Semoga setengah perjalanan yang telah kita
tempuh tahun ini, juga tahun kelima dari beberapa orang yang ada, adalah bagian
dari umur yang tidak akan kita lupakan di usia tua kita bahwa kita berkembang
secara cepat karena mendapatkan beban yang banyak dari semestinya saat kita di
kampus. Satu hal yang perlu untuk terus menerus kita ingat bahwa seluruh kerja
yang kita lakukan harus dikaitkan dengan bagaimana keikhlasan kita dalam
menjalankannya, sebab keikhlasan adalah asas dari diterimanya amal kita. Para
Ulama mengatakan bahwa keikhlasan itu diperlukan dalam tiga hal: (1) ikhlas sebelum
beramal, (2) ikhlas pada saat beramal, (3) ikhlas setelah beramal. Boleh jadi
ada orang yang ikhlas di awal, kurang di tengah, kemudian hilang di akhir. Boleh
jadi juga ada orang yang hilang di awal, membaik di tengah, dan semakin baik di
akhir. Jangan sampai seluruh perjuangan yang telah kita lakukan ini batal atau
sia-sia karena satu dari dua sebab diterimanya amal itu tidak ada di dalam diri
kita yaitu keikhlasan.
Pada akhirnya, pertanggung jawaban kita kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala adalah mas’uliyah fardliyah (pertanggung
jawaban secara pribadi) dan bukan pertanggung jawaban jama’ah ini. Sehingga
kelak kita akan datang di akhirat sebagai seorang diri dan bukan sebagai
perwakilan jama’ah tertentu.
Juga yang perlu kita jaga adalah al bi’atu
tarbawiyah fi ausatil amali siyasi, perlunya kita menjaga lingkungan
tarbawi di tengah amal siyasi yang kita lakukan, kenapa? Karena dunia yang kita
ikuti ini adalah dunia yang terus berubah dan dalam dunia yang terus berubah
seperti ini, mudah muncul dua penyakit, yakni penyakit syubhat dan syahwat. Obat
dari penyakit syubhat ini adalah ilmu dan obat dari penyakit syahwat adalah
iman, yang menjaga ilmu dan iman ini adalah bi’ah tarbawiyah. Jangan-jangan
selama ini justru kita banyak berpaling dari agenda asasi/tarbawi dengan dalih
kesibukan amanah/organisasi.
Kadang-kadang karena banyaknya syubhat kita
mudah mengalami konflik dan karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan
ar rasikhuna fi’l ilmi, hanya orang-orang yang dalam ilmunya yang bisa
bertahan di tengah syubhat itu. Itu sebabnya menjaga lingkungan kita agar selalu
memiliki aura tarbawi yang kuat akan menjadi salah satu faktor diferensiasi
utama antara kita dengan lingkungan luar, ini yang menjadi faktor pembeda kita
ketika beramal dan menyikapi suatu masalah.
Beberapa tahun yang lalu di dalam salah satu ceramahnya
Ust. Anis Matta menyampaikan satu kisah yang menarik, suatu waktu Imam Ghazali
berceramah di depan 500-an ulama dari semua penjuru negeri yang ada pada waktu
itu. Karena yang hadir ini adalah ulama dan bukan orang biasa, ada perasaan ghurur
di dalam diri Imam Ghazali, ada keangkuhan yang muncul di dalam dirinya. Suatu
waktu pada sesi ceramah tersebut adalah seorang ulama yang bertanya kepada
beliau, “Wahai Abu Hamid, sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan
di dalam Al-Qur’an, kulla yaumin huwa fii sya'n (setiap hari Allah
selalu punya urusan), saya mau tanya apa urusan Allah hari ini?” dan ternyata
Imam Ghazali tidak tahu jawabannya. Tapi karena di depan ulama, tidak gampang
untuk mengatakan saya tidak tahu, ini menyangkut wibawa akademik. Beliau lalu mengatakan,
“Kasih waktu saya sampai besok”. Begitu besok acara dimulai lagi, orang tadi
menanyakan pertanyaan yang sama dan Imam Ghazali tetap menjawab “tunggu sampai
besok”. Keesokan harinya orang itu datang lagi dan mengulangi hal yang sama
hingga hari keempat dan Imam Ghazali tetap menjawab dengan jawaban yang sama
pula. Setelah hari keempat itu, Imam Ghazali pulang ke rumahnya dan beliau shalat
istikharah, beliau meminta ilham dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk
bisa menjawab pertanyaan itu. Setelah shalat istikharah itu beliau tidur dan
dalam tidurnya beliau bermimpi ketemu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
pada pertemuan itu Rasulullah mengatakan kepada beliau “Wahai Abu Hamid,
nanti kalau datang orang itu dan bertanya lagi kepadamu dan mengatakan bahwa
Allah setiap hari punya urusan, maka apa urusan Allah hari ini? Katakanlah kepadanya
bahwa sesungguhnya Allah memiliki urusan yang Ia tampakkan dan tidak Ia
tampakkan, Allah mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkan derajat suatu kaum
yang lain.
Keesokan harinya ketika Imam Ghazali datang
kembali ke majelis tersebut, beliau mencari penanya sebelumnya lalu memberikan
jawaban “Subhanallah, sesungguhnya Allah memiliki urusan yang Ia tampakkan dan
tidak Ia tampakkan, Allah mengangkat derajat suatu kaum dan merendahkan derajat
suatu kaum yang lain. Lalu ulama yang bertanya ini mengatakan, “Wahai Abu
Hamid, perbanyaklah shalawat dan taslim kepada Nabi yang telah mengajarkan kamu
jawaban ini tadi malam”.
Hikmah yang bisa kita ambil adalah (1) bisa
jadi kita berbicara tentang suatu ilmu di depan orang yang justru lebih paham
akan ilmu tersebut dibanding kita, maka jagalah hati kita. (2) Kebiasaan shalat
istikharah atas qodhoya (masalah) yang rumit perlu untuk kita bawa dalam
shalat, dengan begitu kita memberikan nuansa ruhiyah atas pergulatan masalah
kita sehari-hari. Begitu ini hilang dari kita, seluruh analisa yang baik maupun
otak yang cerdas tidak akan menghasilkan apa-apa, karena Allah Subhanahu wa
ta’ala mengatakan wa adhollu humullahu ala ilmin, Allah bisa
menyesatkan orang atas dasar ilmu yang dia berikan kepadanya. Sehingga walaupun
orang itu berilmu, orang itu tetap bisa tersesat.