Sunday, May 23, 2021

Warren Harding Error

Saya kira, apa yang dikatakan Rhenald Kasali dalam bukunya berjudul Camera Branding (2013) mengenai salah satu penilaian untuk memilih pemimpin yang dianut masyarakat kita adalah soal popularitas, menjadi benar adanya. Sebab dalam beberapa tahun kebelakang, kita banyak menyaksikan keterpilihan para wakil rakyat  dititikberatkan pada seberapa populer mereka dan menomorduakan atau bahkan mengabaikan kualitas personalnya. Tidak sedikit artis maupun pengusaha yang melenggang ke Senayan dengan bermodalkan tampilan fisik maupun modal yang besar. Preferensi politik seperti ini hanya akan menjadi bom waktu terhadap kesalahan-kesalahan pada kebijakan yang dikeluarkan di kemudian hari akibat ketidakefektifan kinerja sang wakil rakyat.

Fenomena yang diistilahkan sebagai cameragenic ini pernah terjadi pada ajang demokrasi di Amerika Serikat, ketika Warren G harding yang dituliskan oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya Blink: The Power of Thinking Without Thinking (2005) sebagai sosok yang ideal secara fisik namun integritas kepemimpinannya belum bisa dibanggakan, bahkan ia dikenal sebagai orang yang penuh dengan kehidupan pribadi yang kontroversial. Pidato-pidato yang ia sampaikan digambarkan sebagai serangkaian ungkapan kosong yang tidak berbobot. Harding ikut kontestasi dalam pemilu tahun 1920 mewakili Partai Republik melawan James Middleton Cox dari Partai Demokrat, hasilnya Harding menang meyakinkan dengan torehan 60,3 persen. Namun bagaimana kinerjanya? Ternyata legitimasi kuat yang telah diberikan oleh rakyat tidak dimanfaatkan dengan baik dan justru melakukan banyak kesalahan, salah satu kesalahan terbesar yang ia lakukan adalah karena ia mementingkan kelompoknya untuk mengisi posisi-posisi di pemerintahan tanpa memerhatikan kompetensi dan kualitasnya, kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai Geng Ohio”.

Kisah Warren G Harding adalah sebuah pelajaran berharga yang diberikan negara yang telah lama mengadopsi sistem demokrasi kepada kita bangsa Indonesia yang belakangan kelihatannya juga mulai terjebak pada fase politik Warren Harding Error. Bagaimana solusinya? Salah satu hal yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat, bisa melalui program Kuliah Kerja Nyata oleh mahasiswa. Karena memang konsentrasi utama dari yang paling membutuhkan pendidikan politik ini adalah di pedesaan.

Monday, May 10, 2021

Hitung Cepat


Kala itu, disaat angka belum dipertemukan dengan abjad, matematika ibarat permainan yang membuat adrenalin kita tertantang menyelesaikan soal secepat mungkin. Matematika-aritmatika menjadi pembelajaran yang mengasyikkan dan tidak sesulit yang dibayangkan.

Barangkali perlu lebih dibumikan lagi kali ya metode pembelajaran sains-matematika yang mengasyikkan biar anak-anak tidak paranoid dan membenci pelajaran sains, kalau dulu Feynmann (peraih nobel Fisika 1965) memperkenalkan tekniknya bahwa seseorang dikatakan berhasil memahami suatu teori jika ia mampu menjelaskannya sesederhana mungkin ke orang lain hingga anak kecil pun bisa paham. Juga ada metode hitung cepat ala Trachtenberg yang hidup semasa perang dunia I yang cukup terkenal hingga sekarang. Kemudian di abad ke 21 ini, di Indonesia, kita punya Prof. Yohannes Surya dengan metode gasing-nya, yang bahkan bisa mengantarkan anak Papua yang awalnya tidak mempunyai pemahaman apa-apa terkait Fisika-sains menjadi seseorang yang mampu meraih medali olimpiade.

Dulu yang terkenal metode hitung cepat di Sulawesi Selatan dipopulerkan oleh ASMA, kurang tahu sekarang masih ada atau tidak, yang jelas tempat pembelajaran seperti ini begitu ramai dulu. 

Waktu pertama kali ikut kompetisinya, menjadi "insecure" sendiri melihat kawan-kawan lain dengan gerakan tangan yang begitu cepat menjawab pertanyaan demi pertanyaan dan sempat pesimis di awal. 

Tapi Alhamdulillah diberi kesempatan juara di tingkat provinsi dan mewakili Sulsel di tingkat nasional dan menjadi juara juga di Jakarta. Lucunya, saat sedang menunggu pengumuman hasil kompetisi waktu itu di Asrama Haji Jakarta, saya dan Abi pulang lebih dulu karena dikira tidak juara. Tapi saat dalam perjalanan pulang, barulah dikabari oleh perwakilan tim rombongan Sulsel kalau saya dapat juara. 

Saya kira, pengalaman berkesan itu menjadi salah satu faktor pembentuk karakter saya hingga kini. Mengingat-ngingat kembali memori masa lalu adalah cara untuk membangkitkan tekad dan semangat daya juang.