Tuesday, September 12, 2017

Langkah Awal Menjadi Bangsa yang Mandiri


Tanah Papua, negeri elok di timur Indonesia yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), pertambangan terbesar terletak di tanah ini. Sejarahnya berawal pada tahun 1936, geolog asal Belanda Jean Jacquez Dozy bersama rombongan mengembara daerah Papua, dengan tujuan mendaki gletser Cartenz yang terletak di dekat Puncak Jaya. Gletser Cartenz ditemukan oleh Jan Cartenszoon pada tahun 1623, hasil temuan inilah yang kemudian melatarbelakangi ekspedisi yang dilakukan Jean Jacquez Dozy dan rombongannya. Dozy penasaran dengan temuan Cartenz mengenai puncak gunung yang tertutup salju di Papua. Laporan Cartenz ini sempat menjadi bahan olok-olok karena dinilai mustahil ada gletser di kawasan khatulistiwa. Eksekutif dari perusahaan tambang asal Amerika, Freeport Sulphur, yang pertama kali menggali 'kekayaan' laporan Dozy pada 1959, dengan Forbes K. Wilson sebagai presiden Director Freeport Mineral. Singkat cerita, Freeport memproses perizinan dengan mendapatkan bantuan dari Julius Tahija yang berperan sebagai perantara. Menurut Mealey, Julius yang mengatur pertemuan antara pejabat Freeport dengan Menteri Pertambangan dan Perminyakan Indonesia, Ibnu Sutowo di Amsterdam. Selain itu, Freepot menyewa pengacara Ali Budiarjo yang pernah menjadi Sekretaris Jenderal dan Pertahananan Direktur Pembangunan Nasional pada 1950an. Berkat bantuan Ali, Freeport menjadi perusahaan yang pertama kali mendapatkan Kontrak Karya dengan masa 30 tahun, setelah lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal pada 1967.  Kontrak karya itu ditandatangani pada 7 April 1967, hanya sekitar tiga pekan setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden. Belakangan Ali didaulat sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia pada 1974-1986.
Label Freeport sebagai lokasi pertambangan emas terbesar di dunia tentu didasari oleh data yang mendukung, dalam artikel dengan judul “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur” yang ditulis oleh Lisa Pease pada tahun 1996, ia menuliskan bahwa Wilson mendeskripsikan hasil temuannya, “Mining consultants confirmed our estimates of 13 million tons of ore above ground and another 14 million below ground for each 100 meters of depth. Other consultants estimated that the cost of a plant to process 5,000 tons of ore a day would be around $60 million and that the cost of producing copper would be 16½ a pound after credit for small amounts of gold and silver associated with the copper. At the time, copper was selling in world markets for around 35½ a pound. From these data, Freeport’s financial department calculated that the company could recover its investment in three years and then begin earning an attractive profit”. Sumber lain yakni Liputan 6 melaporkan jika  produksi Freeport mencapai 1,44 juta ounce pada tahun 2011.
PT Freeport telah setengah abad menginjakkan kaki di tanah Papua, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah keuntungan dari penambangan disana memberikan dampak signifikan terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di Papua? Dengan hasil produksi yang begitu besar sejak tahun 1967, faktanya kontribusi Freeport untuk masyarakat lokal di Papua belum begitu optimal. Pembangunan dan kemiskinan masih menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Papua. Padahal, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menegaskan bahwa  bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Selama rentang waktu dari tahun 1992 hingga 2013, PT FI hanya menyumbangkan kontribusi sebesar US$15,23 miliar kepada pemerintah Indonesia. Angka yang cukup sedikit dibandingkan apa yang diperoleh oleh Freeport McMoRan Copper & Gold. Bahkan pemasukan dari Freeport ini masih kalah jika dibandingkan dengan pajak cukai rokok yang menurut Kompas (2015) rokok merupakan penyumbang terbesar pendapatan cukai dengan kontribusi sebesar 96 persen, dengan nilai Rp 139,5 triliun dari total pendapatan cukai negara sebesar Rp 144,6 triliun.
Dengan status sebagai pertambangan terbesar di dunia, seharusnya negara dalam hal ini pemerintah mesti memanfaatkannya dengan bijak, tegas dalam menentukan kebijakan, sebab perputaran uang yang ada disana sangatlah besar, bangsa ini hanya memperoleh sebagian kecil dari total keuntungan yang diperoleh PT Freeport McMoRan Copper & Gold. Sejauh ini, presiden yang tegas dalam menyikapi perusahaan asing hanyalah Soekarno, dimana pada saat ia memimpin bangsa ini, perusahaan asing tidak diberi kewenangan dalam mengelola Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia. Menjadi perhatian serius, sebab kita jangan terus-terusan membiarkan pihak asing menjarah kekayaan kita, pemerintah mesti tegas dalam hal ini. Yang terbaru seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan tambang mineral dan batubara, menyebutkan bahwa perusahaan tambang mineral yang ingin tetap mengekspor mineral olahan pasca 11 Januari 2017 harus melakukan beberapa hal, di antaranya merubah status Kontrak Karya menjadi IUPK, membangun smelter, divestasi 51 persen secara bertahap selama 10 tahun sejak mulai berproduksi ke pihak nasional. Ini menjadi langkah positif, sebab jika status Freeport berubah menjadi IUPK maka kemudian besarnya pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dipungut dari pemegang IUPK ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan masa kontrak yang akan habis pada tahun 2021, PT Freeport hingga kini terus berunding dengan pemerintah terkait perpanjangannya. Harapannya kemudian pemerintah dapat konsisten dengan peraturan yang telah dibuat, ini tidak lain agar kita bisa menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara yang berdaulat, dan juga sebagai pemilik saham mayoritas kita dapat memiliki akses kontrol terhadap sumber daya alam, dengan begitu pemerintah bisa memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan alam yang ada untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa yang mandiri sampai kemudian para penentu kebijakan itu tegas, berani, serta memiliki inisiatif dalam menyikapi persoalan, penjajahan sumber daya alam yang lebih menguntungkan pihak asing dibanding bangsa sendiri.

Referensi:
2.       Pease, Lisa. “JFK, Indonesia, CIA & Freeport Sulphur”.  Diterbitkan pada 1996. National Archives Washington D.C. US.