Ada banyak orang yang muncul dan hilang, ada juga orang
yang dilemparkan oleh takdir ke atas untuk dihempaskan ke bawah. Kita harus
bertanya, ketika kita belum siap dan belum mampu untuk memimpin akan tetapi
jabatan itu telah kita peroleh, jangan-jangan ini adalah takdir untuk
menghempaskan kita ke bawah. Makanya, tidak ada salahnya kita coba
merefleksikan kembali perkataan Umar bin Khattab kepada rakyatnya, beliau
mengatakan: tafaqqahu qabla an tusawwadu,
“Perdalamlah ilmu agama, sebelum kamu menjadi pemimpin”. Umar bin Khattab
ketika mengatakan ini tentu ingin menekankan kepada umatnya, bahwa posisi
seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah dan perlu untuk dibangga-banggakan,
sebab dibalik semua itu ada pertanggungjawaban yang begitu besar dihadapan sang
pencipta, bahkan Umar bin Abdul Aziz ketika diawal-awal dipilih sebagai
khalifah bani Umayyah menjelang pelantikan beliau mengucapkan suatu perkataan
yang setidaknya bisa menjadi tamparan bagi kita juga dalam menjalankan peran, inni akhaufu naar, “saya takut kepada
neraka”. Apa korelasinya kalimat itu dengan pencapaian orang dalam
kepemimpinan? Itu artinya bahwa beliau memulai dari akhir, bahwa akhir dari
semua ini pada akhirnya adalah kematian, dan hidup setelah kematian hanya mempunyai
dua pilihan yaitu surga atau neraka.
Kalau kita mencermati kondisi sekarang ini, apa yang
dihadapi adalah persoalan yang tidak bisa dipandang enteng, dan jika kita
telusuri, sedikit sekali kalau kita hitung, mereka-mereka yang Allah Subhanahu wa ta’ala tugaskan serta
diberikan amanah untuk memikul beban dakwah ini. Sungguh beruntung, setelah
diberikan ni’matul iman wa Islam,
Allah Subhanahu wa ta’ala berikan
kenikmatan sebagai da’iyah fi sabilillah
(da’I di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala).
Ikhwah sekalian, Kafilah ini akan tetap berjalan, jadi yang bergabung dalam
kafilah dakwah, merekalah orang-orang yang beruntung. Qul Hadzihi Sabili Ad’u Illallah ala Bashirotin ana wamanit taba’ani, “Katakanlah
wahai Muhammad ini adalah jalanku, yaitu mengajak orang kepada Allah, dengan
hujjah yang nyata, aku dan pengikutku.” Begitu beruntung orang-orang yang
dipilih oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk
bergabung di kafilah dakwah ini, maka sudah menjadi kewajiban bagi diri ini
untuk selalu bersyukur atas nikmat yang begitu banyak, bersyukur karena kita
masih dikumpulkan dengan orang-orang sholih dan sholihat, lingkungan yang
insyaAllah senantiasa mengingatkan kita atas kebaikan.
Tentu, setiap kita mempunyai sayyiat (perbuatan dosa), tapi dengan kita aktif bergerak terus, hasanat (mobilisasi kebaikan) kita,
insyaAllah sayyiat kita menjadi
marginal/tidak punya ruang gerak, innal
hasanaati yudzhibinassayyiati, dzaalika dzikro lidzzaakiriin, artinya bahwa
dengan mengkoordinasikan kebaikan (hasanat)
kita untuk amal jama’I, untuk
kebaikan bangsa, kebaikan umat, kebaikan dakwah dan kebaikan jama’ah, pada
akhirnya akan mengeliminir sayyiat (perbuatan
dosa) Kita. Jangan takut untuk mengubah hidup menjadi lebih baik hanya karena
bayang-bayang masa lalu yang suram penuh dosa, ciptakan sikap optimisme dalam
melangkah ke depan dan berikan senyuman kepada masa lalu yang kelam. Sekiranya jika
sikap optimisme ini dihidupkan kembali, maka dorongan untuk selalu berbuat
kebaikan itu akan terus ada, sebab pikiran ini dipenuhi dengan gagasan yang
konstruktif. Tapi kita juga perlu ingat, aktivitas beramal kita harus dilandasi
dengan keikhlasan, beramal tanpa merasa sok suci, kenapa bahasanya sok suci? Karena
bahasa ini yang digunakan Allah Subhanahu
wa ta’ala untuk menegur kita, wala
tuzakku anfusakum huwa a’lamu bimanittaqo, jangan menganggap diri ini suci,
Allah lebih tahu siapa yang paling bertaqwa. Malu rasanya, kadang amal kita
masih sedikit, tapi merasa banyak, amal kita pas-pasan, tapi merasa sudah
cukup, celakanya lagi, tidak beramal tapi berasa beramal, itupun dilakukan
dengan riya’, takabur, sum’ah.
Lebih bijak sepertinya kalau kita fokus dalam berfastabiqul khoirat ketimbang membanding-bandingkan
amalan kita dengan orang lain, lebih arif ketika kita lebih peka dalam menebarkan
manfaat ketimbang menuai pujian. Ibarat buih di lautan, di dalam Al-Qur’an dijelaskan
bahwa, Fa ammaz zabadu fayadzhabu
jufaa’an, “Adapun buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada
harganya.” Ia hanya akan tampak di awal-awal, namun setelah itu hilang tanpa
memberikan manfaat. Dan lanjutan dari ayat itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa, wa ammaa maa yanfa’un naasa fayamkutsu fil ardli kadzaalika yadl-ribullaahul
amtsaal “Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Demikanlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. Pilihan ada kepada kita, sekedar
menjadi buih atau menjadi orang yang meninggalkan manfaat?
Yogyakarta, 23 Mei 2017.