Sunday, July 1, 2018

Mengapa Anti dengan Politik?


Kira-kira apa yang membuat orang-orang anti berbicara tentang politik? Juga munculnya pendapat yang mengatakan bahwa Islam tidak boleh masuk ke dalam ranah politik, segala sesuatu yang mengandung unsur-unsur rohani harus disingkirkan dari politik. Selama ini, kita mungkin dibayang-bayangi sikap para politisi yang kerap kali lebih mementingkan diri sendiri dan partai ketimbang janji yang dulu mereka sampaikan kepada masyarakat. Akibat dari ulah beberapa oknum ini yang kemudian membentuk stereotip bahwa seluruh politisi sama saja, hanya memikirkan diri sendiri ketika sudah terpilih. Munculnya stereotip yang seperti ini tentu menjadi masalah, karena ini berarti kita menyamakan mereka yang berjuang di pemerintahan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan dengan mereka yang hanya mengikuti hawa nafsunya. Secara tidak langsung tentu pendapat di atas membenarkan sikap  pragmatis politisi yang antipati pada ajaran agama, karena mereka yang taat pada agama dilarang untuk ikut serta dalam politik praktis.

Pendapat Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Khalif Muammar (2005) menegaskan bahwa pengikisan agama dari politik berarti terkikisnya dari nilai-nilai murni, penolakan terhadap kejahatan, membuang unsur-unsur kebaikan dan ketakwaan, dan membiarkan masyarakat dikontrol oleh unsur-unsur kejahatan. Maka, dengan berhasilnya proyek sekularisasi, yang terjadi nantinya adalah terkikisnya moralitas manusia. Karena pada umumnya, esensi agama adalah meningkatkan moralitas manusia. Sehingga tidak mengherankan jika dewasa ini kita banyak melihat manusia yang tidak bermoral walaupun mereka berpendidikan tinggi, golongan ini disebut schooled and yet uneducated. Oleh karena penolakan dan pemisahan politik dari agama menurut beliau merupakan suatu kejahilan.1

Konsep pemisahan antara negara dan agama (sekularisme) pertama kali berkembang di eropa, diperkenalkan oleh filsuf George Jacob Holyoake pada tahun 1846, ia menganggap sekularisme  adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiah, terlepas dari agama wahyu atau supernaturalisme. Akar historis dari konsep sekularisme tidak dapat dipisahkan dari sejarah kristen di dunia Barat. Di barat pada abad modern telah terjadi proses pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan non-agama (bidang sekuler) yang diawali dengan ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan di satu pihak dan dogma kristen di pihak lain, ini terjadi pada abad 15 yang dikenal sebagai renaissance, lambang pembebasan masyarakat eropa dari kungkungan gereja. Dalam dunia Islam ideologi ini tumbuh dan berkembang pertama kali di Turki yang dipopulerkan oleh Zia Gokalp (1875-1924), sosiolog terkemuka dan politikus nasionalis Turki. Dalam rangka pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Turki Utsmani (Kerajaan Ottoman) pada masa itu. Ia mengemukakan perlunya pemisahan antara diyanet (masalah ibadah serta keyakinan) dan muamalah (hubungan sosial manusia).2

Di Indonesia sekulerisme mulai merambah pada tahun 1808-1811, dibawa pertama kali oleh gubernur jenderal Belanda Herman William Daendles pada tahun 1808-1811, yang hadir ke Indonesia untuk menggantikan VOC yang telah bercokol hampir 200 tahun.3 Meskipun tiap zaman ada gerakan penetrasi untuk menghalau paham tersebut, akan tetapi kenyataannya sekulerisme itu tetap bertahan hingga saat ini. Tekanannya tidak hanya dari eksternal saja, namun juga dari internal itu sendiri. Umat terpecah belah oleh perbedaan pendapat para ulama, diantara mereka ada yang memperbolehkan dan ada juga yang melarang. Sikap harokah Islamiyah yang ada di Indonesia pun berbeda-beda. Sekulerisme ini terus berkembang, namun kita masih disibukkan oleh perbedaan pendapat, tidak ada titik temu untuk mempersatukan umat. Realita yang ada sekarang perlu menyadarkan kita bahwa zaman telah berubah, perlu ada upaya untuk membantu menghadirkan tokoh yang berjuang atas nama kebenaran dan keadilan. Apapun namanya wadah yang kita naungi, mau jam’iyah mau jama’ah mau hizbiyyah, tugas kita adalah mengajak orang untuk "‘ibadatillaahi wahdah". Organisasi, lembaga, maupun harokah, itu hanyalah wasilah kita dalam memperjuangkan kebenaran.

Ustadz Adi Hidayat mengatakan bahwa kita mesti taat kepada pemimpin yang terpilih, pemimpin yang terpilih adalah orang yang buruk dan kita tetap mesti mentaati orang yang buruk. Aneh, tidak ikut memilih dengan dalih tidak ada calon yang baik padahal melarang ikut partai politik karena Indonesia menganut sistem demokrasi.

Jika orang-orang shalih tidak ikut partai politik, berarti selamanya negeri ini dipimpin sama mereka yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, mereka yang tidak mampu bersikap adil terhadap masing-masing golongan, dan paling buruknya yakni sebagaimana yang kita saksikan belum lama ini betapa umat Islam diperlakukan berbeda dengan yang lain. Hal ini tentu karena kekeliruan para pemangku kebijakan dalam mengelola negeri ini.

Orang shalihnya berdiam diri di masjid, seakan terpisahkan oleh persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Masjid terdistorsi perannya sekedar dijadikan tempat untuk beribadah mahdhah saja, padahal Rasulullah telah mencontohkan jika pada zaman beliau Masjid menjadi pusat peradaban. Membahas negara di Masjid, membahas politik di masjid, membahas permasalahan ekonomi juga di masjid. Dahulu Masjid berperan besar dalam pemberdayaan masyarakat, sekarang sangat prihatin, masjid didominasi oleh para sepuh karena para pemudanya sibuk memakmurkan cafe, mall, warnet. Lebih miris lagi karena sekarang doktrin bahwa di Masjid dilarang berbicara tentang politik jadinya mereka mencari ideologi lain di luar, mereka lebih kagum pada paham Marxisme, liberalisme, sosialisme, maupun sekulerisme daripada ajaran agamanya sendiri. Lantas, apa bedanya kita dengan orang sekuler maupun liberal jika kita juga kukuh menolak Islam masuk ke dalam parlemen?

Referensi
1.       K. Muammar, Politik Islam: Antara Demokrasi dan Teokrasi (Majalah Islamia, 2005), Tahun II, Nomor 6, 99-102.
2.       https://www.republika.co.id/berita/shortlink/8088/, diakses pada 30 Juni 2018
3.       http://eramadina.com/islam-dan-sekularisme-di-indonesia/, diakses pada 1 Juli 2018


0 comments: