Oleh Ust. Anis Matta..
Di negeri ini
sejarah diktatorisme belum lama berlalu. Sebagaimana negeri-negeri dunia ketiga
lainnya, sejarah pergantian kekuasaan selalu menyisakan tragedi; koruptor lama
pergi dan koruptor baru datang, diktator lama pergi dan diktator baru datang. Perilaku
politik tidak mengalami perubahan.
Negara-negara
yang mengalami transisi menuju apa yang disebut demokrasi selalu mengalami kendala pada cara mempertemukan
dua kebajikan; kebijakan yang menjamin kebebasan dan kebijakan yang menjaga
ketertiban. Selalu ada orang yang memanfaatkan kebebasan untuk melakukan
perusakan, tapi juga selalu ada ketidakmampuan mencegahnya dengan cara-cara
yang tidak merusak ketertiban itu sendiri.
Fakta-fakta
inilah yang membuat kecurigaan terhadap pemerintah menjadi beralasan, saat
mereka menjalankan agenda "memberantas terorisme" sekarang ini. Upaya
membereskan masalah keamanan dan ketertiban ini salah-salah memakan korban yang
terlalu mahal; demokrasi.
Ruang gerak
publik dipersempit oleh pendekatan keamanan yang rigid, dengan menggunakan
perangkat-perangkat intelijen yang bertujuan meningkatkan kontrol tapi
sebenarnya justru menteror masyarakat. Aparat keamanan akhirnya tidak memburu
"musuh masyarakat" (public enemy), tapi mengejar habis "musuh
penguasa" (enemy of the regime).
Perburuan
terhadap "musuh masyarakat" atau "musuh penguasa" akan
melahirkan pendekatan sekuriti yang sangat berbeda, terutama pada cara membuat
mensegmentasi potensi-potensi perlawanan dari masyarakat. Kalau yang dikejar
adalah "musuh masyarakat", maka yang diteliti adalah daya rusak
sebuah kelompok terhadap kepentingan publik. Tapi kalau yang diburu adalah
"musuh penguasa", maka yang diawasi adalah lawan-lawan politik
penguasa yang potensial.
Penguasa jadi
paranoid, dan akan menyeret rakyat ke dalam konflik-konflik politik
berkepanjangan. Segala upaya penegakan keamanan dan ketertiban akan jadi
kendaraan untuk menuai berbagai kepentingan politik, baik jangka pendek maupun
jangka panjang, misalnya dengan mendiskreditkan golongan tertentu untuk
kepentingan politik pada pemilu tahun 2004.
Agar demokrasi tak macet
Dalam perspektif
da’wah, demokrasi mungkin dikorbankan untuk kepentingan politik pihak tertentu,
dengan memanfaatkan agenda perang melawan teroris. Dengan pendekatan memburu
musuh penguasa, targetnya mudah ditebak; ummat Islam. Apalagi sejarah politik
negeri ini mencatat perseteruan yang panjang antara Islam dan sekuler,
khususnya dari kalangan nasionalis. Dan peta itu tampaknya tidak berubah hingga
saat ini.
Jika fakta itu
dikaitkan dengan berbagai kemajuan politik yang dialami ummat Islam dalam
proses demokratisasi di berbagai belahan dunia Islam,
jelaslah mengapa kontrol atas demokrasi selalu berarti kontrol atas ummat Islam.
Kebebasan yang diberikan demokrasi adalah bom yang meledakkan potensi sosial
politik ummat Islam. Begitu kebebasan dicabut oleh sebuah rezim, yang pertama
kali menjadi korban adalah ummat Islam.
Itulah sebabnya
menjadi penting bagi ummat Islam untuk memilah dengan tepat berbagai
kepentingannya, serta mengurut ulang secara bijak berbagai agendanya.
Sesungguhnya akar dari kerusakan yang menimpa dunia Islam adalah kezhaliman,
yang lahir dari kursi para penguasa diktator di dunia Islam. Kebebasan yang
tercabut menyebabkan potensi besar ummat Islam kehilangan ruang gerak, dan
karenanya tidak dapat mengekspresikan diri secara penuh.
Dalam konteks
historis seperti itu, tampaknya mempertahankan demokrasi sebagai sebuah sistem
jauh lebih penting dan strategis ketimbang berbagai upaya meraih kemenangan
politik sesaat. Apa yang kita perlukan dari demokrasi bukanlah sekedar mendapatkan akses kepada
kekuasaan. Yang kita perlukan dari demokrasi adalah memberikan "payung politik"
bagi ummat Islam untuk mengekspresikan diri secara bebas dan wajar.
Di bawah bendera
demokrasi ummat Islam dapat mengembangkan diri secara maksimal tanpa
dibayang-bayangi rasa takut, atau semangat balas dendam dan permusuhan dengan
penguasa. Di bawah bendera demokrasi ummat Islam tidak perlu terlibat dalam
konflik politik berkepanjangan dengan negara, konflik yang selama ini menguras
habis seluruh energi kita sendiri. Di bawah bendera demokrasi ummat Islam dapat berpartisipasi secara
politik tanpa terbebani sebagai perasaan sebagai warga kelas dua, atau perasaan
sebagai "orang lain" karena selalu dianggap tidak nasionalis.
Ummat Islam
membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun dirinya sendiri, lebih banyak
dari waktu yang dibutuhkannya untuk menghadapi musuh-musuhnya. Ummat Islam
membutuhkan waktu yang panjang untuk mengejar ketertinggalannya, lebih banyak
dari waktu yang dibutuhkannya untuk menghabisi lawan-lawannya. Dan untuk itu
diperlukan kebebasan serta ruang gerak yang luas dan nyaman. Tanpa itu, kita
hanya akan bergerak di tempat.
DR Yusuf
Al-Qaradhawi bahkan pernah mengatakan, "Kalau saja kita diberi kebebasan
selama 20 tahun untuk membina ummat, tanpa gangguan dan tekanan penguasa, atau
konflik dengan mereka, maka itu sudah cukup untuk mengembalikan kejayaan ummat
Islam kembali."
Memenangkan demokrasi jauh lebih penting dari semua kemenangan
lain yang mungkin raih saat ini. Hidup dalam alam demokrasi tanpa harus
berkuasa, saat ini jauh lebih strategis dari pada meraih kekuasaan melalui
konflik berkepanjangan. Toh setelah berkuasa kita harus membuktikan keunggulan
konsep Islam dan menepati janji-janji kita kepada publik. Sebab seringkali
kekuasaan berubah menjadi bumerang bagi kita sendiri; yaitu ketika kita tidak
cukup cekatan menggunakannya untuk membuktikan keunggulan Islam.
Mungkin karena
itulah, banyak pengamat politik Barat, seperti John L Esposito, mengatakan,
bahwa partai-partai Islam tidak perlu dikhawatirkan, sebab popularitas mereka
akan hancur sendiri begitu mereka berkuasa. Mereka tidak memiliki keterampilan
yang cukup untuk membuktikan janji-janji Islam.