Lentera di pojok
rumah itu belum saja padam di tengah gelap dan sepinya desa kala itu, si kecil
di desa yang jauh dari hegemoni kemajuan perkotaan terus bermimpi untuk bisa
bersekolah setinggi-tingginya walau keadaannya sekarang yang pas-pasan, selain
itu ia juga mesti berhadapan dengan realita yang ia hadapi, bagaimana tidak,
satu per satu teman sebayanya di desa itu lebih memilih untuk menjadi kuli,
petani hingga pedagang dibanding harus bersekolah, sesuatu yang mereka
anggap tidak
bisa menjamin kehidupannya nanti. Tapi si kecil itu tetap saja optimis, suatu
saat nanti ia bisa mengubah kehidupan keluarga, teman, dan desanya menjadi jauh
lebih baik. Cerita ini nyata
dan ada di sekeliling kita, mungkin sering dijumpai di beberapa tulisan kisah
inspiratif teman-teman kita di jejaring media sosial mereka yang pantang
menyerah serta memiliki visi yang jauh ke depan. Perjuangan mereka untuk bisa
mengenyam pendidikan memang tidak mudah, bagi mereka pendidikan adalah gerbang
yang dapat menyelematkan kehidupan keluarganya, membawa ia ke derajat yang
lebih tinggi. Di sisi
lain, tidak sedikit pula yang menganggap jika bersekolah itu hanya
membuang-buang waktu mereka saja.
Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa jumlah pelajar SD di
Indonesia tahun akademik 2011/2012 sebanyak 27.583.919 orang, pelajar SMP sebanyak 9.425.336 orang, pelajar
SMA sebanyak 8.215.624 orang dan mahasiswa sebanyak 5.616.670 orang (Indonesia
Educational Statistics in Brief, 2012). Meskipun secara keseluruhan anak yang masuk sekolah dasar cukup tinggi, sebuah kajian tentang
Anak Putus Sekolah yang dilakukan bersama oleh Kementerian Pendidikan, UNESCO,
dan UNICEF (2011) menunjukkan bahwa 2,5 juta anak usia 7-15 tahun masih tidak
bersekolah, dimana kebanyakan dari mereka putus sekolah sewaktu masa transisi
dari SD ke SMP.
Keadaaan seperti ini tentunya tidak diinginkan oleh
mereka bahkan juga keluarganya, tapi karena keterbatasan yang dimiliki sehingga
mimpi untuk bisa bersekolah lebih tinggi menjadi sirna. Bagi mereka sesuap nasi
lebih berharga dibanding segudang ilmu, bagi mereka bangun di pagi hari untuk
membajak sawah lebih memberikan manfaat ketimbang bangun di pagi hari untuk
bersekolah. Kita tidak bisa menyalahkan mereka karena kondisinya, mereka juga
ingin seperti kita yang bersekolah, tapi mereka lebih membutuhkan uang untuk
bertahan hidup meski dengan pendapatan yang tidak sebanding dengan usaha
mereka, there are millions of children
who want to learn but lack due to financial problems. Lantas apakah kita yang
berkepunyaan tidak berpikir? Tentu harapan mereka dibebankan kepada kita yang
sedang menjalani proses belajar di perguruan tinggi, agar kemudian ilmu yang
kita peroleh dapat bermanfaat bagi mereka.
Iqra’, lafadz pertama yang diturunkan kepada
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan menegaskan agar kita senantiasa membaca
atau meraih ilmu. Yusuf Al-Qardhawi pernah mengatakan bahwa umat Islam mestinya
umat iqra’, tapi kenyataannya umat sekarang lemah dalam menuntut ilmu. Padahal
dengan ilmulah kemudian kita bisa menjaga eksistensi agama ini, dengan ilmu
kita dapat memakmurkan umat melalui posisi-posisi penting baik itu di organisasi,
pemerintahan, ataupun instansi lainnya. Jangan sampai kemudian di tengah
masyarakat Islam tidak ada yang meraih ilmu, sebab jika hal demikian terjadi
maka pasti yang akan terangkat adalah orang bodoh yang kemudian akan sesat dan
menyesatkan (fadollu wa-adollu) yang
berdampak kepada kemaslahatan umat. Mencoba untuk berintropeksi diri dan
memotivasi diri ini juga teman sekalian agar senantiasa tidak futur dalam meraih
ilmu.
Iyas Muzani, Yogyakarta 15 Agustus 2016.
0 comments:
Post a Comment