Tidak banyak dari kita
saat ini yang rela menyerahkan nyawa kepada orang lain, tidak banyak dari kita
rela mengorbankan hidup untuk hal yang bisa dikata tidak logis, itulah realita
yang terjadi saat ini namun idealitanya lebih dari 4.000 tahun yang lalu, nabi
Ibrahim ‘alaihissalam lewat mimpinya
ia melihat dirinya menyembelih anaknya nabi Ismail ‘alaihissalam, kemudian disampaikan apa yang ia mimpikan itu kepada
anaknya. Namun apa yang dijawab oleh anaknya? Tanpa rasa takut ia menjawab,
“Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shafaat: 102).
Setelah itu, kemudian nabi Ibrahim ‘alaihissalam
mengonfirmasi apakah benar mimpinya itu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala atau jangan-jangan
datang dari setan. Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah
sebanyak tiga kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa
itu adalah perintah Allah, maka nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri,
yaitu Ismail ‘alaihissalam. Setelah keduanya
ikhlas untuk menjalankan perintah-Nya, ternyata Allah subhanahu wa ta’ala mengganti Ismail menjadi domba.
Kita bisa membayangkan,
Ibrahim ‘alaihissalam yang baru
dikaruniai anak, masih merah kulitnya, ia diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk
meninggalkannya. Bisa kita bayangkan, anak yang begitu diharapkan kehadirannya,
anak yang nantinya akan mendoakan orang tuanya setelah mereka tiada, anak yang
bahkan beliau mungkin belum cukup memberikannya kebahagiaan, anak yang meski ia
tinggalkan sejak lahir ia tetap patuh dan hormat padanya, ia diperintahkan oleh
Allah subhanahu wa ta’ala untuk
disembelih, bisa dibayangkan betapa
sedihnya beliau saat itu yang akan kehilangan anak shalihnya.
Bayangkan juga bagaimana Ismail ‘alaihissalam tanpa membantah sedikit pun perkataan ayahnya ia rela
mengorbankan nyawanya. Padahal, pada saat Ismail ‘alaihissalam masih bayi, beliau ditinggal oleh Ibrahim ‘alaihissalam di lembah yang tandus
tanpa makanan dan minuman begitu saja, sepanjang jalan hidupnya hingga
peristiwa pengorbanan itu, Ibrahim ‘alaihissalam
tidak selalu berada di sisi Ismail ‘alaihissalam,
sebab ia tinggal bersama Sarah istri pertamanya di Mesir, bahkan ia pernah
menceraikan istrinya disebabkan oleh perintah Ibrahim ‘alaihissalam, jika dilogikakan begitu banyak pengalaman pahit yang
beliau alami, secara manusiawi Ismail ‘alaihissalam
bisa saja membantah ayahnya. Akan tetapi dengan keimanan beliau, ia rela
mengikuti apa yang diperintahkan oleh ayahnya yang begitu ia sayangi.
Kisah ini, sejatinya
mengajarkan kita bahwa manusia memiliki sifat manusiawi yang juga hewani. Terkadang,
kita akan bertindak dengan pikiran dan juga tanpa pikiran, kita akan
berperilaku sejalan dengan hati kadang juga bertentangan dengan hati, ada
banyak faktor yang mempengaruhi tindakan-tindakan kita. Dengan berkorban,
setidaknya akan menghadirkan sikap kecintaan kepada diri ini. Pengorbanan,
hanya mereka orang-orang loyal yang akan mengorbankan waktu, pikiran bahkan
nyawanya. Pengorbanan, dapat kita simbolkan sebagai unsur pembentuk diri agar
cinta dan setia kepada keluarga, agama hingga organisasi. Tidak banyak orang
yang bisa mengorbankan dirinya, Di jalan dakwah ini, pengorbanan menjadi acuan
apakah kita serius dalam mensyiarkan Islam. Pengorbanan, sejatinya dapat kita
maknai sebagai cara kita dalam mewujudkan cinta kita, menunjukkan keimanan kita
kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Iyas Muzani. Yogyakarta, 3 September 2016
Referensi:
http://www.islamcendekia.com/2014/10/arti-makna-dan-hakikat-idul-adha-qurban.html
, diakses pada 3 September 2016, pukul 20.14 WIB