Kuliah Ramadhan Jelang Berbuka ke-2
Oleh Ust. Adian Husaini
Dulu Ki Hadjar Dewantara, ada 2 istilah yang
digunakan yakni pendidikan dan pengajaran, Ki Hadjar Dewantara membuat
konsep pendidikan yang diluncurkan bulan juni tahun 1922 di Yogyakarta pada
pembukaan Taman Siswa, Ki Hadjar membuat konsep bahwa pendidikan itu seperti
taman bahkan di dalam artikel yang beliau tulis setelah itu, beliau mengidolakan
sistem pendidikan nasional kita bentuknya pesantren. Beliau mengkritik
keras sistem pendidikan penjajah yang sangat kering sifatnya dari menanamkan
nilai-nilai, adab, dan kesusilaan.
Dulu namanya pendidikan selalu identik dengan
penanaman nilai, Prof. Naquib Al-Attas menyebut konsepnya the purpose for
seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness in man as man and
individual self, tujuan mencari ilmu dalam Islam itu adalah menanamkan
nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang sebagai manusia, sebagai manusia
ini sangat penting karena yang ditekankan adalah untuk mendidik seseorang
menjadi orang baik bukan sebagai karyawan, orang baik pasti karyawan yang baik,
karyawan yang baik menurut standar perusahaannya belum tentu ia manusia yang
baik karena perusahaan itu belum tentu baik.
Setiap orang yang menjalani proses pendidikan
mestinya semakin adil, di dalam Al-Qur’an dikatakan I’diluu huwa aqrabu
littaqwa, berbuatlah adil sesungguhnya ia lebih dekat kepada ketakwaan.
Pengajaran adalah transfer of knowledge, jangan menganggap inti dari
pendidikan kita adalah sekolah, karena inti dari pendidikan itu adalah
penanaman nilai. Lembaga pendidikan terpenting itu adalah rumah, pondok
pesantren terbaik itu adalah rumah, kenapa begitu? Karena di rumah itulah
ditanamkan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, dan guru terbaik adalah orangtua.
Ilmu mendidik ini adalah ilmu yang wajib (bagi yang punya anak). Sekolah bisa
menjadi tempat pendidikan bisa juga tidak, kita tahu bahwa kita mencari ilmu
yang bermanfaat, tapi anehnya di sekolah-sekolah kita tidak diajarkan apa itu
ilmu sebenarnya? Penting untuk kita memahami dua macam ilmu, ada ilmu yang nafi’
(bermanfaat) dan ada juga ilmu yang dharar/mudhorat (ilmu yang
membuat kita menjauhkan diri dari Allah Subhanahu wa ta’ala).
Beradab dan menjadi orang yang baik, apa
orang yang baik itu? Orang yang bermanfaat bagi sesama. Bagaimana dia
bermanfaat dengan sesama? Dia harus kenal dengan Tuhan dan Nabinya, ia harus
mencintai sahabat dan keluarga Nabi, ia harus beradab kepada para ulama, guru
dan teman-temannya, ini yang pokok (Islamic worldview). Jika kita
membuka kitab yang ditulis oleh Imam Ghazali, Kimyatusy Sya’adah, kita
akan menemukan bab pertama dari kitab tersebut adalah kenali dirimu, siapa kamu
itu, dari mana berasal, tugasnya apa, dan setelah mati mau kemana?
Menanamkan nilai itu sifatnya seperti coaching
(melatih),
bukan sekedar diajari seperti robot tapi juga dibangun jiwanya. Dengan momen
pandemi corona ini menjadi momen terpenting bagi orangtua untuk mendidik
anak-anaknya, dididik sikapnya.
Rasulullah ketika mendidik para sahabatnya
bahkan Muadz bin Jabal pada waktu itu di atas kendaraannya, sedang berjalan, di
masjid, setelah shalat, dimanapun dan kapanpun ada pendidikan. Prof.
Mohammad Nur di dalam bukunya Budaya Ilmu, menjelaskan bahwa bahaya sekali jika
orang Islam memahami pendidikan itu formal, informal, dan non formal, yang mana
yang difokuskan hanyalah pendidikan formalnya. Seluruh hartanya dikeluarkan
untuk membiayai pendidikan formal agar anak mampu menguasai Fisika, Kimia ,
Biologi, dan lain sebagainya. Akan tetapi begitu pendidikan yang sifatnya di
rumah, anak dinasihati orangtuanya dianggap bukan pendidikan, aktivitas dan
pembinaan di bulan ramadhan dianggap bukan pendidikan (hanya dianggap sekedar
rekreasi ruhani).
Bisa disimpulkan dampak dari
penyamaan pendidikan dan sekolah bermuara pada satu hal, yakni penanaman nilai
oleh orang tua yang dilupakan. Padahal, itulah yang
akan mengantarkan seseorang pada kesuksesan dunia dan akhirat. Mungkin ada
sekolah yang memperhatikan aspek pendidikan (penanaman nilai), tapi tidak
menutup kemungkinan kalau sekolah tidak menekankan aspek itu.
Sudah semestinya
setiap orang tua dan guru insaf, bahwa yang pokok itu, bukan seberapa banyak
ilmu yang anak dan murid peroleh. Tapi sudah sampai mana ia mengenal
Tuhannya dan dirinya, sudah seberapa tinggi adab ia kepada Nabinya, gurunya,
bahkan orang tuanya. Inilah ilmu yang fardhu ‘ain. Sementara hal ini, hanya
bisa dicapai melalui pendidikan, bukan pengajaran. Ingatlah, pengejaran
intelektualitas yang berlebihan, sampai melupakan spiritualitas, hanya akan
menjerumuskan semua ilmunya ke tempat yang salah dan hanya akan membuat dirinya
merasakan kebahagiaan semu.
Selain itu,
kesimpulan lain yang bisa diambil dari 3 dampak penyamaan pendidikan dan
sekolah, ialah bahwa, yang terpenting bagi seorang murid itu bukan bagaimana
cara ia belajar dan dimana ia mendapatkan pelajaran. Baginya ada yang lebih
urgen darpada itu, yakni apa yang ia pelajari dan kepada siapa ia belajar.
Jadi Bukan bagaimana dan dimana, tapi apa dan siapa. Sekalipun pesantren,
sekolah-sekolah Islam, ataupun universitas-universitas Islam, tidak menjamin
guru dan ilmu yang benar. Maka, disinilah peran orang tua. Sebab, tanggung
jawab pendidikan seorang anak, bukan pada sekolah dan pendidik bukan pada guru
semata. Ini bukan tentang seberapa banyak uang yang dikucurkan orang tua kepada
sekolah, tapi seberapa tega orang tua melepaskan tanggung jawabnya sebagai
pendidik utama bagi anak-anaknya.
Kalaupun sudah
berusaha dan tidak bisa, maka menurut Habib Ustman dalam kitabnya, “Adabul
Insan”, kewajiban orang tua menyerahkannya kepada guru yang baik (bukan
berarti harus sekolah). Inilah yang dilakukan Sultan Murad ketika
menyerahkan Sultan Muhammad Al-Fatih kepada 2 guru besar bernama Syaikh Ahmad
Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin. Sama halnya dengan hikayat dalam kitab
“Ta’limul Muta’allim”-nya Imam Az-Zarnuji tentang penyerahan anak Khalifah
Harun Al-Rasyid kepada seorang ulama besar bernama Al-Ashma’i, oleh Khalifah
sendiri untuk belajar ilmu dan adab.
Namun, hal itu
tidak membuatnya hilang pengawasan. Sebab, suatu saat, Al-Ashma’i ditegur oleh
Khalifah. Alasannya, adalah karena sang guru tidak menyuruh anaknya yang ketika
itu sedang menuangkan air dengan satu tangannya kepada gurunya untuk berwudhu,
“menggosok” kakinya. Itulah keteladan Harus Al-Rasyid sebagai orang tua
(disamping sebagai pemimpin) yang sangat menekankan dan memperhatikan penanaman
adab untuk anaknya.
Begitulah makna
pendidikan dalam Islam yang tidak bisa disamakan dengan sekolah. Inti
pendidikan adalah penanaman nilai. Pendidikan bukan tentang yang formal,
sehingga berapapun biayanya, rela dikeluarkan demi gengsi dan materi,
sebagaimana yang ditekankan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya, “The
Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Nauib Al-Attas”. Tempat
pendidikan bukan sebatas sekolah, tapi yang utama, adalah rumah. Pendidik utama
dan terbaik adalah orang tua. Maka, sudah saatnya pandemi ini dimanfaatkan
oleh seluruh orang tua. Yakni, bagaimana beperan menjadi seorang pendidik yang
memanfaatkan rumah sebagai tempat pendidikan.
0 comments:
Post a Comment