Friday, May 22, 2020

Merekonstruksi (Kembali) Makna Bulan Ramadhan - Idul Fitri



Bagi generasi millenial dan bahkan mungkin juga beberapa generasi sebelumnya, bulan ramadhan tahun ini menjadi bulan ramadhan tersulit dan berbeda dari bulan ramadhan tahun-tahun sebelumnya, pandemi covid-19 mengharuskan kita untuk beristirahat sejenak dari interaksi sosial. Pembatasan interaksi sosial atau di Indonesia dikenal dengan istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengharuskan kita untuk membatasi kegiatan di luar rumah, kuliah di rumah, shalat wajib bahkan shalat jum’at yang diganti dengan shalat dzuhur sudah sekitar 8 pekan dijalankan di rumah masing-masing, sulit tapi itu mesti dilakukan untuk kebaikan kita bersama.

Kini, tidak terasa kita telah sampai pada penghujung ramadhan, ada perasaan sedih memang bagi mereka yang setiap tahunnya menjalankan momen idul fitri dengan berkumpul dengan keluarga besar, bernostalgia bersama, saling maaf-memaafkan, hingga menikmati hidangan dari satu rumah ke rumah yang lain. Tapi tentu yang utama adalah kita harus mengambil hikmah dari peristiwa ini dan terus bersyukur atas keadaan yang terjadi bahwa skenario Allah Subhanahu wa ta’ala akan indah pada waktunya bagi orang-orang yang beriman dan bersabar.

Beberapa tahun yang lalu dan bahkan juga sampai sekarang ini, kita membaca, mendengar, dan menyaksikan betapa sulitnya saudara muslim kita di wilayah konflik Suriah, Palestina, Irak, dan Yaman menjalankan shalat ‘Id. Alih-alih ikut meramaikan momen idul fitri, menjalankan ibadah puasa dengan aman dan nyaman pun sudah menjadi hal yang sangat didambakan oleh setiap orang disana. Sekarang dengan kondisi pandemi, kita mesti banyak belajar dan mengambil ibrah, bahwa kondisi ini masih jauh lebih baik dari saudara kita yang hidup di daerah konflik yang kesehariannya diliputi dengan kelaparan, bunyi dentuman bom, hingga berbagai macam penyakit.

Kondisi demikian memunculkan satu pertanyaan besar, apa sebenarnya hikmah dari bulan ramadhan dan idul fitri? Meskipun tidak bisa beribadah di masjid, tapi kita masih bisa intens beribadah di rumah masing-masing selama bulan ramadhan ini, apakah ibadah yang giat ini hanya sebatas di bulan ramadhan saja? Apa kewajiban kita selaku umat manusia dan juga sebagai makhluk sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini mendorong saya untuk menelusuri buku, artikel, ceramah/khotbah para asatidz yang bisa diperoleh melalui internet.

Ustadz Hamid Fahmy Zarkasyi (2015) dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa dengan berpuasa seorang Muslim sedang mengosongkan dirinya dari kecenderungan fisik manusia yang umumnya didominasi oleh nafsu hewani (nafsu-l-ammarah bissu’). Dengan memberhentikan makan dan minum dalam sehari maka kekuatan fisiknya akan melemah dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani tersebut. Ketika jiwa hewani melemah maka jiwa yang tenang (nafs al-mutma’innah) akan menguat dan dominan. Dalam teori al-Ghazali ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh nafsu hewani diganti atau dikuasai oleh akalnya atau oleh jiwanya yang tenang, maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.

Sedangkan makna idul fitri, oleh ustadz Bachtiar Nasir dalam khotbah idul fitrinya pada tahun 2013 di Masjid Kampus UI Salemba menyampaikan bahwa esensi terpenting dari idul fitri adalah wala allakum tasykurun, agar kalian (kita semua) bersyukur. Yang kaya dipertemukan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan yang miskin dalam bentuk cinta silaturahim, yang kaya bisa menghapus kekeliruannya dalam setahun dalam bentuk zakat, kenapa zakat fitrah harus ditunaikan sebelum khotib naik ke mimbar? Agar tidak ada orang miskin yang tidak makan sebelum ditunaikannya shalat ‘Id. Makna sosial dari idul fitri tidak hanya sekedar bersyukur, tapi yang penting adalah implementasi sosialnya, bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam momen idul fitri ini mengejewantah dalam akhlak keseharian, umat Islam harus membuktikan dirinya sebagai rahmatan lil alamin.

Salah satu sistem sosial yang direfleksikan Islam adalah melalui ibadah zakat fitrah - Idul Fitri. Melalui Idul Fitri, Islam menjadi kekuatan moral yang wajib dimobilisasikan oleh umat Islam untuk memerdekakan masyarakat dari penyakit-penyakit sosial yang membebani kehidupan. Seperti kolonialisme struktural-kultural, gaya hidup yang diliputi konsentrasi mengejar kekayaan dan menanggalkan patokan etika atau dilanda kemiskinan hati nurani dan jiwa kepedulian terhadap sesamanya.

Sayangnya, masih banyak umat Islam yang menyikapi Idul Fitri sebagai “pesta” penebusan dosa, penebus segala kesalahan dan kembali kepada kesucian jati diri. Dengan kata lain, Idul Fitri diartikan secara skeptis sebagai kebutuhan yang bercorak individual dan kurang menyentuh aspek pembangunan masyarakat (social building). Tidak salah, hanya saja jika kita mencoba untuk menyelami maknanya secara komprehensif dan substansial maka ada esensi yang jauh lebih besar.

Idul Fitri bukanlah sekedar penutup ibadah puasa dan bukan pula “pesta” berakhirnya puasa. Ia justru menjadi gerbang religi-humanis, yang akan mempertemukan manusia pada suatu kewajiban yang tak kalah nilainya dengan puasa. Waktu sebulan dalam berpuasa, baru sebagai prasyarat ruhaniah dan psikologis, agar seseorang yang sudah terbebani hukum (mukalaf) mempunyai integritas moral guna membangun jati diri di tengah masyarakat. Sehingga diharapkan pasca bulan ramadhan, ruh dan jasmani bisa fit kembali dalam menjalankan aktifitasnya.

Shalat ‘Id yang merupakan substansi normatif dari Idul Fitri, manusia diajak meningkatkan kualitas bergaul dengan Allah Subhanahu wa ta’ala (hablumminallah) dan bukan sekedar sebagai ibadah temporer dan pamer ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain, namun untuk memperbanyak pujian kepada Dzat Yang Menguasainya dan merekonstruksi jiwa kepedulian sosial.

Bangunan (konstruksi) lebaran pasca salat ‘Id, terletak pada aspek sosial, institusi keluarga dan masyarakat marhamah (penuh kasih-sayang). Melalui Idul Fitri ini juga Islam memberikan landasan normatif atas perilaku manusia (human behaviour) untuk menjangkau manisnya nilai ukhrawi dengan kekuatan nilai duniawi.

Idul Fitri mengingatkan kedudukan, peran dan tugas-tugas manusia di sisi sesamanya, saudara-saudaranya dan asetnya bagi kepentingan pembangunan. Manusia diingatkan untuk tidak terlena dalam sifat memiliki dirinya sendiri dan kepentingannya dan dibangun untuk memiliki sifat kepedulian. Peduli kepada orang-orang yang mungkin belum seberuntung kita.

Abdul Wahid dalam bukunya yang berjudul Islam di Tengah Pergulatan Sosial (1993) bahkan menekankan agar sikap chauvanistik dan tribalistik yang seringkali membawa imbas destruktif di tengah masyarakat berusaha disembuhkan melalui paket lebaran ini. Manusia diajak melacak kembali jalannya interaksi sosial yang sering diwarnai mobilitas gaya hidup yang keluar dari jalur moralitas serta terstruktur secara dehumanisasi.

Referensi:
1.       Wahid, Abdul. 1993. Islam di Tengah Pergulatan Sosial. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.
2.       https://insists.id/tazkiyah-an-nafs/, diakses pada 21 Mei 2020
3.       Nasir, Bachtiar. 2013. Meluruskan Makna Idul Fitri https://www.youtube.com/watch?v=kxmmLNGUqxo, diakses pada 21 Mei 2020.




Wednesday, May 6, 2020

Mengungkap Rahasia Surat Al-Fajr 1-16



Oleh Ust. Dr. Saiful Bahri, Lc., M.A.

Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan satuan waktu yaitu malam, pagi, siang, sore dan semuanya ala kadarnya. Frekuensi yang paling banyak disebutkan adalah waktu malam, al-lail, sedangkan waktu yang variannya paling banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an adalah waktu pagi.

Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan waktu pagi dengan Al-Fajr, ledakan hebat yang memecah dari kegelapan sebelumnya malam. Kadang juga Allah menyebut dengan ash-subhi, al-gudhu,al-isyraq, al-falaq, al-ghodad, al-ibkar, bukrotan, ad-duha. Ini masing-masing ada tematiknya, jika al-fajr dimaknai sebagai menghentak orang-orang yang lalai pada hari kebangkitan, ­ash-subh temanya adalah memberi harapan: was subhi idza tanaffas, supaya orang-orang melupakan masa lalunya, nafas-nafas baru agar orang bertaubat. Al gudhu, bergeliat di pagi hari. Al-isyaq, terbit matahari dan hitungannya menit, sangat sebentar, maka Allah menginginkan kita agar menggunakan kesempatan pada waktu-waktu itu. Al falaq, kejahatan malam karena juga berarti pagi, supaya dihindarkan dari kejahatan malam.

Wal fajr, demi waktu pagi.

Wa layālin ‘asyr (dan [demi] malam yang sepuluh), yakni dari awal bulan Dzulhijjah.

Wasy syaf‘i (dan [demi] yang genap), yakni hari ‘Arafah dan hari Nahar. Wal watr (serta yang ganjil), yakni tiga hari sesudah hari Nahar. Allah itu adalah tunggal dan Ia menyukai yang ganjil itu.

Wal laili idzā yasr (dan [demi] malam apabila berlalu), yakni apabila beranjak. Ini adalah tema-tema bersemangat agar kita bersemangat di waktu pagi, mandi di pagi hari, bekerja dari pagi hari, shalat 2 rakaat di waktu pagi dalam kondisi bersemangat.

Hal fī dzālika (bukankah pada yang demikian itu), yakni pada hal-hal yang telah Kuterangkan itu. Sumpah-sumpah yang disebutkan tadi hanya untuk orang yang mau berpikir, kenapa pagi, kenapa ganjil. Sumpah ini akan sangat berkesan dan berefek bagi li dzi hijr. Qasamul li dzī hijr (terdapat sumpah bagi setiap yang berakal). Temanya supaya kita tidak terjerembab dalam kehinaan, supaya kita tidak menyesal di hari kiamat. Hijr, berakal, diambil dari kata dasar hajaro yang artinya menahan dan kokoh, makanya hajar, batu, ia kokoh.

Orang yang berakal adalah orang yang sanggup menahan, karena itu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengatakan, Al kayyis man daana nafsahu wal amila limaa ba’dal mauut, orang yang cerdas adalah orang yang mau menundukkan hawa nafsunya dan berpikir sangat visioner (mengkoreksi dirinya dan beramal sebagai bekal setelah mati). Wal aajizu man atba’a nafsahu hawaaha watamanna alaulooh, Orang yang lemah (bodoh) ialah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan kepada Allah (dosanya akan diampuni tanpa bertaubat).

A lam tarā kaifa fa‘ala rabbuka bi ‘ād, tidakkah kamu merenungkan, bagaimana Rabb-mu telah Bertindak terhadap kaum ‘Ad?. Kaum ‘Ad ini adalah representasi klimaks dari peradaban Batu.

‘Irama Dzātil ‘imād, yaitu kaum Iram yang memiliki tiang-tiang. Hari itu, kota Iram tidak ada bangunan seperti itu.

Allatī lam yukhlaq mitsluhā fil bilād, yang belum pernah diciptakan bandingannya di negeri-negeri lain.

Wa tsamūda Alladzīna jābus shakhra bil wād, dan kaum Tsamud yang membelah batu-batu besar di lembah. Kaum Tsamud ini lebih dahsyat dari kaum ‘Ad, kaum Tsamud jika melihat batu dia tidak tahan, dia mengambil tempat tinggal anti mainstream di gunung-gunung batu dipahat menjadi istana yang megah. Kaum Tsamud itu nenek moyangnya kaum Nabateyan, karena kaum Tsamud sudah punah. Kaum ‘Ad dan kaum Tsamud juga biasa disebut dengan Al arab al aribah/ba’idah, Arab asli tapi sudah punah. Allah Subahanu wa ta’ala ingin mengatakan kepada kita, wahai kaum yang punya peradaban besi, nasib kalian akan sama pada kaum di zaman batu jika kalian mendustakan peringatan-peringatanku.

Wa fir‘auna Dzil autād, serta Fir‘aun yang mempunyai pasak-pasak (tiang besar). Di dalam salah satu atsar-nya, Fir’aun itu memiliki tiang-tiang besar di depan istananya, keempat tiang besar ini digunakan untuk membunuh musuh-musuh politiknya atau siapapun yang ingin ia bunuh.

Alladzīna thaghau fil bilād, yang telah berlaku sewenang-wenang di negeri-negeri itu. Mereka dimusnahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena telah melampaui batas dan tidak mau bertobat.

Fa aktsarū fīhā Al-fasād, yang menyebabkan kerusakan dimana-mana.

Fa shabba ‘Alaihim rabbuka sautha ‘adzāb, Karena itu, Rabb-mu Menimpakan cambuk azab kepada mereka.

Inna rabbaka La bil mirshād, Sesungguhnya Rabb-mu benar-benar mengawasi. Dimanapun kita, Allah pasti tahu, la bil mirshad. Menandakan tidak ada satu orang pun yang bisa menghindar dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dimanapun kita bersembunyi, tidak ada tempat yang tidak diketahui oleh-Nya.

Fa ammal iηsānu Idzā mabtalāhu Rabbuhū Fa akramahū Wa na‘‘amahū Fa yaqūlu rabbī akraman, adapun manusia, apabila diuji oleh Rabb-nya, lalu Dia Memuliakannya dan Memberinya kesenangan, maka ia akan berkata, Rabb-ku telah Memuliakan daku.

Wa ammā idzā mabtalāhu Fa qadara ‘alaihi Rizqahū Fa yaqūlu rabbī ahānan, namun, apabila ia diuji oleh Rabb-nya, lalu Dia Menyempitkan rezekinya, maka ia akan berkata, Rabb-ku telah menghinakan daku.

Tabiat manusia jika ia dikasih lapang, harta, maka ia percaya diri sekali bahwa Allah sedang memuliakannya. Tapi jika diberi musibah, orang yang tidak punya iman akan punya persepsi bahwa Allah lagi bosan dengannya. Ketika Allah memberi rezeki ketika kita lapang, jangan terlalu percaya diri, karena rezeki baik itu materi maupun non materi semuanya adalah ujian. Sehebat nabi Sulaiman pun juga merasakan ketika diberi nikmat ia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.




Saturday, May 2, 2020

Simpul Kebaikan



Kita berhimpun dalam suatu jama’ah membentu simpul-simpul untuk merapihkan amal-amal kita, melipatgandakan amal kita, dan agar kita berada pada bi’ah yang mampu mengantarkan kita kepada kebaikan-kebaikan. Saat ini mungkin banyak orang shalih diantara kita, tapi semuanya seperti daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam satu wadah yang bernama jama’ah. Mungkin banyak orang yang hebat, tapi kehebatannya hilang diterpa angin zaman. Mungkin banyak potensi yang tersimpan pada individu-individu, tapi semuanya tersimpan rapi dalam lemari hingga berdebu karena tidak dimanfaatkan. Maka bergabungnya kita ke dalam jama’ah adalah untuk menghimpun daun-daun yang berhamburan tadi itu, menghimpun kehebatan-kehebatan dan potensi dari setiap individu sholih untuk bertemu padu dan berkolaborasi dalam suatu amal jama’i.

Jalan panjang menuju kebangkitan umat ini dimulai dari menghimpun daun-daun yang berhamburan itu, maka pasca kampus ini, apa yang sudah dihimpun dalam waktu kurang lebih 4 hingga 5 tahun atau bahkan lebih jangan kita hamburkan lagi oleh kesibukan-kesibukan setiap individu di tempat kerjanya, oleh studi lanjut S2 nya, oleh karena mengurus keluarga (anak, suami, istri bagi yang sudah berkeluarga), karena pada hakikatnya kita adalah nahnu du’at qobla kulli sya’in. kita berjalan di muka bumi ini, untuk menebarkan kebermanfaatan, kita bersama menuju keshalihan pribadi dan sosial.

Kata sholih ini juga bergulir di dalam Al-Qur’an, kesholihan ini di dalam bahasa arab istilahnya ash-sholah, orang yang punya kesholihan namanya ash-sholih, orang yang mengimplementasikan kesholihan dalam bentuk tindakan adalah al-muslih. Ust. Hasanna Lawang dalam salah satu kajiannya mengatakan bahwa Ash-sholah adalah percakapan atau kepantasan sesuatu sehingga ia dapat mewujudkan tujuan yang diinginkan dari keberadaannya. Sebagai ilustrasi kalau kita ingin memotong sesuatu maka kita perlu pisau, pisau ini bisa dikatakan sebagai ash-sholah ketika ia sanggup menjalankan fungsinya untuk memotong apa yang diinginkan, sehingga kalau pisau itu tumpul maka tentu tidak bisa digunakan (Tidak memiliki kesholihan). Pengertian ini juga berlaku untuk manusia, manusia yang memiliki kesholihan atau manusia sholih adalah manusia yang mampu untuk mewujudkan al maqashid (tujuan) diciptakannya dia oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, ditandai dengan kecakapan dan keistiqomahan dalam menjalankan maksud-maksud dari tujuan diciptakannya, apa maksud tujuan diciptakannya manusia?
(1) Ibadah (God-consicious), Wa ma khalaqtul-jinna wal-insa illa liya'budun, tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.
(2) istikhlaf (Excellence drive), sebagai khalifah di muka bumi), wa idz qola robbuka lil-mala ikati inni ja’ilun fil-ardhi kholifah, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala menghadirkan manusia ke muka bumi ini agar manusia itu bisa menjadi pemimpin, khalifah dalam Al-Qur’an artinya leadership/influencer/changing maker/guru/pembina.
(3) Imarotul ardhi/ar-rahmah (Contribution-oriented, berperan memakmurkan kehidupan di muka Bumi), wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin, dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, rahmat bisa diartikan sebagai cinta, kasih sayang, kontribusi, kebaikan, dan manfaat. Untuk siapa kontribusi dan manfaat kita berikan? Lil alamin, kepada seluruh alam.

Akan tetapi di ayat lain kita juga mendapati bahwa manusia ini oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, wa qath-tha’nahum fil ardhi umaman, dan Kami membagi mereka di Bumi ini menjadi beberapa umat, minhumush sholihun wa minhum duna dzalik, diantara mereka ada orang-orang yang sholeh dan ada juga yang tidak demikian. Sudah menjadi sunnatullah bahwa yang haq dan bathil itu akan selalu ada di Bumi ini hingga akhir zaman, tapi masing-masing dari kita diberi pilihan mau berada di pihak yang mana. Semoga kita menjadi orang-orang yang istiqomah dalam jama’ah ini, tetap tertarbiyah kapanpun dan dimanapun kita berada, bahkan serumit atau sebesar apapun masalah yang kita temui dalam jama’ah maka bersabar dan perbaikilah bersama-sama. Bagaimanapun juga kalau kata Imam Ali bin Abi Thalib RA, kekeruhan dalam jama’ah masih jauh lebih baik daripada kejernihan individu.

Wallahua’lam bisshowab.

Friday, May 1, 2020

[Kuliah 3] Pendidikan itu Tanggung Jawab Utama Orang Tua, Bukan Sekolah


Kuliah Ramadhan Jelang Berbuka ke-3
Ust Adian Husaini


Mendidik anak itu tanggung jawab orang tua, bukan tanggung jawab sekolah atau kampus. Kullu Mauluudin yuuladu alal fithrah, fa abawahu yuhawwidanihi aw yunashshiraanihi aw yumajjisanihi, setiap anak dilahirkan atas dasar fithrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani atau Majusi. Ya ayyuhalladzina amanu quw anfusakum wa ahlikum nara, wahai orang-orang yang beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim:6). Jelas sekali pada ayat ini adalah peran orang tua, betapa beratnya perjanjian yang dibuat oleh seorang suami ketika sang suami mengucapkan akad pada pernikahan, maka disebut pernikahan itu sebagai mitsaqon gholidzo (perjanjian yang berat). Tugas orang tua adalah mendidik, mendidik untuk menanamkan nilai, teroptimalkan fungsinya untuk mengembangkan diri dan bisa bermanfaat bagi yang lain.

Dalam buku yang dituliskan oleh Carroll Quigley berjudul Tragedy & Hope: A History of the World in Our Time, beliau menggambarkan sejarah peradaban barat dalam memimpin dunia, telah mengalami banyak tragedi tapi masih menyimpan satu harapan, kesimpulan dari buku itu menurut Prof. Muhammad Nur menunjukkan suatu pengakuan oleh Prof. Carroll Quigley yang mengatakan peradaban Barat telah meraih banyak kemajuan, pencapaian-pencapaian yang fantastis dalam dunia sains, teknologi, dan pengurangan kemiskinan. Akan tetapi ada satu hal yang kami (Barat) tidak mengerti dan bahkan gagal, In the most important of all which is how to bring up children to form them into responsible adults, kami betul-betul tidak paham dan tidak mengerti bagaimana mendidik anak-anak menjadi matang dan bertanggung jawab.

Quw anfusakum wa ahlikum nara, ayat ini menjelaskan bahwa mendidik anak adalah memang pekerjaan yang berat, mendidik anak bukan perkara sambilan tapi perkara yang sangat serius karena tanggung jawab di akhirat. Hak anak atas orang tuanya ia mendapat nama, tempat tinggal, dan pendidikan yang baik. Jika anak tersebut tidak memperoleh haknya tersebut maka di akhirat ia bisa menuntut.