Oleh Ust. Dr. Saiful Bahri, Lc., M.A.
Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan satuan
waktu yaitu malam, pagi, siang, sore dan semuanya ala kadarnya. Frekuensi yang
paling banyak disebutkan adalah waktu malam, al-lail, sedangkan waktu
yang variannya paling banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah waktu pagi.
Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan waktu pagi
dengan Al-Fajr, ledakan hebat yang memecah dari kegelapan sebelumnya
malam. Kadang juga Allah menyebut dengan ash-subhi, al-gudhu,al-isyraq, al-falaq,
al-ghodad, al-ibkar, bukrotan, ad-duha. Ini masing-masing ada tematiknya,
jika al-fajr dimaknai sebagai menghentak orang-orang yang lalai pada
hari kebangkitan, ash-subh temanya adalah memberi harapan: was subhi
idza tanaffas, supaya orang-orang melupakan masa lalunya, nafas-nafas baru
agar orang bertaubat. Al gudhu, bergeliat di pagi hari. Al-isyaq, terbit
matahari dan hitungannya menit, sangat sebentar, maka Allah menginginkan kita
agar menggunakan kesempatan pada waktu-waktu itu. Al falaq, kejahatan
malam karena juga berarti pagi, supaya dihindarkan dari kejahatan malam.
Wal fajr, demi waktu pagi.
Wa layālin ‘asyr (dan [demi] malam yang sepuluh),
yakni dari awal bulan Dzulhijjah.
Wasy syaf‘i (dan [demi] yang genap), yakni hari ‘Arafah
dan hari Nahar. Wal watr (serta yang ganjil), yakni tiga hari
sesudah hari Nahar. Allah itu adalah tunggal dan Ia menyukai yang ganjil itu.
Wal laili idzā yasr (dan [demi] malam apabila berlalu),
yakni apabila beranjak. Ini adalah tema-tema bersemangat agar kita bersemangat
di waktu pagi, mandi di pagi hari, bekerja dari pagi hari, shalat 2 rakaat di
waktu pagi dalam kondisi bersemangat.
Hal fī dzālika (bukankah pada yang demikian itu), yakni pada
hal-hal yang telah Kuterangkan itu. Sumpah-sumpah yang disebutkan tadi hanya
untuk orang yang mau berpikir, kenapa pagi, kenapa ganjil. Sumpah ini akan
sangat berkesan dan berefek bagi li dzi hijr. Qasamul li dzī hijr
(terdapat sumpah bagi setiap yang berakal). Temanya supaya kita tidak
terjerembab dalam kehinaan, supaya kita tidak menyesal di hari kiamat. Hijr,
berakal, diambil dari kata dasar hajaro yang
artinya menahan dan kokoh, makanya hajar, batu, ia kokoh.
Orang yang berakal adalah orang yang sanggup
menahan, karena itu
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, Al kayyis man daana nafsahu wal amila limaa ba’dal mauut, orang
yang cerdas adalah orang yang mau menundukkan hawa nafsunya dan berpikir sangat visioner (mengkoreksi dirinya dan beramal sebagai bekal setelah mati). Wal
aajizu man atba’a nafsahu hawaaha watamanna alaulooh, Orang yang lemah (bodoh) ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan
berangan-angan kepada Allah (dosanya akan diampuni tanpa bertaubat).
A lam tarā kaifa fa‘ala rabbuka bi ‘ād, tidakkah kamu
merenungkan, bagaimana Rabb-mu telah Bertindak terhadap kaum ‘Ad?. Kaum ‘Ad ini adalah representasi
klimaks dari peradaban Batu.
‘Irama Dzātil
‘imād, yaitu kaum Iram
yang memiliki tiang-tiang.
Hari itu, kota Iram tidak ada bangunan seperti itu.
Allatī lam
yukhlaq mitsluhā fil bilād, yang belum pernah diciptakan bandingannya di
negeri-negeri lain.
Wa tsamūda Alladzīna jābus shakhra bil wād, dan kaum Tsamud yang
membelah batu-batu besar di lembah. Kaum Tsamud ini lebih dahsyat dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud jika melihat
batu dia tidak tahan, dia mengambil tempat tinggal anti mainstream di
gunung-gunung batu dipahat menjadi istana yang megah. Kaum Tsamud itu nenek
moyangnya kaum Nabateyan, karena kaum Tsamud sudah punah. Kaum ‘Ad dan kaum
Tsamud juga biasa disebut dengan Al arab al aribah/ba’idah, Arab asli
tapi sudah punah. Allah Subahanu wa ta’ala ingin mengatakan kepada kita,
wahai kaum yang punya peradaban besi, nasib kalian akan sama pada kaum di zaman
batu jika kalian mendustakan peringatan-peringatanku.
Wa fir‘auna Dzil autād, serta Fir‘aun yang mempunyai
pasak-pasak (tiang besar). Di dalam salah satu atsar-nya, Fir’aun itu
memiliki tiang-tiang besar di depan istananya, keempat tiang besar ini
digunakan untuk membunuh musuh-musuh politiknya atau siapapun yang ingin ia
bunuh.
Alladzīna thaghau fil bilād, yang telah berlaku sewenang-wenang
di negeri-negeri itu. Mereka dimusnahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala
karena telah melampaui batas dan tidak mau bertobat.
Fa aktsarū fīhā Al-fasād, yang menyebabkan kerusakan
dimana-mana.
Fa shabba ‘Alaihim rabbuka sautha ‘adzāb, Karena itu, Rabb-mu Menimpakan
cambuk azab kepada mereka.
Inna rabbaka La bil mirshād, Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar
mengawasi. Dimanapun kita, Allah pasti tahu, la bil mirshad. Menandakan tidak
ada satu orang pun yang bisa menghindar dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dimanapun
kita bersembunyi, tidak ada tempat yang tidak diketahui oleh-Nya.
Fa ammal iηsānu Idzā mabtalāhu Rabbuhū Fa
akramahū Wa na‘‘amahū Fa yaqūlu rabbī akraman, adapun manusia, apabila diuji oleh Rabb-nya,
lalu Dia Memuliakannya dan Memberinya kesenangan, maka ia akan berkata, Rabb-ku
telah Memuliakan daku.
Wa ammā idzā mabtalāhu Fa qadara ‘alaihi Rizqahū
Fa yaqūlu rabbī ahānan, namun, apabila ia diuji oleh Rabb-nya, lalu Dia Menyempitkan
rezekinya, maka ia akan berkata, Rabb-ku telah menghinakan daku.
Tabiat manusia jika ia dikasih lapang, harta,
maka ia percaya diri sekali bahwa Allah sedang memuliakannya. Tapi jika diberi
musibah, orang yang tidak punya iman akan punya persepsi bahwa Allah lagi bosan
dengannya. Ketika Allah memberi rezeki ketika kita lapang, jangan terlalu
percaya diri, karena rezeki baik itu materi maupun non materi semuanya adalah
ujian. Sehebat nabi Sulaiman pun juga merasakan ketika diberi nikmat ia
kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
0 comments:
Post a Comment