Oleh : Iyas Muzani, Teknik Fisika UGM
Hak Asasi Manusia (HAM)
kini tidak lagi menjadi keistimewaan bagi umat manusia, nyatanya, HAM masih begitu
‘asing’ bagi umat muslim di berbagai tempat di dunia ini. Kekerasan masih banya
terjadi dimana-mana, perang yang begitu besar di Timur Tengah, Suriah,
Afghanistan, Pakistan, Palestina, Irak, Yaman, hingga beberapa negara di Afrika.
Bahkan bisa dibilang di Suriah dan Myanmar terjadi pembantaian ras manusia (genosida).
Mirisnya, dari hampir semua konflik yang terjadi, umat Islam menjadi korban
pembataian terbesar. Jumlah korban yang tewas akibat konflik global sepanjang
tahun lalu diperkirakan mencapai 167.000 jiwa oleh laporan tahunan Lembaga
Internasional untuk Studi Strategis (IISS) pada tahun 2016. Sekitar sepertiga
dari korban yang tewas itu terjadi di Suriah, walau jumlah kematian di Suriah
menurun menjadi 55.000 jiwa. Laporan OCHA yang berjudul Fragmented Lives (2015) juga menyebutkan bahwa di Jalur Gaza, 1,8
juta warga Palestina menghadapi peningkatan permusuhan paling buruk sejak 1967
dengan lebih dari 1.500 warga sipil terbunuh, lebih dari 11.000 orang terluka
dan 100.000 orang terlantar. OCHA dalam laporannya juga menyebutkan bahwa 550
anak termasuk di antara korban tewas dalam peperangan itu.
Gagasan konseptual dulu
begitu disuarakan dan menjadi sejarah peradaban manusia pada Universal Declaration of Human Right 10
Desember 1948, yang jika mundur lebih jauh ke belakang sebenarnya juga pernah ada
Magna Carta pada 1215 oleh Raja John
Plantagenet, kemudian juga ada penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam Islam
sendiri, HAM bukanlah menjadi sesuatu yang asing dan juga tidak bertentangan
dengan Islam, syariah Islam selaras
dengan prinsip-prinsip HAM, bahkan gaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdakwah dilakukan dengan
cara yang sangat jauh dari pemaksaan, kekerasan dan intimidasi. Beliau Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada
tahun 622 bahkan menyusun perjanjian dengan semua suku dan kaumnya saat itu
yang dikenal dengan Piagam Madinah (shahifatul
madinah) untuk menghentikan konflik yang terjadi antara Bani ‘Aus dengan
Bani Khazraj di Madinah. Juga ketika pasukan Islam menguasai sebagian besar
tanah Arab, Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyampaikan pidato terakhirnya di padang Arafah yang
dikenal dengan nama pidato Haji Wada, beliau mengingatkan umatnya untuk tidak
melakukan intimidasi dan diskriminasi kepada kaum yang lemah dan minoritas
meskipun posisi umat Islam saat itu berada di pucuk kejayaan sekalipun.
Peristiwa lain yang tidak kalah penting juga pernah terjadi yakni adanya The Cairo Declaration on Human Rights in
Islam (Deklarasi Kairo tentang HAM Menurut Islam) pada suatu konferensi
Internasional HAM di Wina, Austria, tahun 1993, oleh Menteri Luar Negeri Arab
Saudi yang menegaskan bahwa Piagam itu merupakan konsensus dunia Islam tentang
HAM.
Dari sejarah kita belajar
untuk menghargai orang lain tanpa memandang suku, agama, ras dan warna
kulitnya. Memperjuangkan adanya Hak Asasi Manusia (HAM) adalah momen sejarah peradaban
yang tidak terjadi begitu saja, namun atas adanya rasa ketidaknyamanan terhadap
apa yang terjadi saat itu, kelas bawah dihinakan, kelas atas dimuliakan. Akan
tetapi sekarang pelanggaran akan HAM kembali terjadi, mirisnya para penggiat
HAM yang sering ‘bersuara’ kini seakan membisu, para eksekutif negara tidak
juga bergeming, menjaga ikatan politik masih lebih penting dibanding turut
memberi bala bantuan kepada korban genosida, mengeruk kepentingan dan menyisihkan
orang banyak. Entah kenapa, ketika umat Islam yang menjadi korbannya,
seolah-olah tidak ada yang terjadi, seakan tidak ada rasa kemanusiaan bagi umat
Islam. Apa yang coba saya utarakan disini adalah akibat pembantaian yang
dilakukan kepada rakyat sipil di Suriah dan Myanmar (Rohingya), terlepas dari
simpang siurnya kebenaran informasi yang tersebar di media sosial. Apa yang
terjadi di Aleppo? Saking parahnya, Dr. Ghatar memakai istilah apocalyptic wasteland, kondisi semrawut yang
dianalogikan seperti keadaan yang terjadi pada hari kiamat, tidak ada harapan, suara
tembakan dimana-mana, dentuman bom seakan menjadi makanan sehari-hari. Konflik
yang terjadi di Aleppo (Suriah), Jika memang dalam kondisi perang sekalipun
warga sipil tidak sepatutnya menjadi korbannya. Kontak senjata yang terjadi di
Aleppo (Suriah) yang dilakukan secara serampangan antara pemberontak dan
militer dengan menjadikan penduduk sipil (non-combatants)
target sasaran langsung sejatinya merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional.
Memang benar, ketika dalam kondisi perang korban sipil tidak dapat dihindari,
akan tetapi salah ketika warga sipil malah dijadikan sasaran terencana. Kita juga
turut berduka atas apa yang terjadi di Myanmar, bagaimana umat Islam Rohingya
seakan tidak diperlakukan sebagai manusia lagi, bahkan tokoh yang dilabeli
dengan nobel perdamaian di negeri tersebut diam tanpa kata melihat pembantaian
yang terjadi di negerinya. Maka, untuk siapa Hak Asasi Manusia itu? Suriah dan
umat Muslim Rohingya adalah sedikit dari sekian banyak konflik yang terjadi
pada umat Islam, kita tidak bisa memungkiri Indonesia bakal menjadi target
‘konspirasi global’ di suatu saat nanti, ada perkataan yang cukup menarik dari
peraih nobel perdamaian (1973) sekaligus mantan Menteri Luar Negeri AS
(1973-1977) Henry Kissinger, dia mengatakan “Control oil and you control nations; control food and you control the
people.” Konflik yang terjadi di suatu negara bisa jadi disebabkan karena
adanya kepentingan asing terhadap negara tersebut, memanfaatkan isu kecil
kemudian dibesar-besarkan dan memanfaatkan momennya.
[3] http://www.antaranews.com/berita/487532/korban-tewas-akibat-konflik-di-palestina-capai-angka-tertinggi, diakses pada 15 Desember 2016