Saturday, September 3, 2016

Bagaimana Kita Memaknai Pengorbanan Itu?


Tidak banyak dari kita saat ini yang rela menyerahkan nyawa kepada orang lain, tidak banyak dari kita rela mengorbankan hidup untuk hal yang bisa dikata tidak logis, itulah realita yang terjadi saat ini namun idealitanya lebih dari 4.000 tahun yang lalu, nabi Ibrahim ‘alaihissalam lewat mimpinya ia melihat dirinya menyembelih anaknya nabi Ismail ‘alaihissalam, kemudian disampaikan apa yang ia mimpikan itu kepada anaknya. Namun apa yang dijawab oleh anaknya? Tanpa rasa takut ia menjawab, “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shafaat: 102). Setelah itu, kemudian nabi Ibrahim ‘alaihissalam mengonfirmasi apakah benar mimpinya itu perintah dari Allah subhanahu wa ta’ala atau jangan-jangan datang dari setan. Ternyata tidak, Ibrahim mendapatkan perintah dari Allah sebanyak tiga kali melalui mimpi. Setelah mendapatkan petunjuk dan yakin bahwa itu adalah perintah Allah, maka nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan ikhlas akan menyembelih puteranya sendiri, yaitu Ismail ‘alaihissalam. Setelah keduanya ikhlas untuk menjalankan perintah-Nya, ternyata Allah subhanahu wa ta’ala mengganti Ismail menjadi domba.
Kita bisa membayangkan, Ibrahim ‘alaihissalam yang baru dikaruniai anak, masih merah kulitnya, ia diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk meninggalkannya. Bisa kita bayangkan, anak yang begitu diharapkan kehadirannya, anak yang nantinya akan mendoakan orang tuanya setelah mereka tiada, anak yang bahkan beliau mungkin belum cukup memberikannya kebahagiaan, anak yang meski ia tinggalkan sejak lahir ia tetap patuh dan hormat padanya, ia diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk disembelih, bisa dibayangkan betapa sedihnya beliau saat itu yang akan kehilangan anak shalihnya.
Bayangkan juga bagaimana Ismail ‘alaihissalam tanpa membantah sedikit pun perkataan ayahnya ia rela mengorbankan nyawanya. Padahal, pada saat Ismail ‘alaihissalam masih bayi, beliau ditinggal oleh Ibrahim ‘alaihissalam di lembah yang tandus tanpa makanan dan minuman begitu saja, sepanjang jalan hidupnya hingga peristiwa pengorbanan itu, Ibrahim ‘alaihissalam tidak selalu berada di sisi Ismail ‘alaihissalam, sebab ia tinggal bersama Sarah istri pertamanya di Mesir, bahkan ia pernah menceraikan istrinya disebabkan oleh perintah Ibrahim ‘alaihissalam, jika dilogikakan begitu banyak pengalaman pahit yang beliau alami, secara manusiawi Ismail ‘alaihissalam bisa saja membantah ayahnya. Akan tetapi dengan keimanan beliau, ia rela mengikuti apa yang diperintahkan oleh ayahnya yang begitu ia sayangi.
Kisah ini, sejatinya mengajarkan kita bahwa manusia memiliki sifat manusiawi yang juga hewani. Terkadang, kita akan bertindak dengan pikiran dan juga tanpa pikiran, kita akan berperilaku sejalan dengan hati kadang juga bertentangan dengan hati, ada banyak faktor yang mempengaruhi tindakan-tindakan kita. Dengan berkorban, setidaknya akan menghadirkan sikap kecintaan kepada diri ini. Pengorbanan, hanya mereka orang-orang loyal yang akan mengorbankan waktu, pikiran bahkan nyawanya. Pengorbanan, dapat kita simbolkan sebagai unsur pembentuk diri agar cinta dan setia kepada keluarga, agama hingga organisasi. Tidak banyak orang yang bisa mengorbankan dirinya, Di jalan dakwah ini, pengorbanan menjadi acuan apakah kita serius dalam mensyiarkan Islam. Pengorbanan, sejatinya dapat kita maknai sebagai cara kita dalam mewujudkan cinta kita, menunjukkan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Iyas Muzani. Yogyakarta, 3 September 2016

Referensi: