peranan negara dan pada saat yang
bersamaan mencapai titik maksimal peran pengusaha. Ketika badan publik yang
menjadi sandaran kepentingan publik, maka pelayanan kepada publik mau tidak mau
didasarkan pada kemampuan finansialnya bukan didasarkan pada amanat
Undang-undang dan Pancasila atas hak-hak warga negara. Ketika dalam proses
pembuatan kebijakan melibatkan unsur kepentingan terhadap korporasi, tentu
biasanya pendekatan yang dilakukan yakni pelayanan yang diberikan kepada publik
hanya kalau korporasi tersebut memperoleh keuntungan dan korporasi tidak bisa
dituntut bertanggung jawab terhadap nasib warga negara yang tidak mendapatkan
pelayanan publik (Santosa, 2005). Kemandirian negara sebagai tuntutan dan
kebutuhan industrialisasi serta pembangunan ekonomi tumbuh bersamaan dengan
permasalahan transportasi publik perkotaan, hal ini dikarenakan konsentrasi
permintaan per-jalanan di wilayah kawasan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis
menyebabkan kemacetan lalu lintas yang parah dan membuat transportasi menjadi
penuh sesak.
Posisi pemerintah sebagai regulator yang mengatur
kepentingan masyarakat dan pengusaha menurut pengakuan dari Kasie Dishub Kota Surabaya
(2006) masih lemah. Hal ini bisa kita lihat dengan pemerintah yang selalu
menutup mata terhadap kecenderungan setiap individu untuk memiliki mobil
pribadi, pemerintah justru mengakomodasi supremasi transportasi pribadi
berbasis pemilikan kendaraan pribadi dengan membangun jaringan tol yang
sedemikian tersebar di tengah-tengah kota. Kurangnya perhatian terhadap
transportasi publik, yang dimana hal tersebut yang semestinya menjadi titik
fokus pemerintah dalam merumuskan kebijakan.
Pertumbuhan pada
sektor transportasi yang ditandai dengan semakin banyaknya kendaraan yang
beredar di jalanan berakibat kepada konsumsi energi bahan bakar minyak (BBM)
yang semakin besar pula. Hal ini terjadi karena dengan banyaknya kendaraan di
jalanan akan berakibat kemacetan dan membuat waktu yang dibutuhkan pengendara
untuk sampai ke tujuan akan lebih lama, ini tentu memberikan kerugian dari sisi
waktu, pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) semakin besar, dan
hilangnya produktifitas. Terkait dengan pengeluaran pembelian BBM untuk
kendaraan bermotor, dalam salah satu penelitian yang dilakukan Mangatur, Edison
dan Suandi (2018) di Kota Jambi ditemukan bahwa potensi ekonomi BBM yang hilang
akibat kemacetan yang ditanggung Kota Jambi mencapai 20 milyar rupiah, dimana
angka ini merupakan nilai yang sangat besar untuk kota yang termasuk sub-urban.
Belum lagi jika dilakukan penelitian yang sama terhadap kota-kota besar dengan
kemacetan yang cenderung lebih parah dan sering terjadi.
Daftar Pustaka
Anindhita. Yudiartono. Sugiyono,
A. (2018) Indonesia Energi Outlook 2018. Jakarta: Pusat Pengkajian
Industri Proses dan Energi (PPIPE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT).
Astuti, K. W. (2012) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat
Masyarakat dalam Memilih Angkutan Trans Jogja di Malioboro. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
Priadmaja, A.P. Anisa. Prayogi, Lutfi. (2018) Penerapan Konsep Transit Oriented Development (TOD) pada Penataan
Kawasan di Kota Tangerang. Jakarta: Program Studi Arsitektur Fakultas
Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Aminah, S. (2006) Transportasi
Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Surabaya: Universitas
Airlangga.
Sjafruddin, Ade. (2012) Pembangunan
Infrastruktur Transportasi untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis
Ilmu Pengetahuan. Bandung: Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut
Teknologi Bandung.
Mangatur.
Edison. Suandi. (2018) Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap
Pendapatan Masyarakat dan Aksesibilitas di Kota Jambi. Jambi: Program Studi
Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jambi.