Sunday, July 15, 2018

Berkelana di Dunia Baru


Saya kira bangsa ini bukan tidak bisa menjadi bangsa besar, namun ia hanya menunggu momentum untuk bisa melakukan terobosan besar, kita masih menunggu munculnya para generasi yang hadir membawa gagasan konkret yang tidak sekedar mengkritik namun juga turut andil dalam proses pembangunan, berani menawarkan ide namun tidak putus semangat jika idenya tidak didukung para stakeholder sebab masih banyak jalan lain yang bisa ditempuh, berani berbicara juga berani bertindak. Mereka yang menawarkan inovasi terkait penghematan energi juga harus bisa memberikan contoh bagaimana cara menghemat energi kepada orang-orang yang ada di sekitarnya, mereka yang mengajak orang lain untuk hidup sehat juga harus bisa mencontohkan bagaimana caranya hidup sehat, dengan tidak merokok misalnya. Keteladanan menjadi metode yang paling efektif dalam mengubah seseorang, tidak cukup dengan perkataan saja.

 Kritik tidak salah, hanya saja jika kritik itu dibalut dengan rasa benci maka bukan titik temu yang kita jumpai melainkan konflik yang berkepanjangan, bukan memberikan solusi malah menimbulkan masalah baru. Kalau kita ingin memberikan kritik, yang dituju itu argumennya bukan orangnya, kalau kata Prof. Rizal Ramli dalam salah satu acara televisi “level kualitas pembahasan bangsa ini memalukan, semakin lama kita makin tidak intelek, kualitas debat di sosial media norak, sangat personalize, bukan kontennya yang dibahas, bukan asumsinya yang dibahas. You should debate assumption not personality.” Itu yang sering kita jumpai di masyarakat, satu hal yang dapat kita saksikan misalnya bahwa masyarakat tidak dapat membedakan antara yang benar dengan yang menarik, mereka lebih tertarik kepada semua yang menarik walaupun tidak benar.

 Berita hoax mudah viral karena tidak ada budaya tabayyun (mengecek kebenaran informasi), sebab logika yang dipakai yakni yang penting sesuai dengan apa yang mereka yakini dan menarik bagi mereka, benar atau tidak urusan belakangan. Itulah sebabnya kenapa dalam masyarakat terkadang artis itu lebih populer daripada tokoh intelektual atau ulama, karena yang satu menarik sedangkan yang satunya lagi membawa kebenaran. Oleh karena itu, untuk mengubah mindset ini yang kita perlukan adalah menggabungkan dua unsur itu sekaligus, antara unsur benar dan unsur menarik, harus ada pesona pada kebenarannya.

Zaman telah berubah, informasi dapat dengan mudah kita peroleh, bayangkan orang-orang dulu untuk bisa berkomunikasi jarak jauh dengan orang lain harus bisa menunggu beberapa hari sampai suratnya sampai di rumah tujuan, itupun orang yang dituju tadi mesti mengirim surat kembali dan memerlukan waktu berhari-hari pula. Tapi tidak hari ini, balasan chat WA kita yang baru dibalas satu jam setelahnya saja sudah terasa lama, kita hidup di zaman kecepatan eksponensial, real-time, setiap manusia menuntut respon cepat. Kehadiran smartphone yang pertama diperkenalkan ke publik pada tahun 2008 tentu mengubah kebiasaan lama masyarakat dunia.  Laporan dari Emarketer (2014) menyatakan bahwa tahun 2013 jumlah pengguna smartphone aktif sebanyak 27.4 juta orang dan diprediksi akan meningkat menjadi 103 juta pada tahun 2018, menjadikan Indonesia kokoh menjadi negara keempat populasi pengguna smartphone terbesar di dunia (di belakang China, India, Amerika Serikat). 103 juta orang tentunya bukan jumlah yang tidak sedikit, jumlahnya hampir setengah dari populasi masyarakat Indonesia. International Telecommunication Union (ITU) menekankan perlu adanya perhatian khusus terhadap generasi muda yang telah akrab dengan dunia digital, dikenal sebagai digital native atau generasi millenial. Di Indonesia lebih kurang 50% total pengguna internet adalah digital native (KOMINFO, 2018).

Bijak dalam perbuatan serta santun dalam perkataan menjadi harapan bersama kepada generasi millenial, generasi yang sejak lahir sudah kenal dengan smartphone. Sebab lewat jari-jari merekalah nasib Indonesia digantungkan, dulu konflik global lewat adu fisik namun sekarang tidak demikian, konflik antar negara bisa dipicu hanya karena sebuah tulisan. Perang kata-kata di sosial media tak terhindarkan, kita jangan sampai terjebak dalam haters and lovers hanya karena apa yang kita dengar dari orang lain tanpa kemudian paham apa yang sebenarnya terjadi. Kita juga jangan menjadi manusia berkepala batu, hanya mau berbicara tapi tidak mau mendengarkan, sulit menerima kebenaran. Dan terakhir, dari sekarang kita harus belajar menggali wawasan kita, membuka mata kita untuk melihat realitas dunia dengan kacamata dan pola pikir masa sekarang.


Monday, July 9, 2018

Terdidik dan Mendidik

Kita tentu tidak selamanya hidup di muka Bumi ini, maka kesempatan hidup yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kita mesti dipergunakan sebaik mungkin. kewajiban kita lebih banyak daripada waktu yang ada, Al Wajibaat Aktsaru Minal Awqat. Waktu terus berjalan dan pilihan-pilihan itu terpampang di hadapan kita, ingin menjadi kunci kebaikan ataukah kunci keburukan?

مَفَاتِيحَ لِلْخَيْرِ مَغَالِيقَ لِلشَّرِّ ، وَإِنَّ مِنْ النَّاسِ مَفَاتِيحَ لِلشَّرِّ مَغَالِيقَ لِلْخَيْرِ
Mafatihu lil khoir magholiq li syarr wa inna min nasi mafatihu li syarr magholiq lil khoir
Ada yang menjadi kunci kebaikan dan penutup pintu kejelekan, Namun ada juga yang menjadi kunci kejelekan dan penutup pintu kebaikan.

Kalau kita ingin memulai perubahan yang hakiki, kita mesti memulai dari diri kita sendiri. Lakukanlah sesuatu yang memberikan kebaikan bagi diri dan lingkunganmu, sepahit apapun itu, sebenci apapun orang terhadap tindakanmu, jangan pedulikan. Karena yang benar pada akhirnya tetaplah benar dan yang salah mau bagaimanapun pada akhirnya juga salah. Anis Matta dalam bukunya Model Manusia Muslim Pesona Abad ke-21 mengatakan bahwa Manusia diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala akal yang fungsinya untuk memilih. Dari sini kemudian lahir visi. Manusia diberikan hati yang fungsinya untuk memutuskan, situasi hati yang sedang kita alami disebut dengan mentalitas. Manusia juga diberikan fisik yang berfungsi untuk melakukan segala hal yang disebut sikap, inilah kemampuan dasar yang ada pada manusia. Apa yang ada dalam diri manusia yaitu tiga hal ini. Jadi, perubahan pada skala sosial hanya dapat terjadi jika setiap individu yang merupakan bagian dari anggota masyarakat mengubah apa yang ada dalam dirinya; akal, hati, dan fisik. Apa yang lahir dari akal adalah visi. Apa yang lahir dari hati adalah mental dan apa yang lahir dari fisik adalah sikap. Kita semua tentu pernah membaca ayat di dalam Al-Qur’an yang mengatakan, Innallaha laa yughayyiru maa bi qaumin hatta yughayyiru maa bi anfusihim,  bahwa sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.

Bagaimana membentuk para manusia pahlawan itu? Membentuk para pemimpin? Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan membentuk karakter manusianya itu sendiri, character building. Tarbiyah itu cerita tentang bagaimana membentuk karakter manusia menjadi lebih baik, memunculkan para generasi yang siap menjadi pemikul beban, bukan melahirkan generasi yang hanya berleha-leha dalam hidupnya, bukan membentuk manusia yang hanya mencari kesenangan di dunia saja. Seseorang disebut pahlawan karena timbangan kebaikannya jauh mengalahkan timbangan keburukannya, karena ketakutannya mengalahkan sisi kelemahannya. Jika engkau mencoba menghitung kesalahan dan kelemahannya, maka kita akan menemui kesalahan dan kelemahannya itu tertelan oleh kebaikan dan kekuatannya.

Anis Matta mengatakan dalam salah satu seminarnya bahwa yang namanya proses kaderisasi itu adalah proses membangun inti bangunan dari umat, sehingga kita tidak akan pernah mengetahui dengan baik bagaimana cara kita melakukan kaderisasi jika kita tidak mengetahui apa artinya umat sebenarnya. Umat adalah religius community kalau kata Prof. Din Syamsuddin. Kalimat umat di dalam al-qur’an mempunyai beberapa arti, unsur umat (1) unsur misi/risalah/manhaj/metodologi, (2) pemimpin, Ibrahim disetarakan kualitasnya sama dengan satu umat, inna ibrahima kana ummah, maksudnya bahwa satu orang ini sekaliber sekelompok orang, Sa’ad bin Abi Waqqash pernah mengatakan bahwa suara Al-Qa’qa bin Amr At-Tamimi lebih baik dari 1000 orang prajurit, itulah pemimpin, ia mengumpulkan kebaikan yang berserakan pada masyarakat awam, (3) basis massa (masyarakat), (4) waktu, jadi pada mulanya umat itu dimulai dari seorang pemimpin yang datang membawa misi tertentu dan membina orang-orang yang ada di lingkungannya, dan orang-orang itu mengikuti manhaj yang dibawa orang ini kemudian terbentuklah komunitas dari buah pembinaan itu, dan begitu komunitas itu tidak lagi menjalankan ajaran-ajaran sesuai manhajnya, maka saat itulah komunitas itu berhenti. Itulah yang dimaksud dengan umat.

Umat ini harus mempunyai satu peran dalam dunia ini sebagai ustadziatul alam, menjadi guru peradaban manusia, menjadi model dari kehidupan terbaik masyarakat manusia. Ummatu risalah, umat yang datang dengan misinya. Bagaimana mencapai model umat seperti yang diharapkan tadi? membangun basis kepemimpinan, sosial, massa, dan negara.

Dalam perang Tabuq ada lebih 80 orang yang tidak ikut dalam peperangan, dan itu dianggap sebagai dosa besar. Sekitar 80 diantaranya dikenal sebagai orang munafik, ada 3 diantaranya dikenal sebagai sahabat yang telah dikader oleh Rasulullah. Saat Rasulullah kembali, semua orang itu datang kepada Rasulullah untuk meminta maaf. Sekitar 80 orang munafik yang datang ke Rasulullah langsung dimaafkan tanpa komentar. Begitu datang Ka’ab bin Malik, Rasulullah langsung berpaling dan tidak mau melihatnya, dosanya sama tapi yang melanggar yang berbeda, karena itu hukumannya berbeda. Rasulullah berpaling dan mengatakan kepada Ka’ab, “Tunggulah sampai Allah memberikan keputusan terhadap kamu”, ada hukuman khusus untuk Ka’ab bin Malik, orang yang sudah dikader langsung oleh Rasulullah. Beberapa waktu kemudian turunlah perintah untuk mengisolasi mereka bertiga, seluruh masyarakat muslim dilarang berbicara kepada mereka selama 40 hari. Bisa dibayangkan bagaimana jika kita diisolasi dari lingkungan kita sendiri, Al-Qur’an melukiskan kisah itu dengan mengatakan Wa dhaqat alaikumul ardhu bima rahubat, “Bumi yang luas pun terasa sempit karena perasaan takut”, perlakuan yang berbeda, yang lainnya dimaafkan sedangkan mereka tidak dimaafkan. Pada hari ke-40 datanglah utusan Rasulullah kepada Ka’ab, dalam hati Ka’ab sudah merasa gembira karena merasa hukumannya sudah selesai, akan tetapi ternyata utusan Rasulullah itu menyampaikan bahwa Ka’ab da yang dua orang lainnya diperintahkan untuk mengembalikan istri-istri mereka kepada orangtuanya, jadi itu adalah tahapan kedua dari hukumannya. Saat itu tentu menjadi saat yang paling berat, karena awalnya meski dihukum tidak boleh berinteraksi dengan masyarakat tapi masih bisa berinteraksi dengan istri, namun kini tidak adalah lagi yang bisa diajak untuk berbicara. Akhirnya pada hari ke-50 datanglah pemberitahuan bahwa hukumannya sudah selesai, jadi sekarang kita sudah bisa tergambarkan bahwa membina seorang pemimpin itu berbeda dengan membina seorang yang awam.

Teguran seperti itu bukan hanya datang kepada Ka’ab saja, bahkan orang seperti Umar bin Khattab dan Abu Bakar pun pernah mendapatkan teguran. Di dalam Al-Qur’an dikatakan Ya ayyuhal ladzina amanu la tarfa’u ashwatakum fauqa shautin nabiyyi, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi”. Waktu itu mereka berdua di masjid berdebat dan suaranya meninggi dalam perdebatan itu. Yang mereka perdebatkan waktu itu adalah urusan agama, urusan pergerakan, urusan dakwah, tapi suaranya meninggi melebihi volume suara Rasulullah rata-ratanya. Dari sini kita menjadi paham, bahwa meninggikan suara saja dapat teguran dari langit betapa proses pembentukan terhadap pemimpin itu diperhatikan bahkan sampai kepada hal-hal yang kecil sekalipun.


Monday, July 2, 2018

Ayo, Segera Bangun!



Arya Sandhiyudha dalam bukunya Renovasi Dakwah Kampus (2006) mengatakan bahwa pengalaman yang kami dapat selama ini menunjukkan bahwa yang menjadi sebab seorang disukai atau tidak, diterima atau tidak, alasan dominannya terletak bukan pada apa identitas kita. Kepercayaan dan penerimaan (trust and respect) masyarakat pada umumnya terletak pada kualitas pergaulan yang baik dengan lingkungan sosial kita. Profil semacam ini memang sudah sepatutnya ada dalam diri seorang muslim dan da’i, seperti dalam sebuah hadits shahih Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang yang mencampuri (bergaul) dengan manusia dan bersabar terhadap cobaan mereka, lebih baik daripada orang yang tidak bercampur dengan manusia dan tidak sabar terhadap cobaan mereka.” (H.R. Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Banyak orang menganggap Aktivis Dakwah Kampus (ADK) eksklusif karena tidak mau bergaul dengan masyarakat, ia membentuk lingkungan sendiri, membuat pergaulan dengan sesama para ADK. Tentu sikap ini kurang tepat, sebab mereka para da’i sudah semestinya berbaur di tengah-tengah masyarakat untuk mengajak mereka kepada kebaikan, menjadi orang yang mengajak masyarakat beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Aktivis Dakwah Kampus (ADK) jangan pernah merasa bahwa dirinya suci sehingga tidak mau bergaul dengan masyarakat, ia tidak boleh menutup diri dari lingkungannya, sebab disanalah tujuan mereka berdakwah. Mengajak mereka yang jauh dari Islam menjadi dekat dengan Islam, mereka yang dekat dengan Islam menjadi ta’at beribadah, mereka yang ta’at beribadah menjadi penggerak dakwah. Aktivis Dakwah Kampus (ADK) harus menjadi matahari yang meskipun sendiri namun senantiasa menyinari lingkungannya, memancarkan nilai-nilai positif, memberikan manfaat bagi sekitarnya. Waktu liburan bagi ADK bukanlah kesempatan untuk berleha-leha, tidak ada kata istirahat dalam menyeru kepada kebaikan. Pulang kampung hanyalah perpindahan tempat saja, tapi aktivitas positif dan bermanfaat tetap dijalankan.

Berdakwah di masyarakat tentu memiliki atmosfir yang cenderung berbeda dalam dunia kampus, ADK jangan sampai bersikap seolah-olah menggurui masyarakat. Pendekatan yang dilakukan sebagaimana apa yang dijelaskan pada awal tulisan ini, penerimaan masyarakat tergantung dari bagaimana pergaulan kita kepada mereka, perlihatkanlah bagaimana karakter seorang muslim sesungguhnya, berakhlak yang baik kepada masyarakat, rajin-rajin dalam memberikan salam dan senyuman kepada masyarakat, karena ini juga bagian dari hablum minannas.

Masjid yang sebelumnya sepi oleh pemuda kita ramaikan, ajak setiap orang yang kita kenal untuk shalat berjama’ah di masjid. Awalnya mungkin masih cenderung berat bagi mereka, tapi jika sering-sering diajak, akhirnya mereka juga menjadi sungkan untuk menolak ajakan. Hidayah tergantung dari Allah Subhanahu wa ta’ala, tugas seorang muslim adalah berikhtiar semaksimal mungkin dalam menyampaikan kebaikan. Ayo, segera bangun lalu wudhu, shaf ini harus segera diluruskan kembali. Jangan sampai liburan ini justru menjadikan kita tidak produktif dalam beramal, ikhwah.
                                                                                                                                                       

Sunday, July 1, 2018

Mengapa Anti dengan Politik?


Kira-kira apa yang membuat orang-orang anti berbicara tentang politik? Juga munculnya pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh masuk ke dalam ranah politik, segala sesuatu yang mengandung unsur-unsur rohani harus disingkirkan dari politik. Selama ini, kita mungkin dibayang-bayangi sikap para politisi yang kerap kali lebih mementingkan diri sendiri dan partai ketimbang janji yang dulu mereka sampaikan kepada masyarakat. Akibat dari ulah beberapa oknum ini yang kemudian membentuk stereotip bahwa seluruh politisi sama saja, hanya memikirkan diri sendiri ketika sudah terpilih. Munculnya stereotip yang seperti ini tentu menjadi masalah, karena ini berarti kita menyamakan mereka yang berjuang di pemerintahan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan mereka yang hanya mengikuti hawa nafsunya. Secara tidak langsung tentu pendapat di atas membenarkan sikap  pragmatis politisi yang antipati pada ajaran agama, karena mereka yang taat pada agama dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis.

Pendapat Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Khalif Muammar (2005) menegaskan bahwa pengikisan agama dari politik berarti terkikisnya dari nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikontrol oleh unsur-unsur kejahatan. Maka, dengan berhasilnya proyek sekularisasi, yang terjadi nantinya adalah terkikisnya moralitas manusia. Karena pada umumnya, esensi agama adalah meningkatkan moralitas manusia. Sehingga tidak mengherankan jika dewasa ini kita banyak melihat manusia yang tidak bermoral walaupun mereka berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled and yet uneducated. Oleh karena penolakan dan pemisahan politik dari agama menurut beliau merupakan suatu kejahilan.1

Konsep pemisahan antara negara dan agama (sekularisme) pertama kali berkembang di eropa, diperkenalkan oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846, ia menganggap sekularisme  adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah kristen di dunia Barat. Di barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan non-agama (bidang sekuler) yang diawali dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma kristen di pihak lain, ini terjadi pada abad 15 yang dikenal sebagai renaissance, lambang pembebasan masyarakat eropa dari kungkungan gereja. Dalam dunia Islam ideologi ini tumbuh dan berkembang pertama kali di Turki yang dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Utsmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya pemisahan antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).2

Di Indonesia sekulerisme mulai merambah pada tahun 1808-1811, dibawa pertama kali oleh gubernur jenderal Belanda Herman William Daendles pada tahun 1808-1811, yang hadir ke Indonesia untuk menggantikan VOC yang telah bercokol hampir 200 tahun.3 Meskipun tiap zaman ada gerakan penetrasi untuk menghalau paham tersebut, akan tetapi kenyataannya sekulerisme itu tetap bertahan hingga saat ini. Tekanannya tidak hanya dari eksternal saja, namun juga dari internal itu sendiri. Umat terpecah belah oleh perbedaan pendapat para ulama, diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang. Sikap harokah Islamiyah yang ada di Indonesia pun berbeda-beda. Sekulerisme ini terus berkembang, namun kita masih disibukkan oleh perbedaan pendapat, tidak ada titik temu untuk mempersatukan umat. Realita yang ada sekarang perlu menyadarkan kita bahwa zaman telah berubah, perlu ada upaya untuk membantu menghadirkan tokoh yang berjuang atas nama kebenaran dan keadilan. Apapun namanya wadah yang kita naungi, mau jam’iyah mau jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk "‘ibadatillaahi wahdah". Organisasi, lembaga, maupun harokah, itu hanyalah wasilah kita dalam memperjuangkan kebenaran.

Ustadz Adi Hidayat mengatakan bahwa kita mesti taat kepada pemimpin yang terpilih, pemimpin yang terpilih adalah orang yang buruk dan kita tetap mesti mentaati orang yang buruk. Aneh, tidak ikut memilih dengan dalih tidak ada calon yang baik padahal melarang ikut partai politik karena Indonesia menganut sistem demokrasi.

Jika orang-orang shalih tidak ikut partai politik, berarti selamanya negeri ini dipimpin sama mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, mereka yang tidak mampu bersikap adil terhadap masing-masing golongan, dan paling buruknya yakni sebagaimana yang kita saksikan belum lama ini betapa umat Islam diperlakukan berbeda dengan yang lain. Hal ini tentu karena kekeliruan para pemangku kebijakan dalam mengelola negeri ini.

Orang shalihnya berdiam diri di masjid, seakan terpisahkan oleh persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Masjid terdistorsi perannya sekedar dijadikan tempat untuk beribadah mahdhah saja, padahal Rasulullah telah mencontohkan jika pada zaman beliau Masjid menjadi pusat peradaban. Membahas negara di Masjid, membahas politik di masjid, membahas permasalahan ekonomi juga di masjid. Dahulu Masjid berperan besar dalam pemberdayaan masyarakat, sekarang sangat prihatin, masjid didominasi oleh para sepuh karena para pemudanya sibuk memakmurkan cafe, mall, warnet. Lebih miris lagi karena sekarang doktrin bahwa di Masjid dilarang berbicara tentang politik jadinya mereka mencari ideologi lain di luar, mereka lebih kagum pada paham Marxisme, liberalisme, sosialisme, maupun sekulerisme daripada ajaran agamanya sendiri. Lantas, apa bedanya kita dengan orang sekuler maupun liberal jika kita juga kukuh menolak Islam masuk ke dalam parlemen?

Referensi
1.       K. Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi (Majalah Islamia, 2005), Tahun II, Nomor 6, 99-102.
2.       https://www.republika.co.id/berita/shortlink/8088/, diakses pada 30 Juni 2018
3.       http://eramadina.com/islam-dan-sekularisme-di-indonesia/, diakses pada 1 Juli 2018