Saturday, October 8, 2022
Visi Membangun Bangsa
Tuesday, October 4, 2022
Ilmu dan Akhlak
Bagi saya, salah satu barometer kemajuan suatu daerah bisa dilihat dari aktivitas di Perpustakaan Daerah atau Provinsi dan Masjidnya. Hari ini, kalau kita berkunjung ke daerah-daerah, tidak sedikit kita akan menyaksikan wajah perpustakaan yang gelap, sepi, dan seakan tanpa pengelolaan. Perpustakaan menjadi museum buku, hanya sebagai tempat penyimpanan buku tanpa ada kegiatan yang produktif disana. Belum lagi Masjid-masjid yang sepi oleh agenda-agenda produktif, seakan-akan Masjid hanya sebagai tempat untuk shalat saja, padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh untuk menjadikan Masjid sebagai pusat peradaban, beliau mengatur negara dari Masjid, agenda ta’lim juga dilaksanakan di Masjid, dan aktivitas sosial lain juga sering kali dilaksanakan di Masjid.
Kunci dari perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik ada pada tingkat literasi (ilmu) dan karakter (akhlak) nya. Dan jika melalui instrumen negara, Kedua ini bisa ditumbuh kembangkan dengan menghidupkan Perpustakaan publik dan Masjid (tempat ibadah), jadikan kedua tempat tersebut menjadi ruang yang inklusif dan menarik bagi semua kalangan. Disini, kehadiran negara akan membantu mengakselerasi masyarakatnya agar bisa lebih dekat kepada ilmu dan iman, sebab negara punya resources yang tidak sebanding jika dilakukan oleh individu.
Wawasan yang luas membantu kita untuk bisa melihat segala persoalan dari berbagai sudut pandang (science & dien), dari situ kita bisa menimbang-nimbang apakah itu benar atau salah, sehingga pada akhirnya kita bisa memberikan keputusan sesuai dengan apa yang kita pahami dan yakini berdasarkan landasan yang jelas. Persoalan saat ini adalah ketidakpahaman sering kali menjadikan masyarakat kurang bijak dalam bertindak dan terkesan gampang “dibodoh-bodohi”.
Masyarakat yang beradab, kalau kata Syed Naquib Al-Attas dimaknai sebagai masyarakat yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang memahami dan menunaikan keadilan, kejujuran dan kebaikan lainnya terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam masyarakatnya. Jika nilai-nilai ini berada di tengah-tengah masyarakat, saya yakin tingkat kriminal dan permasalahan-permasalahan sosial lainnya akan berkurang hingga hilang.
Bagi saya, pembangunan tidak melulu tentang bangunan fisik saja atau sesuatu yang tangible, manusia yang hidup di dalamnya-lah yang menjadi aset yang paling berharga yang perlu untuk dirawat dan ditumbuhkan, investasi terbesar harusnya kepada manusia itu sendiri.
Sunday, October 2, 2022
Visi Peradaban Islam
Wednesday, September 28, 2022
Berjuang Semampumu
Sunday, September 25, 2022
Realitas Dunia
Di usia yang ke
24 tahun ini, melihat dunia sekarang dengan problematikanya: pergaulan dan gaya
hidup anak, remaja, hingga orang dewasa yang semakin bebas dan seakan tanpa
batasan, sekat interaksi menjadi kabur, yang salah dibenarkan dan yang benar
disalahkan, tingkat kriminal semakin tinggi, isu LGBT yang mengglobal, syariat
dan budaya ketimuran semakin dijauhkan. Apa yang nampak saat ini janganlah dijadikan
sebagai alasan untuk kita berputus asa, namun perlu disikapi dengan pikiran yang
lurus dan hati yang bersih. Anggap itu sebagai dinamika dan tantangan
tersendiri dalam mengelola diri, keluarga, dan masyarakat. Sebab para Nabi dan
Rasul pun ketika menyampaikan risalah-Nya kepada umatnya saat itu menghadapi
banyak tantangan dan penolakan yang mana jauh lebih buruk dan kompleks
dibanding sekarang.
Para pemuda yang
hidup di zaman ini, untuk memahami realitas dunia tidak sesederhana memberikan
kesimpulan diagnosa “karena kurang iman”, tidak salah, namun perlu mekanisme
yang lebih detail dalam memahami persoalan tersebut, sebab kemajuan umat tidak
dibangun atas dasar tesis yang sederhana. Sejak dulu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan keteladanan bagaimana Ia menyikapi
berbagai persoalan, ambil contoh misalnya ketika persiapan Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam saat hendak hijrah ke Madinah, apa yang dilakukan oleh
beliau? Yang dilakukan adalah melakukan kalkulasi sosial, melakukan riset
secara detail, menganalisa geopolitik kota Madinah pada waktu itu. Ia dan para
sahabat mencari tahu tentang jumlah masyarakat yang mampu baca-tulis, komposisi
suku antara Aus, Khazraj, dan Yahudi, dominasi ekonomi, tingkat kemandirian
pangan pusat pertemuan sosial, tokoh-tokoh yang pro dan kontra terhadap Islam,
hingga cuaca dan kuantitas airnya. Mengapa beliau melakukan ini? Sebab semua
solusi keumatan akan bergantung dari data tersebut, inilah yang dinamakan
dengan Fiqhul Waqi (fikih realitas).
Apakah kita
menjadi menyerah begitu saja atas realitas hidup ini? Tentu saja tidak. Kekhawatiran
tentu ada, terlebih jika suatu saat nanti kita diberikan tanggungjawab untuk mengelola
keluarga dan anak-anak, apa yang harus kita lakukan? Proses pembentukan ini
dimulai dari rumah (keluarga) dengan dilandasi niat yang baik, lebih dari itu
kalau kata Ustadz Fauzil Adhim juga perlu disertai dengan keikhlasan dan iltizam
(komitmen) bersama, dimana semua proses ini tentu harus dibekali dengan
ilmu. Ilmu ini tidak sendirian, sebab keteladanan juga punya peranan penting.
Mari menyelami ilmu
sebelum menjalankan amal-amal berikutnya.
Saturday, September 24, 2022
Penolakan yang Berujung Penerimaan
Ada satu momen setelah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam wafat, saat itu para Sahabat berpencar, Bilal bin Rabah ke Syam. Suatu waktu Bilal kembali ke Madinah dan adzan kembali disana, waktu Bilal adzan, orang mengenali suara itu, seluruh orang Madinah datang, berkumpul, dan menangis untuk mengenang momen-momen mereka bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. Bilal bin Rabah yang dulunya seorang budak, menjadi salah satu Sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, bagaimana Ia bisa menciptakan momen emosional bagi seluruh masyarakat Madinah pada saat itu? Kalau kita menyelami kisah ini, saya kira ada satu pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Bahwa atas dasar cintalah fenomena ini bisa terjadi. Coba bayangkan, pada fase awal dakwah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam didominasi oleh penolakan, sampai-sampai banyak yang menginginkan agar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam berhenti berdakwah, tapi beliau tetap teguh dengan risalah yang Ia bawa. Jadi karena cintalah dan ini yang dimaksudkan di dalam Al-Qur’an, Fabimaa rahmatim minallahi linta lahum, yang membuat kita lemah lembut kepada orang karena kita ingin orang itu berubah menjadi lebih baik.
Terkadang, orang memberikan reaksi negatif terhadap ide-ide kebaikan yang kita bawa sebab mungkin mereka belum begitu paham dengan maksud kita sehingga menjadi salah paham. Oleh karena itu, sifat lemah lembut mesti seiring dengan sifat sabar (punya daya tahan), tahan terhadap hinaan dan kritikan. Meminjam istilah sekarang, kita jangan mudah "baper" jika dikritik atau dihina selama ide yang kita bawa adalah benar. Kesabaran atas setiap dinamika yang terjadi adalah bagian dari proses dalam mengantarkan pesan-pesan kebaikan itu, tidak melulu berjalan dengan mulus dan tanpa rintangan, maka bersabar dan terus istiqomah-lah.
Dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kita belajar untuk dapat kuat dan bertahan terhadap penolakan, sebab setelah penolakan itu ada cinta yang besar, penolakan yang berubah penerimaan dan cinta yang mendalam dari seluruh umatnya.