Saturday, September 28, 2019

Solar Panel Ramah Lingkungan?



Efek dari semakin masifnya gerakan zero waste, tumbler menjadi salah satu merchandise di beberapa kegiatan. Kampanye yang belakangan ini tengah masih merupakan upaya untuk meminimalisasi penggunaan plastik. Pertanyaannya sekarang, berapa lama tumbler bisa bertahan lama dengan berbagai macam material dan bagaimana pengolahan limbah pasca penggunaannya? Atau jangan-jangan hal ini bisa menimbulkan problem baru di masa yang akan datang?

Paragraf sebelumnya bukanlah menjadi topik utama pada tulisan saya saat ini, akan tetapi poin yang ingin saya ambil adalah bisa jadi sesuatu itu dianggap lebih ramah lingkungan karena kita dan peneliti yang lain belum mendapatkan kajian lebih lanjut terhadap dampaknya di masa yang akan datang.

Saya ambil contoh lain di sektor energi, misalnya solar panel, ketika pertama kali ditemukan oleh Daryl Chapin, Calvin Fuler, dan Gerald Pearson pada tahun 1950-an, solar panel ini menjadi harapan baru bagi umat manusia untuk menjawab krisis energi yang berada di depan mata. Sebab, dengan teknologi yang mengubah energi matahari menjadi listrik ini maka produksi energi kita praktis bisa menjadi tidak terbatas karena ketersediaan panas matahari yang tidak pernah habis. Jika dilihat dari sisi ini tentu kita akan sepakat mengatakan solar panel sebagai energi terbarukan. Akan tetapi ada problem baru yang muncul, pada tahun 2008, Cina telah membakar 30 juta ton batu bara untuk memproduksi panel yang dibutuhkan oleh USA dan Eropa, artinya telah terjadi pemanasan global oleh China.

Proses pembuatan panel dimulai dari penambangan batuan silica kemudian diproses berturut-turut, silica metalic, trichlorosilane, polycrystalline silicon, solar cell, dan solar panel. Salah satu bahan kimia yang berbahaya adalah chlorine yang digunakan pada setiap urutan proses pembuatan chanel, sedangkan untuk pemurnian silica diperlukan proses pemanasan yang lama pada temperatur tinggi. pencemaran terjadi pada saat pembuatan panel yang berbahan baku batubara. Prose pembakaran dengan batubara ini menimbulkan emisi green house gases, polusi kimia, dan limbah silica yang tidak dapat didaur ulang.

Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) jika terus menerus dibangun maka akan ada efek mengerikan yang timbul di masa depan. Panel-panel ini hanya dapat bertahan sekitar 20-30 tahun, setelah itu panelnya harus diuraikan, akan tetapi hal ini sulit dilakukan karena mengandung bahan kimia berbahaya seperti asam sulfat. China diperkirakan akan mengalami ledakan limbah panel surya tiba-tiba pada 2040 dan saat ini tidak ada solusi untuk masalah itu.

Hal ini tentu mengindikasikan bahwa PLTS yang kita anggap sebagai teknologi yang ramah lingkungan, ternyata juga menimbulkan dampak pencemaran lingkungan yang begitu besarnya. Kita tidak bisa naif bahwa di setiap terobosan terhadap pengembangan teknologi, akan selalu ada dampak yang ditimbulkan, hal terkecil seperti membuat suatu barang implikasinya adalah eksploitasi terhadap sumber daya alam itu sendiri. Sehingga sulit menemukan teknologi yang murni tidak memberikan dampak apapun terhadap lingkungan, pendekatan yang bisa dilakukan adalah bagaimana teknologi yang kita hadirkan itu bisa terus berkembang dalam meminimalisasi dampaknya terhadap lingkungan.

Ada 2 paham yang berbeda terkait sikap manusia terhadap alam, yakni jainisme dan utilitarianisme. Jainisme adalah paham pemikiran yang menolak eksploitasi terhadap alam dan utilitarianisme sebaliknya, ia adalah paham pemikiran yang menyatakan bahwa perbuatan harus diusahakan agar mendatangkan kebahagiaan daripada penderitaan bahkan dengan cara eksploitasi yang berlebihan sekalipun. Kedua paham ini saling bertolak belakang satu sama lain, sikap yang bijak adalah ketika kita menempatkannya di tengah-tengah, tetap memanfaatkan sumber daya alam karena itu menjadi kebutuhan kita akan tetapi kita juga memperhatikan bagaimana upaya konservasinya agar tetap sustain.

Prof Sukandarrumidi pernah mengatakan bahwa teknologi itu bersifat universal, boleh dipelajari oleh semua orang, tidak baik namun juga tidak buruk. Baik buruknya teknologi sangat ditentukan oleh yang empunya. Teknologi tidak statis, tetapi sangat dinamis dan selalu berkembang sebagaimana ilmu pengetahuan. Maka konsen kita adalah bagaimana menyeimbangkan perkembangan teknologi tersebut dengan konservasi sumber daya alamnya.

Referensi: