Tuesday, February 21, 2017

Membangun Kisah dalam Lingkaran Peradaban


Sudah hampir tujuh tahun perkenalan ini, selalu mendekatkan diri ketika kita menjauh, menjadi pengingat ketika lupa dan keliru, menjadi obat pelipur lara ketika dirundung masalah. Halaqah, memberikan kita tempat untuk melukiskan lembar kehidupan ini dengan goresan-goresan yang penuh makna, tidak hanya belajar memahami dunia, namun juga berusaha memaknai kehidupan ini. Halaqah memberikan kita ruang untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala juga kepada manusia, hablum minallah wa hablum minannas. Meramaikan dunia ini dengan halaqah-halaqah, saat di sudut kota lain mungkin masih banyak yang saling bercanda gurau di kafe, menikmati beraneka ragam produk baru di pusat perbelanjaan, atau bahkan sekedar menghabiskan waktu untuk tidur sepanjang hari di kosan. Dunia ini ibarat apa yang kita lihat di langit pada malam hari, hampa, gelap, dan tidak lagi seindah dulu. Bintang tak lagi menampakkan dirinya, tertutup oleh kilauan dunia, oleh lampu gedung-gedung pencakar langit. Kini, kita kesulitan lagi melihat masjid yang diisi oleh pemuda-pemuda yang berhalaqah, mereka yang menghiasi masjid dengan majelis ilmu, dengan lantunan Al-Qur’an.  Inilah yang menjadi kelemahan umat Islam saat ini, jauh dari masjid, jauh dari Al-Qur’an, semangat dalam mengkaji ilmu agama sangatlah kurang. Padahal, segores tinta yang kita ukir dalam lembaran kehidupan adalah catatan-catatan yang kemudian akan dinilai pada yaumil hisab kelak.
Iman itu bertambah dan berkurang, maka sepantasnya kita menjaga diri dengan terus berada di lingkungan yang baik, bersama dengan orang-orang yang sholih. Terlebih bagi kita sebagai mahasiswa yang mayoritas adalah perantau, jauh dari keluarga, aktivitas yang bebas ini tentu menjadi godaan besar. Saudaraku, kita tentu menginginkan untuk dapat membanggakan kedua orang tua, membuat mereka tersenyum ketika kita telah kembali ke tanah asal. Di tanah rantau ini kita datang sendirian, tersesat dalam dunia baru, maka untuk menjadi orang yang benar, kita mesti menjaga posisi agar tetap berada di jalur yang benar. Berhalaqah adalah tentang bagaimana kita menjadikan hidup ini dengan keberkahan bukan kehingarbingaran, tumbuh menjadi orang yang bermanfaat dan tidak termakan oleh perbuatan foya-foya, tidak berbahaya kita hidup di dunia yang menjadi masalah adalah ketika dunia hidup dalam hati seorang mukmin.
 Salah satu kewajiban kita sebagai seorang muslim yakni muwaajahatut tahriq, melawan semua langkah-langkah perusak dalam kehidupan manusia dan untuk menghadapinya kita perlu energi, pembentangan diri dengan pembinaan ruh (tarbiyah ruhiyah). Halaqah adalah salah satu solusinya. Ulama-ulama kita bahkan mengatakan, siapa yang disebut orang yang berakal ialah Al-Aqilu, andharun naasu fil awaaqid. Orang yang berakal itu adalah orang yang paling jauh pandangannya tentang akibat-akibat dari segala sesuatu. Jadi yang memikirkan dampak jangka panjang dari setiap tindakannya itu, itulah ciri orang yang berilmu, tidak hanya tentang otak namun juga akhlak.

Sumber gambar : http://www.sheilainspire.com/2016/04/halaqah-episod-9-orang-islam-akhir.html


Wednesday, February 15, 2017

Membentuk Karakter Pemenang

Ada begitu banyak kisah dari para nabi yang bisa kita jadikan patron dalam menapaki kehidupan. Peradaban yang ada saat ini tentu merupakan akumulasi dari pemikiran visioner oleh sedikit orang yang ada di masa lalu, dari sedikit orang itulah yang kemudian mampu menggerakkan banyak orang untuk mendesain, merancang, mengelola dan menciptakan suatu peradaban yang bisa kita rasakan saat ini. Ketika Jazirah Arab belum dihuni oleh siapapun, kondisinya yang mungkin bisa dibilang tidak layak untuk dihuni dibandingkan negeri Syam ataupun Yaman pada saat itu, bahkan dilukiskan dalam Al-Qur’an sebagai biwadiin ghoiri dzi zar’in, pada suatu lembah yang tidak ada tumbuhannya. Nabi Ibrahim alaihis salam bersama dengan Hajar dan anaknya Ismail alaihis salam, mereka yang kemudian menjadi penghuni pertama di Jazirah Arab, bisa dibayangkan bagaimana mereka memulai usahanya membangun Ka’bah di daerah yang tak berpenghuni. Tapi bisa kita lihat saat ini, tempat itu kemudian bertransformasi, daerah yang sepi senyap sekarang menjadi daerah yang dikunjungi oleh sekitar 2 juta orang lebih tiap tahunnya, perubahan besar itu dilakukan oleh satu keluarga saja. Contoh lain di sekitar 3000an tahun setelah nabi Ibrahim alaihis salam, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak mendirikan negara Madinah, yang ikut hijrah bersama beliau jumlahnya sekitar dua ratusan orang, dari jumlah umat manusia pada saat itu sekitar seratusan juta orang. Jadi kita bisa mengambil hikmah disini, bahwa sejarah lahirnya peradaban besar itu adalah ide dari sedikit orang, bukan oleh banyak orang.
Ukuran sedikit atau banyak nya orang bukan menjadi fokus kita disini, akan tetapi yang menjadi inti permasalahannya adalah apakah kita telah siap mencetak orang-orang dengan pemikiran visioner itu? Realita yang kita hadapi sekarang bahwa jumlah umat Islam dari tahun ke tahun semakin menurun, di Indonesia sendiri kita pernah berada dalam persentase total 95% umat Islam, namun sekarang dari 250an juta jiwa penduduk Indonesia, hanya 85% yang kemudian beragama Islam. Dari persentase itu, coba kita pikirkan, ada berapa persen yang ibadahnya terjaga? Kini kondisi yang kita hadapi ialah seolah-olah umat Islam sendiri tidak berdaya dalam menyikapi problematika yang terjadi di bangsa sendiri, bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Kita ambil contoh dalam konstelasi politik di Indonesia saat ini, ketika beberapa partai Islam akan membesar, ada kekuatan sistematis yang menghancurkannya. Beberapa partai Islam yang lain bahkan tidak terstruktur dan kaderisasi masif sehingga tidak berkembang dan tidak berdaya dalam persaingan politik.

Saya kira persoalan-persoalan ini muncul karena kita melupakan proses pembinaan di dalam internal itu sendiri, kita jauh dari proses pembentukan generasi. Sehingga sebagai  aktivis dakwah kita perlu untuk kembali mengangkat makna-makna dasar yakni ma’ani ikhlash wa shidq wal intima’ ilal fikrah wal manhaj. Sebab hanya dengan menanamkan makna tersebut secara terus menerus maka apa yang kita harapkan akan sampai kepada tashhihul-masar, yakni upaya meluruskan arah perjuangan secara terus menerus dari waktu ke waktu. Inilah yang menjadi langkah pertama untuk memperkokoh qaidah ruhiyah. Kita mesti kembali ke koridor pembentukan manusia-manusia, mencetak generasi yang mampu bersaing secara global, mereka yang memiliki pemikiran yang visioner. Semua ini dapat terlaksana dengan baik jika kita ikhlas dalam mendedikasikan diri di jalan dakwah ini.