Dalam ber-Islam, ada hal-hal yang memang harus
kita yakini, tidak sekedar tauhid rububiyah saja, tapi tauhid uluhiyah dan
tauhid asma wa sifat juga perlu karena yang demikian itulah yang membedakan
kita dengan agama Nasrani maupun Yahudi. Kita meyakini Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai tuhan bukan
hanya sekedar Ia sebagai sang pencipta, tapi juga diyakini dengan bentuk
perwujudan beribadah kepada-Nya juga dengan mensucikan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala aib.
Bukti keberadaan Allah sendiri terdapat di dalam
Al-Qur’an, ada begitu banyak
ilmuwan seperti Dr. Keith Moore, Marshall Johnson, Joe Simpson, Maurice
Bucaille, dan ilmuwan-ilmuwan lainnya, yang mempelajari Quran untuk sekian
lama, dan mereka semua menyimpulkan bahwa kitab dan ayat-ayat di dalamnya tidak
mungkin ditulis seorang manusia, ini tentunya dari Sang Pencipta. Mereka adalah
orang-orang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan, contohnya Dr. Keith Moore,
dia embriologist yang terkenal.1
Orang ateis selalu mempertanyakan keberadaan
Tuhan, tapi mereka sendiri tidak bisa membuktikan ketidakberadaan Tuhan. Dari
6236 ayat yang terdapat di dalam Al-Qur’an, ada sekitar 500an ayat yang
berbicara tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, satu per satu dari 500an ayat
tersebut telah berhasil dibuktikan oleh para ilmuwan hingga sampai saat ini dan
akan terus berlanjut, menandakan bahwa kitab Al-Qur’an sebagai mukjizat yang diturunkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak sekedar tulisan yang biasa-biasa saja, melainkan di dalamnya
terdapat begitu banyak pelajaran yang dapat membimbing kita menjalani kehidupan
ini.
Di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 2
dijelaskan bahwa “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertakwa”. Allah pulalah yang menjaga keorisinalitasan
Al-Qur’an dari waktu ke waktu, berbeda dengan kitab suci lain yang telah
mengalami kontaminasi oleh sentuhan tangan manusia. Mempercayai sesuatu yang
belum pernah kita temui, belum pernah kita lihat sosoknya tentu bukan hal yang
mudah, tapi itulah yang terjadi pada kita umat Islam, kita meyakini Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai sang
pencipta berdasarkan referensi ilmu pengetahuan yang telah ada yang dimulai
sejak 15 abad yang lalu. Kita meyakini karena ada sosok teladan yang memberikan
kita bukti melalui mukjizat dan sirahnya.
Sayyid Quthb pernah menulis di bukunya yang jika diterjemahkan ke
Indonesia judulnya menjadi “Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia Beriman”, ia
mengatakan bahwa agama Islam mengajak seluruh umat manusia supaya berpikir dan
menggunakan akalnya dan bahkan demikian hebatnya anjurannya ke arah itu. Tetapi
yang dikehendaki itu bukanlah pemikiran yang tidak terkendalikan lagi
kebebasannya. Semua itu dimaksudkan oleh Islam agar dilakukan dalam batas
tertentu yang memang merupakan lapangan bagi manusia dan dapat dicapai oleh
akal manusia. Maka yang dianjurkan oleh Islam untuk dipikirkan ialah dalam hal
ciptaan-Nya, yakni apa-apa yang ada di langit dan di bumi, dalam dirinya
sendiri, dalam masyarakat dan lain-lain. Tidak ada sebuah pemikiran yang
dilarang, melainkan memikirkan dzat-Nya, sebab persoalan ini di luar kapasitas
kekuatan akal pikiran manusia.
Terkadang, ketika ilmu pengetahuan disinggung
bersamaan dengan agama, logika menjadi sesuatu hal yang diprioritaskan,
realitanya para ateis selalu menganggap jika orang yang beragama seperti halnya
agama Islam itu tidak dapat membuktikan secara empiris keberadaan Allah,
wujud-Nya, maupun ciptaan-Nya yang berhubungan dengan pembuktian. Meskipun
demikian, Al-Qur’an tetaplah kitab pembuktian umat Islam kepada seluruh umat
manusia, salah satu contohnya ialah ketika Steven Weinberg, pengarang buku The First Three Minutes, pernah
menegaskan bahwa langit tampaknya merupakan suatu “alam tak berubah” yang
kokoh. Sesungguhnya, awan-awan berarak-arakan mengejar bulan, kolong langit
biru mengelilingi bintang kutub, bulan itu sendiri membesar dan mengecil dalam
waktu yang lebih lama, dan bulan serta planet-planet bergerak melalui suatu
bidang yang ditentukan oleh bintang-bintang. Akan tetapi, kita paham bahwa
kejadian tersebut disebabkan oleh sistem tata surya.2 Berabad-abad
sebelum Steven Weinberg memikirkannya, faktanya kasus ini telah dijelaskan di
dalam Al-Qur’an. Terdapat banyak ayat yang menggambarkan awan dalam bentuk
jamak yakni “samawat” yang berarti
langit-langit, “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu
sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang
tidak seimbang. Maka, lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat sesuatu yang
tidak seimbang? Kemudian, pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan
kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itu pun
dalam keadaan payah.” (QS. Al-Mulk:3-4)
Dari penjelasan tadi kita dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam memuat segala
pelajaran yang dapat kita dalami agar dapat memperoleh hikmah, percaya atau
tidaknya kaum non muslim/ateis terhadap kebenaran Al-Qur’an nyatanya bahwa ayat
yang menjelaskan tentang ilmu pengetahuan atau sains yang telah dicatatkan di
dalam Al-Qur’an sejak 15 abad yang lalu satu persatu telah terbukti secara
ilmiah, tinggal bagaimana hati ini menerimanya.
Referensi:
2. Yahya H. 2001.
Mengenal Allah Lewat Akal. Jakarta. Robbani Press.
Sumber gambar:
http://www.wallpaperislami.com/wp-content/uploads/2015/10/Al-Quran-dan-Tasbih.jpg
Sumber gambar:
http://www.wallpaperislami.com/wp-content/uploads/2015/10/Al-Quran-dan-Tasbih.jpg