Diskursus mengenai bonus demografi belakangan ini menjadi pembahasan yang sangat menarik sebab memunculkan optimisme akan kesejahteraan dan kelangsungan hidup orang banyak. Indonesia tahun ini 2020 hingga 2030 sedang menikmati bonus demografi, dimana kondisi ini terjadi akibat jumlah penduduk usia produktif lebih banyak kurang lebih 70% dibandingkan dengan usia non produktif sebesar 30%. Data dari Badan Pusat Statistik (2019) menyatakan bahwa pada tahun 2020 ini jumlah populasi dengan usia produktif Indonesia (usia 15-64) akan mencapai 179,1 juta manusia dan generasi millenial (usia 21-39 tahun) adalah sekitar 63,5 juta orang. Indikasi lain untuk mengetahui bahwa Indonesia tengah sedang menjalani bonus demografi ini adalah dengan melihat dependency ratio, dimana rasio ini mengukur perbandingan jumlah kelompok usia produktif yang mampu menanggung beban kelompok usia non produktif. Dependency ratio Indonesia pada tahun 2020 adalah sebesar 47,7%, artinya dari 100 orang yang berada pada kelompok usia produktif mampu menanggung beban 48 orang dari kelompok usia non produktif. Window of opportunity atau jendela peluang terbuka ketika dependecy ratio tersebut berada di bawah angka 50%. Angka ini jika dimanfaatkan dengan baik tentunya akan membantu pertumbuhan mesin perekonomian Indonesia, sebagaimana negara Jepang dan Korsel dahulu ketika memanfaatkan bonus demografi mampu mendorong pertumbuhan negara keduanya sehingga sekarang kita mengenal mereka sebagai negara maju dengan industri teknologinya yang unggul.
Jepang berhasil membuat kereta cepat pada tahun 1960 dan menjadi tuan rumah olimpiade pada tahun 1964, artinya mereka bisa bangkit dari keterpurukan 15 tahun pasca bom Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945. Korsel juga demikian, Korsel pada tahun 1950-an posisinya relatif sama dengan Indonesia, namun pada tahun 1990-an mereka meningkat menjadi negara dengan high income sedangkan Indonesia masih pada posisi middle income. Salah satu alasan dibalik kemajuan tersebut adalah konsep gerakan Saemaul Undong yang digagas oleh pemerintah Korea pada masa kepemimpinan Park Chung-hee (1961-1979), gerakan tersebut menjadi pondasi bagi pertumbuhan korea dari negara miskin menuju salah satu perekonomian terbesar di dunia saat ini. Gerakan Saemaul Undong merupakan gerakan pembangunan melalui pemberdayaan desa yang digerakkan oleh masyarakat dengan menekankan pada semangat ketekunan, swadaya, dan kerja sama. Saya pikir gerakan ini relatif sama dengan budaya yang kita kenal di Indonesia yakni budaya gotong royong. Intinya, bahwa kunci dari kemajuan Jepang dan Korsel adalah bahwa kedua negara tersebut mampu memanfaatkan bonus demografi dengan baik, mampu mengelola SDM yang ada sehingga bisa produktif dan membantu meningkatkan perekonomian negaranya.
Pengelolaan bonus demografi yang baik tentunya akan amat membantu dalam memajukan Indonesia, akan tetapi sebaliknya jika negara tidak mampu mengelolanya, justru dampaknya akan semakin memperbesar angka pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas. Kemungkinan ini dapat terjadi jika kelompok usia produktif yang harusnya bisa menjadi tumpuan untuk menanggung beban hidup kelompok usia non produktif justru tidak bisa memberikan dampak secara signifikan karena tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja.
Merujuk pada data BPS dalam rentang waktu 2013 hingga 2018, tingkat pengangguran di Indonesia masih didominasi oleh generasi Z & M dengan total 6 – 6,7 juta tiap tahunnya. Jumlah ini lebih banyak daripada total penduduk Singapura (5,6 juta), Qatar (2,6 juta), dan Finlandia (5,5 juta) pada tahun 2017. Sudah bagus Presiden Joko Widodo dan wakil presiden KH. Ma’ruf Amin pada periode kedua ini menjadikan pengembangan SDM sebagai salah satu program prioritas kabinet, bahkan yang terbaru gagasan yang coba ditawarkan pemerintah lewat omnibus law RUU Cipta Kerja. Akan tetapi RUU yang diusulkan tersebut hanya menitikberatkan pada kepentingan politik tanpa kemudian mempertimbangkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Masih terlalu dini untuk memutuskan, apakah keduanya mampu merealisasikan janjinya hingga akhir periode atau hanya seperti nawa cita yang sampai saat ini belum terdengar lagi kabar dan pencapaiannya seperti apa. Tentu sangat dinantikan gebrakan-gebrakan pemerintah agar para anak muda memiliki kesempatan yang besar dan menjadi engine of growth dalam menghadapi bonus demografi ini.
Referensi
1. https://www.qureta.com/post/bonus-demografi-vs-bonus-geografi, diakses pada 25 Februari 2020
2. https://ugm.ac.id/id/berita/11603-saemaul-undong-jadi-contoh-strategi-pembangunan-pedesaan, diakses pada 26 Februari 2020
3. https://www.cnbcindonesia.com/news/20190920104500-4-100893/ri-korsel-dulu-sama-sama-miskin-kok-sekarang-beda-nasib, diakses pada 26 Februari 2020
4. Ali, Hasanuddin & Purwandi, Lilik (2020). Indonesia Gen Z and Millenial Report 2020: The Battle of Our Generation. Jakarta Selatan: Alvara Research Center.
5. Utomo, W.P & Noormega, Rayi (2020). Indonesia Millenial Report 2020: Understanding Millenials Behaviours and Demystifying Their Stereotypes. Jakarta: IDN Research Institute
6. https://news.detik.com/kolom/d-4859980/demografi-yang-belum-menjadi-bonus, diakses pada 1 Maret 2020
0 comments:
Post a Comment