Oleh Ust.
Amang Syafrudin Lc., MA
Sabda Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam kepada kita adalah Ihfadzillaha yahfadka, jagalah
Allah, niscaya Allah menjagamu. Apa yang harus kita lakukan dalam proses
ini? Menjaga Allah artinya menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah
Subhanahu wa ta’ala, tentunya adalah menjaga keimanan kita, jangan
sampai ada sedikit pun ada keraguan kepada Allah. Jaga keimanan kita kepada
Allah, kepada malaikat, kepada kitabullah, kepada Rasulullah, kepada hari akhir,
kepada qadha’ dan qadhar.
Jangan kalian mati
kecuali dalam keadaan muslim, idealisme seperti ini bukan sesuatu yang mimpi sifatnya, seakan hanya
Rasulullah dan para sahabat yang hanya bisa melakukannya, tapi sesungguhnya
seluruh umat Islam yang telah mengucapkan asyhadu alla ilaha illallah maka
ia berkesampatan untuk meraihnya.
Dalam bahasa
istiqomah, innalladzina qolu robbunallahu tsummas taqomu, sesungguhnya
orang-orang yang mengatakan Allah Tuhan kami kemudian istiqomah, dan
dilengkapi dengan dua kalimat syahadat maka pada saat itu kita berada pada
posisi sebagai seorang muslim yang selanjutnya kita dituntut untuk beristiqomah,
kita tidak akan bisa beristiqomah tanpa ketaqwaan, bagaimana kita meningkatkan
komitmen kita dan kepatuhan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Apa yang sudah
didesain oleh Allah kepada kita adalah dalam konteks untuk membentuk pribadi kita
yang ideal, dengan perintah dan larangannya. Semua punya peluang untuk menjadi
suri teladan, akan tetapi persoalannya adalah bagaimana kita bisa meneladani
Rasulullah? Karena pada saat kita ingin menjadi pribadi yang ideal maka kita
tentu harus punya contoh. QS. Al-Ahzab: 21, laqad kana lakum fii rasulillahi
uswatun hasanah, sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu.
Ada 3 tipologi
manusia yang berinteraksi dengan Al-Qur’an dan oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dianggap sebagai sesuatu yang tetap
dalam konteks keislaman dan ketaqwaan. Tetapi ada komitmen seseorang terhadap
Al-Qur’an itu yang disebut dengan (1) zalimun linafsih, orang
yang dzolim pada diri sendiri, masih melaksanakan yang dilarang Allah tapi
tidak sampai mengeluarkan ia dari keislamannya, (2) muqtashid,
orang yang pertengahan, ia tidak terlalu mengejar hal yang sunnah, hanya
mengerjakan yang wajib-wajib saja, tapi ia juga tidak melakukan tindakan yang
diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, (3) saabiqun bil khairat,
orang yang selalu mengejar berbagai kebaikan, setelah yang fardhu ia cari
yang fardhu kifayah kemudian sunnah muakkad, dia kejar juga sunnah ghairu
muakkad, ada tipologi manusia seperti ini. Islam, saling menutup kekurangan
kita satu sama lain.
Seorang dai dalam
Islam adalah mereka yang modelnya sedang bahkan terus belajar, melengkapi
dan menyempurnakan keislamannya dengan aktivitas-aktivitas kebaikan. Istilah
dai teladan bukan sesuatu seseorang yang sudah jadi, sebagaimana ketika kita
bicara tentang muttaqin, sesuatu yang sudah jadi (conform), mungkin
dari kita selain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak ada yang
memasuki kata ‘telah jadi seorang teladan’, kita semua berproses, bahkan
keteladan kita mungkin tidak lengkap dan tidak semuanya, ada orang yang bisa
diteladani dalam cara berpikirnya, akhlaknya, ibadahnya. Keteladanan ada pada
kondisi yang sangat-sangat normal dalam Islam, bukan sesuatu yang tidak bisa
dicontoh atau dijalankan oleh kita.
Siapa sajakah yang
bisa meneladani Rasulullah? Dai teladan itu hanya Rasulullah, selain beliau
belum ada yang sampai sederajat dengan beliau. Tapi yang menjalankan berbagai
aktivitas ibadah, dakwah, tarbiyah dan lain sebagainya yang mencontoh dan
meneladani Rasulullah itu adalah hak dan kewajiban seluruh umatnya. Tidak ada
satupun dari kita yang dikecualikan.
Siapa saja yang bisa
meneladani Rasulullah? Siapapun bisa, liman kana yarjullaha wal yaumal akhir
wa dzakarallaha kasiran, proses untuk meneladani itu bagaimana? Yang utama
tentu adalah kita melihat sosok Rasulullah. Ar-roja’ bil liqoillah, kita
harus memiliki dan menguatkan harapan, harapan itu muncul dari satu
keyakinan, semakin kuat keyakinan kita maka akan semakin kuat pula harapan
kita. Harapan apa? Harapan satu-satunya yang dimiliki oleh Rasulullah
adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, seluruhnya terkonsentrasi untuk
mewujudkan harapan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam konteks
bulan ramadhan, Man shoma romadhona imanan wahtisaban
ghufiro lahu maa taqoddama min dzanbih. "(Artinya)
barang siapa yang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka semua dosanya yang lalu akan
diampuni. Kita selalu
berharap, yarjullaha.
Ada hadits yang mengatakan man ahabba liqa allahi
ahabballahu liqa ahu, wa man kariha liqa allaihi karihallahu liqa ahu, siapa yang suka menemui Allah maka
Allah suka menemuinya dan barangsiapa yang benci menemui Allah maka Allah benci
pula menemuinya.
Wal yaumal akhir
yarjullaha wal yaumal akhir, saat kita tidak berharap dengan hari akhir, mungkin ada orang yang
mengatakan saya beriman kepada Allah tapi saya tidak percaya dengan hari akhir,
kira-kira orang tersebut akan menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah atau
tidak? Tentunya tidak, karena pandangan dia tidak ada yang disebut dengan punishment,
reward, hisab. Makanya ayat yang dimunculkan tentang hari kiamat di dalam
Surat Al-Fatihah yang kita baca setiap shalat adalah maliki yaumiddin, hari
pembalasan. Hari kiamat itu adalah hari pembalasan. Tsumma latus alunna
yauma idzin ‘anin na’im, kemudian pada hari itu (hari kiamat kelak) kamu
benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan.
Ketika rasa malas
itu muncul maka beristighfar sebanyak mungkin, karena tidak ada yang membuat kita lesu dan
lemah kecuali dosa. Dan selain itu adalah paksakan untuk selalu beramal,
kalau memaksakan diri di dalam kebaikan itu jelas menjadi suatu keharusan.
0 comments:
Post a Comment