Syaikh Muhammad bin
Shalih al-Utsaimin rahimahullah sendiri
pernah berfatwa agar umat Islam turut serta dalam Pemilihan Umum, sebab jika
hilang suara kaum muslimin sama artinya kita memberi (kursi) majelis pada ahli
keburukan. Namun jika kaum muslimin bergabung dalam Pemilihan Umum, mereka akan
memilih siapa yang layak untuk demikian, dan dengannya akan tercapai kebaikan
dan berkah. Hal serupa juga difatwakan oleh syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah, dimana beliau mengatakan
jika menjadi anggota parlemen (eksekutif maupun legislatif) memberikan dampak
bagi kemaslahatan kaum muslimin dan mengupayakan perubahan terhadap parlemen
itu menuju Islam, maka ini adalah perkara yang baik. Setidak-tidaknya
mengurangi bahaya dan mudarat bagi kaum muslimin dan mendapatkan sebagian
kemaslahatan jika tidak memungkinkan meraih semua kemaslahatan. Aktivitas sebagai
perwakilan rakyat juga pernah dilakoni oleh nabi Yusuf alaihissalam, dimana beliau ketika itu sempat berpartisipasi dalam
jajaran kemeterian seorang raja di zamannya, lalu apa yang terjadi? Apa yang
beliau lakukan pada posisinya itu? Ketika sang raja mengatakan bahwa engkau
hari ini telah menjadi orang yang terpercaya dan memiliki posisi kuat dalam
pandangan kami, maka beliau mengatakan : “Angkatlah aku sebagai bendaharawan
negara, sebab saya adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetauan”. Lalu kemudian
beliaupun masuk (ke pemerintahan) hingga akhirnya kekuasaan berada di tangan
Yusuf alaihissalam dan menjadi
pembesar Mesir, seorang Nabi dari sekian Nabi-Nabi Allah. [1]
Kurang lebih, fatwa Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
dan oleh syaikh Dr. Shalih al-Fauzan hafizhahullah
maupun kisah nabi Yusuf alaihissalam tadi
menjadi representasi bagaimana kita sebagai umat Islam dalam menyikapi
persoalan yang cukup sensitif ini. Sehingga kemudian kedepannya, kita tidak
lagi sekedar memilih pemimpin karena iming-imingan semata saja, namun ada
pertimbangan berdasarkan maslahat dan mafsadatnya. Sebab, tantangan yang kita
hadapi saat ini begitu kompleks, pengaruh eksternal begitu besar, banyak
paham-paham sesat yang berkeliaran yang jika tidak dicegah akan berimbas kepada
aqidah kita selaku umat Islam.
Ketika kemudian kita
dihadapkan oleh dua tokoh muslim, maka yang perlu kita pertimbangkan adalah
tokoh yang ingkar kepada kebathilan, paling baik akhlaknya serta ibadahnya. Yang
wajib dalam setiap pemberian jabatan adalah orang yang paling layak
mendudukinya. Jika ada dua orang yang terlihat, salah satu dari mereka lebih
besar kejujurannya sedangkan satu orang lainnya lebih besar kekuatannya, maka
yang didahulukan untuk jabatan itu adalah yang lebih bermanfaat dan lebih kecil
mudharatnya. [2]
Referensi
1.
Rapung
Samuddin. 2013. Fiqih Demokrasi Menguak
Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik. Jakarta:
Gozian Press.
2.
Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin. 2015. Politik
Islam Penjelasan Kitab Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyyah. Jakarta: Griya
Ilmu.
0 comments:
Post a Comment