Kala itu, disaat angka belum dipertemukan dengan abjad, matematika ibarat permainan yang membuat adrenalin kita tertantang menyelesaikan soal secepat mungkin. Matematika-aritmatika menjadi pembelajaran yang mengasyikkan dan tidak sesulit yang dibayangkan.
Barangkali perlu lebih dibumikan lagi kali ya metode pembelajaran sains-matematika yang mengasyikkan biar anak-anak tidak paranoid dan membenci pelajaran sains, kalau dulu Feynmann (peraih nobel Fisika 1965) memperkenalkan tekniknya bahwa seseorang dikatakan berhasil memahami suatu teori jika ia mampu menjelaskannya sesederhana mungkin ke orang lain hingga anak kecil pun bisa paham. Juga ada metode hitung cepat ala Trachtenberg yang hidup semasa perang dunia I yang cukup terkenal hingga sekarang. Kemudian di abad ke 21 ini, di Indonesia, kita punya Prof. Yohannes Surya dengan metode gasing-nya, yang bahkan bisa mengantarkan anak Papua yang awalnya tidak mempunyai pemahaman apa-apa terkait Fisika-sains menjadi seseorang yang mampu meraih medali olimpiade.
Dulu yang terkenal metode hitung cepat di Sulawesi Selatan dipopulerkan oleh ASMA, kurang tahu sekarang masih ada atau tidak, yang jelas tempat pembelajaran seperti ini begitu ramai dulu.
Waktu pertama kali ikut kompetisinya, menjadi "insecure" sendiri melihat kawan-kawan lain dengan gerakan tangan yang begitu cepat menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan sempat pesimis di awal.
Tapi Alhamdulillah diberi kesempatan juara di tingkat provinsi dan mewakili Sulsel di tingkat nasional dan menjadi juara juga di Jakarta. Lucunya, saat sedang menunggu pengumuman hasil kompetisi waktu itu di Asrama Haji Jakarta, saya dan Abi pulang lebih dulu karena dikira tidak juara. Tapi saat dalam perjalanan pulang, barulah dikabari oleh perwakilan tim rombongan Sulsel kalau saya dapat juara.
Saya kira, pengalaman berkesan itu menjadi salah satu faktor pembentuk karakter saya hingga kini. Mengingat-ngingat kembali memori masa lalu adalah cara untuk membangkitkan tekad dan semangat daya juang.
0 comments:
Post a Comment