Tanah Papua, negeri elok di timur Indonesia yang kaya akan Sumber Daya
Alam (SDA), pertambangan terbesar terletak di tanah ini. Sejarahnya berawal
pada tahun 1936, geolog asal Belanda Jean Jacquez Dozy bersama rombongan
mengembara daerah Papua, dengan tujuan mendaki gletser Cartenz yang terletak di
dekat Puncak Jaya. Gletser Cartenz ditemukan oleh Jan Cartenszoon pada tahun
1623, hasil temuan inilah yang kemudian melatarbelakangi ekspedisi yang
dilakukan Jean Jacquez Dozy dan rombongannya. Dozy penasaran dengan temuan
Cartenz mengenai puncak gunung yang tertutup salju di Papua. Laporan Cartenz
ini sempat menjadi bahan olok-olok karena dinilai mustahil ada gletser di kawasan
khatulistiwa. Eksekutif dari perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur,
yang pertama kali menggali 'kekayaan' laporan Dozy pada 1959, dengan Forbes K.
Wilson sebagai presiden Director Freeport Mineral. Singkat cerita, Freeport memproses perizinan dengan
mendapatkan bantuan dari Julius Tahija yang berperan sebagai perantara. Menurut
Mealey, Julius yang mengatur pertemuan antara pejabat Freeport dengan Menteri
Pertambangan dan Perminyakan Indonesia, Ibnu Sutowo di Amsterdam. Selain itu,
Freepot menyewa pengacara Ali Budiarjo yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal
dan Pertahananan Direktur Pembangunan Nasional pada 1950an. Berkat bantuan Ali,
Freeport menjadi perusahaan yang pertama kali mendapatkan Kontrak Karya dengan
masa 30 tahun, setelah lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal pada 1967. Kontrak karya itu
ditandatangani pada 7 April 1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto
dilantik sebagai pejabat presiden. Belakangan
Ali didaulat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia pada 1974-1986.
Label Freeport sebagai lokasi pertambangan emas terbesar di dunia tentu
didasari oleh data yang mendukung, dalam artikel dengan judul “JFK, Indonesia,
CIA & Freeport Sulphur” yang ditulis oleh Lisa Pease pada tahun 1996, ia
menuliskan bahwa Wilson mendeskripsikan hasil temuannya, “Mining consultants confirmed our estimates of 13 million tons of ore
above ground and another 14 million below ground for each 100 meters of depth.
Other consultants estimated that the cost of a plant to process 5,000 tons of
ore a day would be around $60 million and that the cost of producing copper
would be 16½ a pound after credit for small amounts of gold and silver
associated with the copper. At the time, copper was selling in world markets
for around 35½ a pound. From these data, Freeport’s financial department
calculated that the company could recover its investment in three years and
then begin earning an attractive profit”. Sumber
lain yakni Liputan 6 melaporkan jika produksi Freeport mencapai 1,44 juta
ounce pada tahun 2011.
PT Freeport telah setengah abad menginjakkan kaki di tanah Papua,
pertanyaan yang kemudian timbul, apakah keuntungan dari penambangan disana
memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Papua? Dengan hasil produksi yang
begitu besar sejak tahun 1967, faktanya kontribusi Freeport untuk masyarakat
lokal di Papua belum begitu optimal. Pembangunan dan kemiskinan masih menjadi
momok yang menakutkan bagi masyarakat Papua. Padahal, pasal 33 ayat 3 UUD 1945
menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selama rentang waktu dari tahun 1992
hingga 2013, PT FI hanya menyumbangkan kontribusi sebesar US$15,23 miliar
kepada pemerintah Indonesia.
Angka yang cukup sedikit dibandingkan apa yang diperoleh oleh Freeport McMoRan Copper & Gold.
Bahkan pemasukan dari Freeport ini masih kalah jika dibandingkan dengan pajak
cukai rokok yang menurut Kompas (2015)
rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai dengan kontribusi sebesar
96 persen, dengan nilai Rp 139,5 triliun dari total pendapatan cukai negara
sebesar Rp 144,6 triliun.
Dengan status sebagai pertambangan terbesar di dunia, seharusnya negara
dalam hal ini pemerintah mesti memanfaatkannya dengan bijak, tegas dalam
menentukan kebijakan, sebab perputaran uang yang ada disana sangatlah besar,
bangsa ini hanya memperoleh sebagian kecil dari total keuntungan yang diperoleh
PT Freeport McMoRan Copper & Gold. Sejauh ini, presiden yang tegas dalam
menyikapi perusahaan asing hanyalah Soekarno, dimana pada saat ia memimpin
bangsa ini, perusahaan asing tidak diberi kewenangan dalam mengelola Sumber
Daya Alam yang ada di Indonesia. Menjadi perhatian serius, sebab kita jangan
terus-terusan membiarkan pihak asing menjarah kekayaan kita, pemerintah mesti
tegas dalam hal ini. Yang terbaru seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara, menyebutkan bahwa perusahaan tambang
mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca 11 Januari 2017 harus
melakukan beberapa hal, di antaranya merubah status Kontrak Karya menjadi IUPK,
membangun smelter, divestasi 51 persen secara bertahap selama 10 tahun sejak mulai berproduksi ke pihak
nasional. Ini menjadi langkah
positif, sebab jika status Freeport berubah menjadi IUPK maka kemudian besarnya
pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan masa
kontrak yang akan habis pada tahun 2021, PT Freeport hingga kini terus
berunding dengan pemerintah terkait perpanjangannya. Harapannya kemudian
pemerintah dapat konsisten dengan peraturan yang telah dibuat, ini tidak lain
agar kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang berdaulat, dan
juga sebagai pemilik saham mayoritas kita dapat memiliki akses kontrol terhadap
sumber daya alam, dengan begitu pemerintah bisa memanfaatkan sebesar-besarnya
kekayaan alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bangsa ini
tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri sampai kemudian para penentu
kebijakan itu tegas, berani, serta memiliki inisiatif dalam menyikapi persoalan,
penjajahan sumber daya alam yang lebih menguntungkan pihak asing dibanding
bangsa sendiri.
Referensi:
1. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160523142242-20-132789/riwayat-freeport-memburu-harta-karun-di-papua/ , diakses pada 20 Agustus 2017
2. Pease, Lisa. “JFK, Indonesia, CIA
& Freeport Sulphur”. Diterbitkan
pada 1996. National Archives Washington
D.C. US.
3. https://indonesiatimur.co/2015/02/23/20-tahun-ekplorasi-berapakah-yang-disetor-freeport-untuk-indonesia/ , diakses pada 22 Agustus 2017
4. http://ekonomi.kompas.com/read/2016/04/28/070505426/Tahun.Ini.Cukai.Rokok.Bukan.Lagi.Andalan.Penerimaan.Negara , diakses pada 23 Agustus 2017
5. https://finance.detik.com/energi/3428820/kontrak-karya-dan-iupk-jadi-akar-masalah-freeport-apa-bedanya , diakses pada 23 Agustus 2017
6. http://bisnis.liputan6.com/read/3067163/nasib-freeport-jika-tak-ada-kesepakatan-dari-negosiasi , diakses pada 23 Agustus 2017