Wednesday, November 25, 2020

Guru: Pilar Peradaban Bangsa

Guru adalah pilar peradaban bangsa, tidak terhitung berapa jumlah anak bangsa yang tumbuh berkat jasa para guru. Harum namanya walau tidak sepopuler tokoh publik.

Ia terus mendidik dan mengajar walau tidak sedikit yang memberikan sikap buruk, cemoohan, tidur di kelas, hingga bolos. Mohon maaf karena banyak dari kami, yang dulu engkau ajar, tidak menunjukkan sopan santun dan terkesan acuh dalam pelajaran.

Perasaan bersalah yang masih teringat sampai sekarang adalah ketika berada di jenjang SMP, kelas Akselerasi SMPN 1 Sungguminasa. Kala itu, disaat harus persiapan ujian akhir, kami (para laki-laki) justru ikut pertandingan sepakbola padahal sudah ada guru yang menunggu di kelas. Mohon maaf bu Husnawati (Guru Matematika) atas kenakalan kami waktu itu.

Guru, adalah jalan pengabdian yang paling luar biasa. Darinya, orang-orang luar biasa di negeri ini dibentuk. Salam hormat kepada seluruh guru yang ada di Indonesia, khususnya di SMAN 2 Makassar, SMPN 1 Sungguminasa, dan SDN Centre Mangalli.

Monday, November 16, 2020

Mindset Pemenang

Dari sejarah kita bisa belajar, bagaimana para pemenang berhasil mengatasi setiap tantangan dan rintangan. Ambil contoh salah satu peristiwa yang terjadi pada tahun 1805, Inggris yang waktu itu berkekuatan 27 kapal mesti berhadapan dengan armada Prancis-Spanyol yang dipimpin oleh Napoleon dengan kekuatan 33 kapal.

Biasanya, taktik yang dilakukan adalah dengan bertempur berbaris berjajar lalu saling tembak. Akan tetapi, muncul ide out of the box oleh Admiral Inggris Lord Nelson, ia memecah armada Inggris menjadi dua barisan dan memajukan keduanya ke armada Prancis-Spanyol secara tegak lurus.

Risiko tentu ada, terutama bagi kapal Inggris yang berada paling depan. Namun Nelson menilai bahwa penembak Prancis-Spanyol belum cukup terlatih dan akan kesulitan menembak di tengah ombak yang besar waktu itu.

Singkat cerita, pada pertempuran Trafalgar, pihak Prancis-Spanyol kehilangan dua puluh kapal sedangkan Inggris hanya kehilangan satu kapal saja. Meski demikian, Nelson yang berada di kapal terdepan armada Inggris terluka parah. Dan dari lukanya itu ia gugur dan dikenang sebagai pahlawan bahari terbesar Inggris.

Apa pelajaran yang bisa diambil? Bahwa faktor jumlah bukan berarti apa-apa, ide, pikiran dan kepemimpinan adalah kunci seorang pemenang. Pun juga menjadi seorang pemimpin harus berani berkorban, leiden is lijden.

Thursday, November 5, 2020

Negeri Bahari yang Tertidur


Indonesia terdiri dari 17.480 pulau, dengan garis pantai sekitar 95.181 km, luas wilayah lautan sekitar 5,8 juta km persegi. Dari luasan ini, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 memperkirakan potensi perikanan bisa mencapai 19,6 triliun per tahun, belum ditambah kontribusi dari sektor pariwisata dan juga potensi laut sebagai penghasil daya energi.

Laut beserta isinya adalah anugerah yang dititipkan kepada kita, rakyat Indonesia, untuk diolah dan dipergunakan bagi rakyat Indonesia pula. Harusnya rakyat atau paling tidak nelayan sebagai pelaku utama cukup sejahtera. Akan tetapi, faktanya terbalik. Masih banyak nelayan tradisional terus hidup di bawah garis kemiskinan dan kondisi ini sudah terstruktur dan terpola sejak lama, kemiskinan struktural yang membuat masyarakat menjadi skeptis dengan hidupnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketertinggalan dan kemiskinan nelayan tradisional: (1) tidak meratanya prasarana umum di wilayah pesisir, (2) minimnya teknologi yang digunakan, (3) tidak ada akses terhadap pasar, (4) maraknya fenomena pencurian ikan (illegal fishing).

Sudah banyak riset yang dilakukan oleh para peneliti/akademisi dari berbagai universitas maupun instansi, tapi belum memberikan dampak yang signifikan hingga saat ini. Tidak sedikit juga contoh yang ditunjukkan oleh negara-negara kepulauan lain yang berhasil memanfaatkan potensi kelautan dan perikanannya untuk kesejahteraan rakyatnya.

Setiap tahun, cukup banyak anggaran yang dikeluarkan negara untuk keperluan wakil rakyatnya kunjungan ke negara lain. Studi banding katanya, agar bisa diadopsi di Indonesia. Tapi bagaimana hasilnya sekarang?

Tentunya, kita selalu berharap bahwa kelak akan hadir pemimpin di Indonesia yang memiliki karakter berani, tegas, dan cerdas. Sebab musuh negara ini bukan hanya dari luar Indonesia, tapi juga oleh orang-orang rakus yang mengaku dirinya sebagai warga negara Indonesia tapi diam-diam menghabisi saudara se tanah airnya.

Jangan pernah berhenti berdoa, semoga negeri bahari ini segera terbangun dari tidur panjangnya.

Wednesday, November 4, 2020

Electoral College: Mungkinkah Diterapkan di Indonesia?

Yang unik di pilpres AS adalah pemenangnya ditentukan oleh 538 suara anggota electoral college dengan butuh minimal 270 suara elektoral, bukan ditentukan oleh jumlah suara pemilih (rakyat secara keseluruhan).

2 dari 5 perhelatan pilpres AS terakhir bahkan dimenangkan oleh calon yang secara jumlah suara nasional nya kalah tapi unggul di suara elektoral.

Pada tahun 2016, selisih suara yang didapat Donald Trump hampir 3 juta suara lebih sedikit daripada Hillary Clinton, namun Trump memenangkan kursi presiden. Itu karena suara elektoral yang didapatnya lebih banyak (304 electoral votes).

Pada 2000, George W Bush memenangkan 271 suara elektoral, meskipun kandidat dari Partai Demokrat, Al Gore, memenangkan suara populer dengan selisih 500.000 lebih.

Format pemilihan seperti ini saya rasa efektif untuk negara dengan jumlah penduduk tiap provinsi nya tidak merata, sehingga tidak melulu menjadikan provinsi yang penduduknya banyak sebagai lumbung suara dan prioritas untuk menang. 

Jumlah penduduk di pulau Jawa pada tahun 2019 sebanyak 150,4 juta jiwa dari total penduduk Indonesia sebanyak 266,91 juta jiwa. Artinya sekitar 56% penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa, dengan Jawa Barat (49 juta) sebagai provinsi dengan penduduk terbanyak, disusul Jawa Timur (39,74 juta), dan Jawa Tengah (34,55 juta).

Muncul statement bahwa jika ingin menang pemilu maka cukup dengan menggarap ketiga provinsi itu saja, bukan berarti provinsi lain diabaikan, hanya saja porsinya yang tidak merata.

Belum lagi sentimen primordial yang mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat Indonesia masih sulit dihilangkan, preferensi masyarakat dalam memilih cenderung mengedepankan perasaan kesukaan yang berlebihan. 

Barangkali jika format ini diberlakukan, tidak menutup kemungkinan presiden Indonesia selanjutnya yang dipilih berada dari luar pulau Jawa. Atau paling tidak memutus stigma jawa-sentris yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Kembali ke pertanyaan awal, secara konstitusional, mungkinkah electoral college diterapkan di Indonesia?