Hakikat manusia adalah ia tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain, no man is an island, olehnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya manusia perlu untuk membuat komunitas agar bisa hidup bersama.
Hakikat ini menjadi kenyataan hidup yang lazimnya terjadi pada keseharian kita, ia bersifat intersubjektif. Kata intersubjektif sendiri digunakan oleh Gabriel Marcel dalam bukunya berjudul The Mystery of Being (Le mystère de l'être) (1951) untuk menyatakan terma tersebut sebagai keterbukaan subyek yang satu kepada subyek yang lain, eksistensi seseorang tidak akan berarti jika tidak ada orang lain, seorang manusia harus dapat menjalin relasi dengan sesamanya.
Kondisi ini, relasi antar individu, akan semakin kuat kita temui di perkampungan atau pedesaan. Salah satu contohnya di dusun Banca, desa Bontongan, Kec. Baraka, Kab. Enrekang, Sulsel ini. Ketika akan ada hajatan atau pernikahan misalnya, setiap orang secara sukarela akan berbondong-bondong membantu keluarga calon mempelai untuk menyiapkan acaranya, khususnya para ibu-ibu yang membantu mengolah pangan.
Potret ini adalah jati diri bangsa kita sesungguhnya, tanpa memandang jabatan, kekayaan, dan keturunan. Semuanya hidup bergandengan, rukun, dan dibangun secara egaliter. Timbul kekhawatiran sebab gaya hidup yang ada di kota (terutamanya kota-kota besar), semakin kesini semakin membuat individu nya menjadi individualis, persepsi publik terhadap kota bahkan identik dengan konotasi negatif: tidak ramah, tingkat kriminalitas tinggi, dan banyak polusi jika dibandingkan dengan desa atau kampung.
Kesadaran bahwa kita ada untuk saling membantu satu sama lain menjadi suatu nilai yang mesti terus kita rawat dan jaga. Nilai-nilai yang ada di desa atau kampung tidak boleh pudar oleh modernitas sosial.
0 comments:
Post a Comment