Monday, April 24, 2017

Pesona Buku: Membuka Cakrawala Semesta


            Ketika buku pertama kali ditemukan sekitar tahun 2400 SM di Mesir, wujud aslinya tidaklah seperti apa yang biasa kita pegang saat ini, bentuk buku pada awalnya merupakan hieroglif yang ditulis pada kertas papirus yang digulung. Kalau kita membaca sejarah, buku yang ada pada waktu itu tidaklah sekecil buku yang ada pada zaman sekarang ini, sebab buku yang ada pada saat itu panjang gulungannya bisa mencapai puluhan meter dengan ketebalan kertas yang tidaklah setipis kertas yang ada sekarang ini. Coba kita pikirkan, kira-kira seperti apa aktivitas baca-tulis orang-orang terdahulu? Tidak mudah, bahkan bangsa Sumeria membuat tulisan dalam media yang dikenal sebagai clay tablet yang terbuat dari tanah liat yang berbentuk persegi dan kemudian ditulis dengan stylus, setelah clay tablet itu ditulis, proses yang dilakukan selanjutnya adalah mengeringkan tanah liat tadi dengan panas matahari ataupun dipanasi dengan api. Dari aktivitas ini, kalau kita bandingkan dengan proses yang ada sekarang, tentu sangat jauh berbeda. Perbedaannya bukan hanya dari segi proses pembuatannya, tapi juga dari efisiensi waktunya, orang-orang terdahulu membutuhkan waktu berhari-hari untuk bisa mencetak atau membuat satu buku saja.
Kita harus berterima kasih terhadap apa yang telah dilakukan orang-orang terdahulu, sebab karena aktivitas yang mereka lakukanlah sehingga orang-orang yang hidup setelahnya bisa mengembangkan dan memodifikasi bentuk buku itu menjadi lebih efisien. Tentu, peradaban yang berkembang seperti saat ini merupakan hasil akumulasi dari ide-ide orang terdahulu, yang kemudian diabadikan menjadi suatu karya yang kita sebut dengan buku (kitaabun), dan buku ini memberikan fungsi kepada manusia sebagai media dalam memberikan pemahaman, sebagai sarana pembelajaran. Itulah kenapa dikatakan bahwa buku merupakan jendela dunia, sebab dengan membaca bukulah kita dapat mengenal Sphinx meski belum pernah ke Mesir, mengenal tembok Cina, mengetahui apa yang ada di dasar laut meski belum pernah menyelam, hingga memahami segala yang ada di semesta ini. Coba bayangkan, jika ide-ide terdahulu itu tidak dibukukan, akan seperti apa dunia saat ini? Stagnan, ilmu pengetahuan tidak akan berkembang karena usia manusia yang terbatas, penyaluran hasil pemikiran itu akan terputus. Peran buku ini tentu sangat luas, ia mampu mengubah peradaban dan memberikan ibrah bagi generasi masa depan. Itulah sebabnya di dalam Islam, mengapa kitab Al-Qur’an diturunkan ke muka bumi ini tidak lain ialah untuk memberikan petunjuk bagi setiap manusia dalam menjalankan kehidupannya, kitabun anzalnahu ilaika mubaraku li yaddabbaru ayatihi wa li yatadzakara ulul albab, “Inilah kitab yang Kami turunkan kepadamu yang penuh berkah supaya mereka memikirkan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran.”

Sekarang ini mungkin kita hidup pada era dimana teknologi itu berkembang dengan pesat, ada gadget yang senantiasa menemani kita dari tidur hingga bangun. Informasi bisa dengan mudah kita peroleh, akan tetapi di satu sisi juga banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari perangkat ini. Kebiasaan membaca buku ini tentu semakin sulit kita temukan saat ini, terlebih di daerah-daerah pelosok yang serba keterbatasan. Berada dalam era globalisasi, yang segala informasi mudah untuk diakses namun tingkat literasi malah semakin rendah, Indonesia dengan populasi sekitar 250 juta hanya memiliki tingkat minat baca 0,001 dan berada dalam ranking 60 dari 61 negara menurut survei yang dilakukan oleh UNESCO. menjadi tugas kita bersama untuk bisa mengembalikan kebiasaan para pendahulu ini ke tengah-tengah masyarakat, ada peribahasa Arab yang mengatakan, khoiru jalisin fi az-zamani kitabun, “Sebaik-baik teman duduk di setiap waktu adalah buku”.