Saturday, June 30, 2018

Watu Payung: Menjemput Sang Surya




Pagi pertama di pondokan diisi dengan eksplorasi tempat wisata, destinasi pertama ke Watu Payung. Jangan salah mengira dulu, yang mengajak ibu dukuh pondokan kami, meski berangkatnya dengan anak ibu dukuh karena ibunya masih ngurus sesuatu.

Lumayan jauh, tapi bagi orang sini mungkin biasa saja. Masyarakat yang tinggal di pedesaan, mindset mereka jalan 3-6 kilometer biasa saja meski jalannya menanjak sekalipun. Tapi bagi orang kota yang terbiasa dengan kendaraan, jalan kaki 1 kilometer pun mungkin dianggap jauh.

Manusia ketika pertama kali diberikan pekerjaan berat, biasanya akan menganggap pekerjaan itu berat. Akan tetapi ketika sudah rutin dilakukan, sudah terbiasa dikerjakan, pekerjaan itu akan terasa ringan. Titik permasalahan ada pada setiap individu, ketika kita ingin memahami sesuatu, ingin menguasai keterampilan tertentu, hal pertama yang perlu dilakukan adalah konsisten dalam mempelajari dan menjalaninya. Ala bisa karena terbiasa, kebiasaan itulah yang membentuk mindset.

Bagi warga desa, melihat pemandangan yang menakjubkan mungkin biasa saja karena sudah menjadi obyek yang sehari-hari mereka lihat. Tapi bagi warga kota itu luar biasa, karena kesehariannya diisi dengan melihat bangunan tinggi sepanjang jalan, kemacetan, bahkan melihat bintang saat malam hari pun tidak bisa karena tertutup oleh polusi kota.

Desa selalu menjadi destinasi liburan banyak orang, tempat untuk menenangkan diri, melepas kepenatan. Watu Payung menjadi salah satu pilihan diantara banyaknya pilihan wisata yang ada di Gunungkidul, DI Yogyakarta. Pemandangannya dari atas menjangkau langit, kita dapat melihat hamparan sawah, sungai, bukit kecil yang ada di depannya. Mungkin ia menjadi titik tertinggi diantara bukit lain yang ada di sekitarnya.

Terbitnya sang surya menjadi pertanda bagi manusia untuk segera bertebaran di muka bumi menjalankan rutinitasnya. Sang surya konsisten dalam mengingatkan kita, tidak pernah telat sepersekian detik dan tidak pernah pula lewat sepersekian detik. Kalau bahasa sekarang, sangat akurat dan presisi. Bahkan robot buatan manusia pun tidak dapat menyaingi, sebab terkadang robot butuh pengecekan rutin, ada maintenance nya. Itulah perbedaan apa yang diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan apa yang dibuat oleh manusia. Kita (manusia) terbatas dalam membuat sesuatu, sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak. Adakah yang bisa menandingi ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala?



Tuesday, June 26, 2018

Desa: Tempat Kuliah yang Langka


23 juni 2018, hari pertama KKN Unit 2018-YO030

Tidak jauh memang lokasinya dibandingkan unit KKN UGM lainnya apalagi yang sampai di luar jawa, karena lokasi KKN kami hanya sekitar 1,5 jam dari kampus UGM. Meskipun begitu jauh maupun dekat tidak berarti antusiasme untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat berkurang, tergantung dari niat pribadi masing-masing juga kesungguhan dalam melaksanakan tugasnya. Yang paling penting adalah kita mampu konsisten menjalankan tugas kita dan berharap 49 hari kedepan bakal memperoleh esensi pengabdiannya, tidak menganggap itu sebagai “liburan” belaka.

Kedatangan kami adalah untuk belajar. Belajar bagaimana menjadi masyarakat yang sesungguhnya, belajar beretika dalam bermasyarakat terlebih di Daerah Istimewa Yogyakarta kabupaten Gunung Kidul yang kental akan nilai adat istiadatnya, nilai moral yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, juga belajar segala hal yang mungkin tidak akan bisa dijumpai dibangku sekolah maupun perkuliahan. Inilah kesempatannya, sebelum terjun langsung ke masyarakat dengan peran yang berbeda. Agar dikemudian hari kita tidak lupa diri, senantiasa menjadi manusia yang dapat memberi warna dimanapun ia berada. Tetap memberikan penghormatan kepada setiap orang tanpa memandang statusnya. 49 hari waktu yang tidak lama memang, tetapi itulah momen dimana kita bisa dekat dengan masyarakat, manfaatkanlah.

Kata Henry Ford, you can’t learn in school what the world is going to do next year. Perubahan justru diciptakan oleh orang-orang yang sering berpergian dan bergaul dengan pihak-pihak di luar, dengan sering melihat ke luar, melihat permasalahan langsung di lapangan, tentu memudahkan kita dalam memperoleh inspirasi. Paling tidak kita mampu berbaur dengan masyarakat, merasakan apa yang mereka rasakan itulah yang menjadi nilai yang ingin diperoleh di KKN ini, disanalah esensi pengabdiannya.

Kenapa lokasi KKN itu hampir sebagian besar tujuannya ke desa, daerah yang terpencil, dan bukan daerah perkotaan dengan rumah yang nyaman? Kira-kira saya bisa menjawab seperti ini: Kita tentu sangat beruntung karena mendapatkan kesempatan untuk berkuliah diantara puluhan juta pemuda lainnya, mereka yang “tersisihkan” menaruh harapan kepada kita, ada juga mereka yang ingin berkuliah tapi apa daya karena tidak punya dana jadinya tidak bisa lanjut kuliah. Setidaknya dengan ilmu yang kita peroleh ini mampu memberikan manfaat bagi masyarakat, kita bisa banyak mendengar apa yang menjadi keluhan mereka selama ini. Desa jauh dari hiruk pikuk perkotaan, karakter masyarakatnya dapat dikatakan belum begitu terpengaruh oleh budaya luar.

Dalam bukunya yang berjudul, Pribadi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982, cet.ke-10), Prof. Hamka memberikan gambaran tentang sosok manusia yang pandai tapi tidak memiliki pribadi yang unggul: ”Banyak guru, dokter, hakim, insinyur, banyak orang yang bukunya satu gudang dan diplomanya segulung besar, tiba dalam masyarakat menjadi ”mati”, sebab dia bukan orang masyarakat. Hidupnya hanya mementingkan dirinya, diplomanya hanya untuk mencari harta, hatinya sudah seperti batu, tidak mampunyai cita-cita, lain dari pada kesenangan dirinya. Pribadinya tidak kuat. Dia bergerak bukan karena dorongan jiwa dan akal. Kepandaiannya yang banyak itu kerap kali menimbulkan takutnya. Bukan menimbulkan keberaniannya memasuki lapangan hidup.”

Kita tidak bisa menyampingkan masyarakat pedesaan, ilmu yang kita miliki di perkuliahan jangan menjadikan kita sombong dan enggan untuk berbaur dengan masyarakat yang hanya lulusan SD, SMP, maupun SMA. Tan malaka bahkan mengatakan dalam bukunya Madilog, “bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

Kini kita mesti harus menyadari bahwa kitalah generasi yang akan mewarisi posisi-posisi penting di negara ini. Memahami seluk beluk masyarakat mulai dari bawah hingga atas adalah bagian dari proses pembelajaran untuk menghadirkan negara yang adil dan sejahtera. Sebab kita adalah masyarakat yang juga akan memberikan manfaat kepada masyarakat, berkuliah hanyalah jalan yang kita lalui sebelum benar-benar terjun ke masyarakat.

Iyas Muzani
Gunung Kidul, DI Yogyakarta.