Mencari perhatian tidak membuat kita menjadi lebih
baik, mengejar pujian tidak menjadikan kita menjadi orang yang lebih besar, terlibat
di dakwah kampus bahkan hingga akhir masa kuliah tidak berarti kita menjadi lebih
alim dibanding yang lain.
Ada orang yang awalnya lurus niatnya bergabung
dalam lembaga dakwah namun di tengah jalan berubah dan menyimpang disebabkan
oleh nafsu syahwat, kekuasaan, follower, juga pujian. Ya jangan salah, ‘aktivis
dakwah’ juga manusia biasa yang bisa terlena.
Di dalam keseharian kita, kita mengenal adanya
terma hijab terutama ketika berinteraksi dengan non mahram, yang mana ini
menjadi tuntunan syariat sebagai upaya untuk menjaga diri masing-masing dari
sesuatu hal yang tidak diinginkan, hijab adalah instrumen untuk menjaga interaksi
agar tidak melewati batas.
Cara kita berkomunikasi dan merespon perlu
dijaga, tidak hanya dibuktikan secara fisik namun juga terderivasi dalam perilaku
atau akhlak kita. Yang putra penting untuk menjaga izzah sedangkan yang
putri menjaga iffah nya.
Menjadi kekhawatiran kita bersama tatkala
waktu, tenaga, pikiran yang kita keluarkan untuk agenda dakwah menjadi sia-sia karena
ketiadaan akhlak dari para aktivis dakwah nya, membuat keberkahan dalam setiap
kegiatan tersebut menjadi hilang.
Saking pentingnya akhlak ini, Dr. Abd. Haris
dalam bukunya Etika Hamka: Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius menuliskan
bahwa Buya Hamka membuat konsep struktur ajaran Islam, dimana akhlak menempati
urutan kedua setelah ajaran inti, yakni tauhid. Artinya akhlak Islami
seharusnya dijiwai oleh makna Laa Ilaaha Illa Allah.
Upaya yang bisa kita lakukan agar menjaga diri
ini adalah dengan berdoa dan berikhtiar, semoga kita senantiasa dijauhkan dari
perbuatan yang tidak diinginkan, senantiasa dikuatkan dengan qolbun salim (hati
yang selamat) wa lisanan dzakiron (lisan yang senantiasa berdzikir), dan
semoga kita tetap istiqomah di jalan dakwah ini.