Kearifan, maupun hikmah, juga irfan (dalam bahasa Arab) memiliki persamaan, relatif sama artinya.
Sehingga apabila kita mengatakan Al-Arifu
atau Al-hakim, maka kira-kira
maknanya sama. Juga apabila dengan mengatakan Al-hikmatu wal irfan, kata ini memiliki arti yang sama pula.
Definisi hikmah ada dalam definisi ushul fiqih, “Al-hikmatu hiya Al-Asarulladzi yatarattabu
ala fi’li syai autarqi” Hikmah adalah dampak yang timbul dari mengerjakan
sesuatu atau meninggalkan sesuatu. Ulama ushul fiqih membedakan antara hikmah
dan illat secara termologinya, illat berarti sebab atau alasan kita
melakukan sesuatu tanpa harus menunggu adanya syarat. Contohnya seperti, “Inna Sholata tanha anil fakhsyaai wal
mungkar...(shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar...)”, hikmahnya
adalah apabila kita mengerjakan shalat maka akan berdampak pada tercegahnya
kemungkaran. Sedangkan contoh dari illat,
biasanya terdapat pada hukum mengapa sesuatu dinyatakan halal atau haram, dan
hukum itu ada yang dijelaskan illatnya (Ex: berzakat) dan adapula yang tidak
(Ex: larangan memakan babi).
Seseorang yang dikatakan arif atau bijak, yaitu orang
yang memikirkan dampak dari perkataan maupun perbuatannya. Dampak itu ada dua
jenisnya dari segi waktu, yang
pertama dampak jangka pendek dan
yang kedua jangka panjang. Ulama-ulama kita
mengatakan, ada kata-kata yang sejenis: hakim, arif dan aqil. Tiga kata itu
sejenis, perbedaannya tipis dalam terminologi Arabnya. Ulama-ulama kita
mengatakan, siapa yang disebut orang yang berakal: Al-Aqilu, andharun naasu fil awaaqid. Orang yang berakal itu adalah
orang yang paling jauh pandangannya tentang akibat-akibat dari segala sesuatu.
Jadi yang memikirkan dampak jangka panjang dari setiap tindakannya itu. Jadi
kalau kita melakukan ini sekarang, ini akan ada dampaknya.
Kearifan, hikmah, atau keberakalan
adalah bahwa kita mengontrol setiap tindakan
yang kita lakukan pertama kali bukan pada tindakannya tapi pada pikirannya.
Dengan mengontrol tindakan pada pikiran itu maka kita memikirkan segala
tindakan yang akan kita lakukan sebelum kita benar-benar melakukannya.
Ustadz Anis Matta
dalam seminarnya mengatakan bahwa acap
kali kita tidak pernah memikirkan apakah tindakan itu baik atau buruk, ataukah
baik sejenak tetapi setelahnya akan datang keburukan. Kita (manusia seorang
diri) itu mengalami pergulatan di dalam dirinya dengan unsur subjektivitas.
Misalnya saat ada rasa tertarik terhadap lawan jenis dan berpikir ingin
menikahinya hanya karena pandangan kepada fisiknya, biasanya kita jarang
memikirkan dampak kedepannya apakah ia menjadi solusi atau justru menjadi problem
buat diri sendiri nantinya. Hal ini terjadi karena kita selalu mengalami yang
namanya bias, begitu kita secara fisik tertarik maka kita akan mengalami bias subjektivitas
itu. Contoh lain apabila kita pernah didzalimi oleh orang lain, suatu waktu
kita berada dalam power dan mungkin
punya kekuatan untuk membalas orang ini, maka bias dendam itu akan ada dan
mungkin kita mendapatkan pembenaran jangka pendek untuk melakukan balas dendam
(reverse) tersebut.
Di dalam banyak hal terutama waktu, pilihan-pilihan
tindakan dari segala sesuatu maka kita pasti akan mengalami bias. Misalnya saat
memilih jurusan, bias subjektivitas itu banyak, saat pilihan-pilihan tindakan
itu banyak, biasanya kita punya masalah tentang subjektivitas. Karena efek subjektivitas
ini, terkadang pilihan kita atas tindakan-tindakan itu sering kali tidak tepat. Dan karena ketidaktepatan
itu maka dampaknya akan muncul kemudian, beberapa waktu selanjutnya baru kita
sadar ternyata pilihan ini salah.
Itulah sebabnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menderivasi
kembali makna keberakalan, makna kearifan itu di dalam implementasinya. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Alladziina
yastami’uuna qaula fayattabi’uuna ahsana. Ulaa-ika hum ulul albab” Orang-orang
yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik dari perkataan itu,
mereka itulah yang disebut ulul albab. Orang yang berakal. Jadi faktor utama
yang menjadikan kita arif atau berakal yaitu kebiasaan mendengar, bukan
kebiasaan bicara.
Ada pepatah yang mengatakan “ash shomtu hikmatun waqaliilun fa’iluha”. Diam itu adalah kearifan,
tetapi sedikit sekali orang yang bisa melakukannya. Jadi jika Anda ingin
menjadi arif, latihan pertamanya adalah kontrol mulut. Biasakan untuk tidak
banyak bicara. Dan jika Anda harus bicara, pastikan bahwa yang keluar itu emas.
Paling sedikit, perak. Paling sedikit lagi, perunggu. Tapi yang pasti, jangan
racun.
0 comments:
Post a Comment