Kita harus memahami bahwa wasilah yang kita tempuh
dalam berdakwah bukanlah karena jabatan, bukan karena kekuasaan, kita tidak
mengejar itu melainkan fokus kita adalah kebermanfaatan. Jabatan berbeda dengan
karya, berbeda dengan produktivitas, juga berbeda dengan kapabilitas. Bahkan
sering kali, jabatan-jabatan besar hanya menjatuhkan kita, menjatuhkan martabat
kita jika jabatan besar itu tidak sepadan dengan kemampuan yang kita miliki. Tanpa
jabatan struktural kita pun masih bisa bermanfaat bagi orang lain, menjadi pribadi yang
senantiasa menebarkan benih-benih kebaikan. Kita harus meluruskan bahwa
orientasi dakwah ini bukanlah pada besarnya jabatan yang diperoleh karena di
luar sana ada banyak orang-orang ‘kecil’ yang mampu memberikan manfaat yang
besar, yakin, kita bisa melakukakan kerja-kerja besar meski dengan posisi yang ‘kecil’
sekalipun. Kita mesti belajar dari kisah Uwais Al-Qarni, sosok yang meski tidak
terkenal di dunia namun sangat terkenal di langit, pemuda yang meski dengan
segala keterbatasan serta hidup miskin ia tidak lupa untuk berbagi kepada
tetangganya jika mendapat upah berlebih, dalam rapuh ia tetap peduli kepada
yang lain, rendah hatinya sehingga tidak nampak amalan-amalannya kepada orang
lain, ia tidak ingin dikenal oleh orang banyak. Maka tidak irikah kita kepada
beliau?
Sekiranya, kita harus sadar bahwa ketika dakwah telah
menembus sentral kekuasaan, dorongan hawa nafsu itu akan semakin kuat. Harta,
tahta dan wanita menjadi godaan-godaan yang akan membayang-bayang. Maka tak
pelak orientasi kita akan berubah dari apa yang sebelumnya diikhtiarkan. Wa kaana amruhuu furutha, bahwa urusan
seseorang menjadi berantakan (al faudhal
khaarijiyah) disebabkan oleh kekacauan yang ada di dalam dirinya (al faudhalad-dakhiliyah) yakni ketika ia
mengikuti hawa nafsunya dan lalai mengingat Allah Subhanahu wa ta'ala. Dorongan hawa nafsu yang
diikuti berdampak pada terjadinya disorientasi yang menimbulkan berbagai
kekacauan, ketidakteraturan dalam diri memberikan pengaruh pada ketidakharmonisan
dalam masyarakat bahkan bisa kepada keluarga. Kita datang dan pergi kepada
kekuasaan sebab itu semua hanyalah alat yang akan kita pakai untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, Wa quli’malu fasayarallahu ‘amalakum wa rasuluhu wal
mu’minun. Bekerjalah
kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu. (QS. At Taubah: 105)
Kita tidak lagi bicara figur, namun bicara ide dan
narasi, tidak bicara janji-janji, tapi bicara kinerja. Bekerja untuk satu tim (jama’ah) dengan target capaian
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, menjadi pedoman hidup
masyarakat dunia bukan untuk kejayaan pribadi. Bahkan ketika di dalam suatu
organisasi kita hanya fokus pada bagaimana agar bisa memperoleh jabatan, fokus
pada pencitraan diri, seolah-olah menjadi yang terbaik diantara yang lain,
namun lupa akan tujuan yang sesungguhnya, maka coba kita kembali kepada niat awal
kita, pekerjaan yang diamanahkan oleh orang banyak kepada kita, yang berharap menjadi
kontributor peradaban dunia yang baru, bukan perusak peradaban.
0 comments:
Post a Comment