Siang
itu, terik matahari berada pas di atas kepala Ikhwan yang tengah duduk di teras
Masjid memikirkan sesuatu. Entah apa yang dipikirkan oleh Ikhwan seorang siswa
SMA itu, kelihatannya dia sedang mengalami masalah dan sudah tiga hari dia
terlihat menyendiri di depan masjid seperti itu.
Tingkahnya
yang berbeda dengan sebelumnya membuat teman Rohis Ikhwan lainnya menjadi
prihatin. “Dia tampak berbeda dengan yang dulu, biasanya dia yang paling ceria
di antara kita berlima. Aneh saja melihatnya duduk menyendiri di teras Masjid
tiap pulang sekolah” Ujar Ahmad kepada yang lain.
“Mau
bagaimana lagi Mad,, kita tidak bisa mengganggunya. Mungkin
ada masalah pribadi yang membuat Ikhwan
tidak memberitahukannya.”
Pungkas Arif.
Keesokan
harinya, Ahmad, Karim, Arif dan Muklis sebenarnya ingin menemui Ikhwan di
kelasnya pada saat istrahat. Namun, saat itu Ikhwan tidak terlihat di kelasnya.
Setelah bertanya ke teman kelas Ikhwan, ternyata dia tidak datang ke sekolah
hari itu.
Keprihatinan
temannya kepada Ikhwan semakin tak tergoyahkan, mereka pun berniat menemui
Ikhwan di rumahnya sepulang sekolah.
“Kreengggg...
Kreenggg... Kreengg.”
Akhirnya, bel yang ditunggu-tunggu keempat remaja itu pun dibunyikan. Mereka
lalu bergegas menuju rumah Ikhwan dengan mengendarai motor masing-masing.
Sesampainya
di rumah Ikhwan, mereka terkejut dengan pekarangan rumah Ikhwan yang
berantakan. Biasanya, Ikhwan sering membersihkan pekarangan rumahnya tiap sore
hari. Tapi kali ini pekarangannya berantakan sekali.
“Assalamu
alaikum... Ikhwan..Ikhwan...” Sahut mereka berempat.
Dan ternyata yang keluar hanyalah kakak Ikhwan saja. Kakak Ikhwan hanya
mengatakan kepada mereka untuk tidak menemui Ikhwan saat ini.
“Emangnya
ada apa dengan Ikhwan, kak?” Tanya si Muklis.
“Saya
juga tidak tahu dek, tadi sehabis shalat shubuh, Ikhwan kembali tidur di
kamarnya dan bilang kepada saya untuk tidak mengganggunya dulu.”
Mereka
pun kembali ke rumah masing-masing, meski masih dibayang-bayangi dengan
kekhwatiran terhadap Ikhwan.
Pagi
itu sekolah masih sangat sepi, namun Ikhwan sudah terlihat di Masjid dan sedang
melaksanakan shalat dhuha.
“Mungkin
Ikhwan sudah selesai dengan masalahnya, dan kembali menjadi Ikhwan seperti sebelumnya.”
Harap Arif yang juga datang cepat pagi itu.
Kekhawatiran
Arif saat itu sedikit terbayarkan dengan kedatangan Ikhwan. Namun Ikhwan belum
mau menceritakan masalahnya kepada kawannya itu.
Barulah
pada saat pulang sekolah Ikhwan menceritakan masalahnya kepada kawannya di
teras Masjid. Dan ternyata Ikhwan sedang mengalami gejolak cinta, dan itu menjadi
pengalaman pertama buat Ikhwan di masa sekolah dengan pakaian putih abu-abunya.
Keempat kawan Ikhwan lalu terkejut dengan hal itu. Bukan apanya, Ikhwan yang
dikenal kalem dan tekun beribadah itu tentu membuat temannya yang lain menjadi
tercengang.
Siang
itu kemudian diisi dengan perbincangan kelima remaja Rohis mengenai kasmaran
yang dialami oleh Ikhwan.
Tak
bisa dipungkiri Ikhwan juga manusia. Punya rasa cinta. Tapi bedanya, Ikhwan
seorang pemuda Islam berusaha untuk meluruskan niat dan menutupi perasaannya.
Dia berusaha melawan hawa nafsunya meskipun rasa cinta yang jadi korbannya.
Apalagi
ilmu yang Ikhwan dapat dari Tarbiyah rutin dari organisasi Rohisnya membuat
kepercayaannya kepada Allah SWT semakin meningkat, meskipun ia merelakan orang
yang ia cintai menjauhi dirinya.
Di
tengah perbincangan mereka Ikhwan hanya berharap “suatu saat nanti mereka
dipertemukan di suatu tempat, dan bisa hidup bersama dalam sebuah keluarga.”
Ucap Ikhwan sambil mengeluarkan air matanya.
Mendengar
perkataan Ikhwan, Arif lalu menghibur Ikhwan dengan surah An-Nur ayat 26:
“perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang
keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan
yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang
dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dari rezeki yang mulia (surga).”
Dari
ayat yang dibacakan oleh Arif, Ikhwan lalu terdiam sejenak, pantas saja. Dia
yang sebelumnya memberikan motivasi kepada teman-temannya kini seolah termakan
oleh perkataannya sendiri. Ia yang sebelumnya menasihati temannya yang sedang
mengalami masalah kini ia yang disanasihati oleh temannya.
Terlintas
di dalam pikirannya akan rasa penyesalan itu. Ia terlena oleh kenikmatan
duniawi, sampai-sampai melupakan rabb-Nya, baru ia sadari itu.
Perilakunya
pun mulai berubah seiiring dengan pencerahan dari temannya, tetapi tetap saja
ia masih sulit untuk melupakan orang yang ia sukai apalagi itu menjadi cinta
pertamanya. Namun ia sudah paham betul tentang cinta yang sebenarnya. Yap,
cinta yang paling sejati ialah cinta kepada Allah SWT.
Malam
itu, Ikhwan sedang menulis pengalaman hidupnya. Ya, kebiasaan itu terus
dilakukan Ikhwan sejak masuk SMA berkat saran dari salah satu Murabbinya. Ia
berusaha menulis pengalaman pertamanya: jatuh hati kepada seorang akhwat, dan
ia berusaha untuk bagaimana ia dapat melupakan segalanya.
Tampak
Ikhwan menulis dengan mata yang berkaca-kaca, Ikhwan terlihat sulit menuliskan
kata-kata di dalam buku hariannya itu. Namun ia mencoba tegar menjalaninya.
Ada
yang menarik dari tulisannya: "Aku memandangnya, tak mengerti dengan
ucapannya. Hari semakin gelap, aku pun melupakannya."
Alasan
mengapa ia menulis tersebut dikarenakan cara pandang orang yang ia sukai
kepadanya yang berbeda, namun ia sulit untuk mengungkapkan langsung kepada sang
akhwat tersebut. Ia hanya memberanikan diri mengungkapkannya lewat pesan
melalui handphonenya, namun itupun tidak berhasil, pesannya tidak dibalas oleh
akhwat itu.
Waktu
pun terus berjalan, berkat temannya lah sehingga Ikhwan dapat melupakan akhwat
tersebut. Sebuah pengorbanan yang amat besar dari Ikhwan.
Alhamdulillah,
kini Ikhwan tumbuh menjadi seorang pemuda yang tekun beribadah dan Insya Allah dicintai oleh Allah SWT, karena
tindakannya dalam melawan hawa nafsunya.
Hari
demi hari Ikhwan lewati, shalat lima waktu, shalat sunnah tahajjud dan dhuha,
berpuasa senin-kamis, tilawah Al-Qur’an dan perbuatan baik lainnya ia lakukan
tiap harinya. Semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT .
Ia
kemudian terpilih menjadi ketua Rohis di sekolahnya, itu berkat kepercayaan
teman-temannya yang selalu ada di belakangnya dan tentu saja berkat rahmat dari
Allah SWT.
Kini
rasa cintanya itu telah lenyap, ia sudah melupakannya. Tidak lain karena amanah
yang ia terimanya sebagai pemimpin sebuah organisasi, apalagi dengan label
ketua Rohis ia harus menjalankan syariat Islam dan menegakkannya. Ia tidak
ingin jatuh untuk kedua kalinya di jurang yang sama.