Di dalam Islam, ada suatu
kaidah bahwa di balik setiap masalah ada peluang yang sama besarnya dengan
masalah yang dihadapi. Tidak terkecuali oleh aktivis dakwah kampus, tantangan
dakwah yang dihadapi begitu dinamis, adakalanya mereka dihadapkan oleh
persoalan eksternal semisal kristenisasi, LGBT, syiah, paham liberalisme dan
isme-isme negatif lainnya hingga persoalan internal seperti minimnya kesadaran
mahasiswa dalam menjalankan ibadah wajib,
minimnya pencapaian Standar Mutu Kader (SMK), ketidakharmonisan dalam berorganisasi
dan kisruh yang terjadi antara harakah itu
sendiri. Persoalan-persoalan ini masih silih berganti timbul di era sekarang
yang bisa jadi terus memunculkan masalah-masalah baru, perkara yang memang masih
menjadi momok yang membayang-bayangi para aktivis dakwah.
Sedikit mungkin
penjelasan atas beberapa persoalan di atas, yang jika ditarik benang merahnya maka
sebenarnya yang ada di hadapan kita adalah lubang berburai luas, bahwa dengan
mudahnya umat ini diinfiltrasi oleh musuh-musuh, bahkan memporak-porandakan
akhlak umat ini dari dalam dirinya sendiri dengan fun, food dan fashion. Operasi seperti ini sejatinya
telah kita saksikan oleh apa yang terjadi di Palestina, negeri tempat turunnya
sebagian besar nabi Allah Subhanahu wa ta’ala
dan juga tempat persinggahan Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam dalam perjalanan Isra Mi’rajnya. Tempat itu kemudian telah
berada di bawah penjajahan Zionis Israel selama lebih dari setengah abad
lamanya.
Apa yang terjadi dalam
umat ini adalah lebih kepada krisis kepemimpinan, minimnya keteladanan yang
diberikan oleh qiyadah karena
dominasi figure barat lebih bersarang
dalam pola pikir umat. Tidak adanya peran signifikan yang diperlihatkan oleh qiyadah sehingga umat menjadi tidak
terorganisir, membuat mereka rapuh, terpecah dan tidak solid. Dampaknya apa
yang kita lihat sekarang ini, marak terjadi konflik, umat menjadi tidak
produktif, dan tidak adanya semangat dalam amaliyatut
tadayyun. Seakan-akan tidak ada fungsi kepemimpinan yang timbul, hanya
sekedar sosok pemimpin secara fisik saja. Meskipun kemudian antara qiyadah dengan jundi sering berinteraksi, akan tetapi kejadian tersebut tidak
merumuskan apa-apa, tidak melakukan sesuatu, sehingga sulit untuk menyatukan frame dakwah ini, sulit untuk melakukan
konsolidasi. Yang pada akhirnya justru membuat aktivitas dakwah yang dijalankan
menjadi terhambat dan babak belur dalam menghadapi tantangan yang bersifat
tiba-tiba dan mengejutkan.
Kedepannya, upaya yang
perlu dilakukan untuk mengantisipasi kejadian tersebut terulang kembali ialah
dengan membentuk para da’i yang
berafiliasi dengan konsep tarbiyah, sebagaimana yang ditulis oleh Muhammad
Quthb yang memberikan landasan filosofi teoritis dari konsep tarbiyah itu,
yakni manhajut-tarbiyah Islamiyah. Muhammad
Quthb mendefinisikan tarbiyah dalam satu kalimat yang sederhana, namun mewakili
mafahim tarbiyah yang benar.
التربية هي فن صناعة الانسان
Tarbiyah adalah seni menciptakan manusia
Pertanyaan
yang timbul kemudian adalah bagaimana kita menciptakan manusia dengan cara Islam?
Pertama-tama, kembali kepada definisi Islam, yang kemudian diinterasikan dengan
makna tarbiyah itu sendiri. Islam adalah sistem hidup yang diturunkan Allah Subhanahu wa ta’ala bagi manusia dengan
bumi sebagai ruang hidupnya dan rentang masa kerja yang disebut sebagai umur
dalam skala individu sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Tiap-tiap yang
berjiwa akan merasakan mati” (QS. Ali-Imran: 185)
Cara-cara seperti
di atas tidak hanya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, akan tetapi juga
diimplementasikan dalam lingkungan kampus. Proses pembinaan (amaliyatut takwiin) yang nantinya
diterapkan mesti memahami duduk persoalan yang terjadi dan disesuaikan dengan
yang terjadi di lapangan, agar kemudian nantinya seseorang mampu berinteraksi
dengan ruang dan waktu berdasarkan patokan nilai-nilai agama. Tentu, yang
ditemukan di lapangan adalah manusia-manusia yang memiliki kepribadian yang
berbeda dengan pemahaman yang berbeda pula, sehingga kemudian perlu diberikan standar
output seperti apa yang ingin dicapai
melalui proses pembinaan (amaliyatut
takwiin) tadi.
Tujuan kaderisasi yang selama
ini diharapkan ialah mampu membentuk kafa’ah,
syakhsiyah Islamiyah serta syakhsiyah
da’iyah. Meskipun kemudian para kader tidak lagi berada dalam lembaga dakwah,
namun bisa jadi mereka dialirkan ke wasilah-wasilah dakwah lain untuk mensyiarkan
dakwah di sana.
Sehingga, yang menjadi fokus
utama kita ke depannya adalah tidak hanya mencetak para da’i dalam ranah da’awi saja, namun juga mempersiapkan
mereka ke dalam lingkungan yang lebih kompleks lagi, lingkungan yang lebih
majemuk, sebab persoalan sebagian besar terjadi di sana.
Referensi
1.
Anis
Matta. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta:
Fitrah Rabbani.
2.
Anis
Matta. 2014. Spiritualitas Kader. Jakarta:
Ylipp.
3.
Majelis
Syuro Keluarga Muslim Teknik. 2009. Engineering
Plus Rekayasa Pengelolaan Lembaga Da’wah Kampus. Yogyakarta.