Tuesday, January 7, 2020

Refleksi Pembangunan di Sulawesi Selatan


Hasil gambar untuk sulawesi selatan
Apresiasi terhadap kinerja Prof Nurdin Abdullah dan pak Andi Sudirman Sulaiman pada satu tahun lebih masa bakti beliau saat ini sejak terpilih september 2018 lalu. Selama setahun concern beliau pada pembangunan daerah-daerah bahkan hingga daerah yang secara jarak jauh dari pusat kota (Makassar), ini tentu perlu untuk terus kita dukung. Sudah seharusnya pembangunan yang dieksekusi di Sulsel memberikan perhatian lebih pada kabupaten/kota lain yang ada di Sulawesi Selatan, agar perekonomiannya dapat berkembang secara signifikan sehingga aktivitas perekonomian tidak hanya terfokus kepada kota Makassar saja, terlebih sekarang kota Makassar semakin padat karena tidak hanya sebagai pusat perekonomian namun juga pusat pendidikan dan pemerintahan.

Bukan tanpa alasan, Selama ini kita mengenal Makassar sebagai kota metropolitan di Indonesia dan kota terbesar kelima di Indonesia. Akan tetapi kemajuan pusat kotanya tidak sebanding jika melihat pembangunan kabupaten/kota lain yang ada di Sulsel, terjadi urbanisasi ke kota Makassar tiap tahunnya sehingga membuat jumah penduduk dan kepadatan di kota Makassar semakin besar, data dari BPS Sulsel (2018) mengatakan bahwa persentase penduduk di kota Makassar sebesar 17,19% dari total penduduk yang ada di 24 kabupaten/kota dengan kepadatan penduduk sebesar 8.580 jiwa per km2 (kabupaten/kota lain berada di rentang 40 – 1.447 jiwa per km2).

Penelitian yang dilakukan oleh Luciana Sari (2018) mengungkapkan jika PDRB, upah minimum dan kesempatan kerja secara simultan berpengaruh positif terhadap urbanisasi di kota Makassar. Artinya bahwa masyarakat melakukan urbanisasi karena ingin mendapatkan upah lebih tinggi dari upah di daerah asal, akan tetapi pada faktor kesempatan kerja, terjadi temuan seperti pada ide dasar Human Capital Model bahwa niat untuk melakukan migrasi (urbanisasi) dipengaruhi oleh motivasi untuk mencari kesempatan kerja dan pendapaan yang lebih baik. Hubungan tidak signifikan menandakan tidak semua penduduk yang melakukan migrasi ke kota memiliki kesempatan kerja atau peluang kerja, skill atau pengalaman yang diinginkan oleh perusahaan di pusat kota Makassar. Hal ini tentu perlu diperhatikan sebab pertumbuhan nilai urbanisasi bisa linear dengan jumlah pengangguran, kemiskinan, dan kriminal yang terus terjadi di kota Makassar. Imbas dari tidak adanya lapangan pekerjaan sehingga mencari alternatif lain yang dapat merugikan orang lain dan dirinya sendiri.

Tentu, terlepas dari apresiasi, ada beberapa catatan yang perlu di-highlight oleh pemprov agar makna pembangunan tidak hanya melekat pada sesuatu yang sifatnya tengible layaknya infrastruktur yang bisa dilihat dengan nyata, sehingga untuk mengukur keberhasilan pemerintah provinsi bahkan juga pemerintah pusat tidak sepragmatis melihat berapa jumlah infrastruktur yang telah dibangun. Akan tetapi kembali ke pemaknaan awalnya, bahwa pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan hidup yang lebih baik sebagaimana yang didefinisikan oleh negara “an increasing attainment of one’s own cultural values” (Tjokrowinoto, 1996) inilah yang disebut dengan cita-cita bangsa, pembangunan yang dilakukan adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Drajat Tri Kartono dan Hanif Nurcholis (2016) mengatakan bahwa pembangunan sangat berkaitan dengan nilai dan sering kali bersifat transendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan sebuah ideologi (the ideology of developmentalisme). Oleh karena itu, para perumus kebijakan, perencana pembanguna, serta para pakar selalu dihadapkan dengan nilai (value choice), mulai pada pilihan epistimologis-ontologi sebagai kerangka filosofinya, sampai pada derivasinya pada tingkat strategi, program, atau proyek. Pembangunan infrastruktur harus bisa sejalan dengan IPM dan revolusi mental yang digaungkan oleh pak Jokowi sejak pertama kali terpilih sebagai presiden 6 tahun lalu, pola pikir masyarakat harus berubah sejalan dengan pembangunan yang ada agar masyarakat bisa menjadi supporting system, menjaga, mengembangkan, dan memperoleh dampak positif dari kehadiran pembangunan tersebut.

Untuk meningkatkan mutu SDM ini, yang perlu diperhatikan tentunya adalah pendidikan. Pemprov perlu hadir dalam memberikan bantuan kepada pelajar yang berprestasi namun terkendala secara finansial di seluruh daerah yang ada di Sulsel, sebab sepengetahuan saya baru Kab. Gowa yang pada periode pemkab sebelumnya mempunyai program kerjasama dengan beberapa Universitas terbaik di Indonesia untuk diberikan beasiswa.

Selain itu, hal lain yang penting untuk dibenahi adalah citra pelajar Makassar yang selalu menjadi sorotan di tingkat nasional karena aktivitas tawuran, pengeroyokan dan demonstrasi. Tentu Sulsel terutama Makassar sebagai pusat pendidikan di Sulsel harus bisa menghadirkan iklim yang kondisif untuk belajar bagi para siswa dan mahasiswa yang merantau dari daerahnya untuk menggapai cita-citanya, sekolah-sekolah harus didorong untuk melahirkan siswa yang kompetitif dan dapat bersaing di Olimpiade Sains Nasional, bukan hanya 1-2 sekolah yang biasa menjadi langganan, akan tetapi lahir sekolah-sekolah lain yang selama ini jarang muncul ke permukaan.

Memang, saya harus jujur mengatakan jika sektor pendidikan ini masih menjadi masalah yang begitu kompleks dan sulit menemukan penyelesaiannya, secara riil pendidikan formal berhasil meningkatkan pengetahuan dan kemapuan individual yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat ekonomi modern saat ini. Semakin lama waktu bersekolah akan sejalan dengan semakin banyaknya informasi dan kemampuan yang diperoleh, akan tetapi ada argumen yang muncul sekitar 40 tahun yang lalu dan sepertinya masih relevan hingga saat ini, Randal Collins dalam karyanya The Credential Society: An Historical Sosiology of Education and Stratification (1979) mengatakan jika pekerja dengan pendidikan formal yang lebih tinggi tidak harus diartikan memiliki produktivitas lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah. Banyak keterampilan dan keahlian yang justru dapat banyak diperoleh sambil menjalankan pekerjaan di dunia kerja formal. Dengan kata lain, tempat bekerja bisa berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang lebih canggih. Ini menjadi tantangan tersendiri dan diperlukan sinergisitas antara Kemendikbud dan Kemenristekdikti mewakili pemerintah pusat, pemprov, dan pemkab untuk menyelesaikan persoalan bagaimana melahirkan para pelajar yang mampu bersaing di era global namun juga memiliki akhlak yang baik.