Ada begitu banyak kisah
dari para nabi yang bisa kita jadikan patron dalam menapaki kehidupan. Peradaban
yang ada saat ini tentu merupakan akumulasi dari pemikiran visioner oleh
sedikit orang yang ada di masa lalu, dari sedikit orang itulah yang kemudian
mampu menggerakkan banyak orang untuk mendesain, merancang, mengelola dan
menciptakan suatu peradaban yang bisa kita rasakan saat ini. Ketika Jazirah
Arab belum dihuni oleh siapapun, kondisinya yang mungkin bisa dibilang tidak
layak untuk dihuni dibandingkan negeri Syam ataupun Yaman pada saat itu, bahkan
dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai biwadiin
ghoiri dzi zar’in, pada suatu lembah yang tidak ada tumbuhannya. Nabi
Ibrahim alaihis salam bersama dengan
Hajar dan anaknya Ismail alaihis salam,
mereka yang kemudian menjadi penghuni pertama di Jazirah Arab, bisa dibayangkan
bagaimana mereka memulai usahanya membangun Ka’bah di daerah yang tak
berpenghuni. Tapi bisa kita lihat saat ini, tempat itu kemudian bertransformasi,
daerah yang sepi senyap sekarang menjadi daerah yang dikunjungi oleh sekitar 2
juta orang lebih tiap tahunnya, perubahan besar itu dilakukan oleh satu
keluarga saja. Contoh lain di sekitar 3000an tahun setelah nabi Ibrahim alaihis salam, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
mendirikan negara Madinah, yang ikut hijrah bersama beliau jumlahnya sekitar
dua ratusan orang, dari jumlah umat manusia pada saat itu sekitar seratusan
juta orang. Jadi kita bisa mengambil hikmah disini, bahwa sejarah lahirnya
peradaban besar itu adalah ide dari sedikit orang, bukan oleh banyak orang.
Ukuran sedikit atau
banyak nya orang bukan menjadi fokus kita disini, akan tetapi yang menjadi inti
permasalahannya adalah apakah kita telah siap mencetak orang-orang dengan
pemikiran visioner itu? Realita yang kita hadapi sekarang bahwa jumlah umat
Islam dari tahun ke tahun semakin menurun, di Indonesia sendiri kita pernah
berada dalam persentase total 95% umat Islam, namun sekarang dari 250an juta
jiwa penduduk Indonesia, hanya 85% yang kemudian beragama Islam. Dari
persentase itu, coba kita pikirkan, ada berapa persen yang ibadahnya terjaga?
Kini kondisi yang kita hadapi ialah seolah-olah umat Islam sendiri tidak
berdaya dalam menyikapi problematika yang terjadi di bangsa sendiri, bangsa
yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Kita ambil contoh dalam
konstelasi politik di Indonesia saat ini, ketika beberapa partai Islam akan
membesar, ada kekuatan sistematis yang menghancurkannya. Beberapa partai Islam
yang lain bahkan tidak terstruktur dan kaderisasi masif sehingga tidak
berkembang dan tidak berdaya dalam persaingan politik.
Saya kira persoalan-persoalan
ini muncul karena kita melupakan proses pembinaan di dalam internal itu sendiri,
kita jauh dari proses pembentukan generasi. Sehingga sebagai aktivis dakwah kita perlu untuk kembali
mengangkat makna-makna dasar yakni ma’ani
ikhlash wa shidq wal intima’ ilal fikrah wal manhaj. Sebab hanya dengan
menanamkan makna tersebut secara terus menerus maka apa yang kita harapkan akan
sampai kepada tashhihul-masar, yakni
upaya meluruskan arah perjuangan secara terus menerus dari waktu ke waktu. Inilah
yang menjadi langkah pertama untuk memperkokoh qaidah ruhiyah. Kita mesti kembali ke koridor pembentukan
manusia-manusia, mencetak generasi yang mampu bersaing secara global, mereka
yang memiliki pemikiran yang visioner. Semua ini dapat terlaksana dengan baik
jika kita ikhlas dalam mendedikasikan diri di jalan dakwah ini.
0 comments:
Post a Comment