Friday, October 11, 2019

Pertumbuhan Sektor Transportasi: Analisa Terhadap Dinamika yang Terjadi dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Konsumsi Energi Masyarakat


Oleh: Iyas Muzani, Prodi Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada
Tidak bisa dipungkiri bahwa kebutuhan energi nasional akan terus meningkat hingga tahun 2050 seiring dengan pertumbuhan ekonomi, penduduk, gaya hidup, harga energi, dan kebijakan pemerintah. Data dari BPPT (2018) menyatakan bahwa dengan laju pertumbuhan PDB rata-rata sebesar 6,04% per tahun dan pertumbuhan penduduk sebesar 0,71% per tahun selama tahun 2016-2050 mengakibatkan laju pertumbuhan energi final sebesar 5,3% per tahun, dengan kata lain kebutuhan energi meningkat dari 795 juta BOE pada tahun 2016 menjadi 4,569 miliar BOE pada tahun 2050. Sektor dengan kebutuhan energi terbesar di Indonesia pada tahun 2016 adalah industri (282,3 juta BOE), transportasi (338,4 juta BOE), rumah tangga (116,2 juta BOE), dan komersial (40,6 juta BOE). Sektor industri menjadi sektor yang paling produktif dengan terus didorong perkembangannya agar bisa meningkatkan perekonomian nasional, pangsa kebutuhan energi final sektor industri meningkat dari 35,5% pada tahun 2016 menjadi 46,8% pada tahun 2050. Meskipun demikian, kita tidak bisa menegasikan peran sektor transportasi, sebab sektor ini yang mendukung aktivitas semua sektor pengguna energi, tanpa adanya sektor ini akan berdampak pada terhambatnya aktivitas sektor lain. Kebutuhan energi di sektor transportasi diproyeksikan mengalami pertumbuhan sedikit lebih rendah dari sektor industri, yaitu 4,6% per tahun dan akan membutuhkan energi 4,6 kali lipat pada tahun 2050 dibanding dengan tahun 2016.

Sektor transportasi dengan konsumsi energi yang cukup besar tersebut sudah menjadi permasalahan sendiri, belum lagi ditambah dengan kontribusinya terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca dan kemacetan yang semakin parah. Sejak tahun 2013 hingga 2017 tingkat pertumbuhan dari kendaraan bisa diuraikan sebagai berikut: (a) mobil penumpang dengan tingkat pertumbuhan per tahun sebesar 7,77%, (b) bis sebesar 2,35%, (c) mobil barang sebesar 7,59%, dan (d) sepeda motor sebesar 7,47%. Peningkatan jumlah kendaraan terjadi pada semua jenis kendaraan setiap tahunnya dan sepeda motor merupakan jenis kendaraan yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari proporsi sepeda motor sebagaimana yang kita lihat dalam keseharian kita, dimana persentasenya sebesar 81,58%, kemudian menyusul mobil penumpang dan mobil barang masing-masing 11,18% dan 5,43% (Badan Pusat Statistik, 2017). Pertumbuhan kendaraan di Indonesia yang terus meningkat ini tentu membuat jumlah kendaraan di jalanan menjadi semakin banyak dan padat sehingga akan berdampak pada hadirnya permasalahan baru di masa yang akan datang bahkan sebagian diantaranya telah kita rasakan saat ini.

Dari fakta pertumbuhan kendaraan yang semakin meningkat ini, peneliti tertarik untuk menggali lebih dalam terkait relasi pertumbuhan transportasi dengan dinamika yang terjadi di masyarakat dan pengaruhnya terhadap perilaku konsumsi energi masyarakat.

Sejarah Kendaraan Bermotor di Indonesia

Zaman semakin berkembang dan hal ini berimplikasi terhadap perubahan gaya hidup manusia. Masyarakat yang awalnya hidup dengan cara tradisional, kini perlahan-lahan sudah bertransformasi dengan cara dan perangkat yang lebih modern, hal ini disebabkan karena adanya perkembangan teknologi. Khusus dalam sektor transportasi, perkembangannya juga terjadi begitu cepat. Di Indonesia, orang pertama yang memiliki kendaraan bermotor adalah orang Inggris, John C Potter, pada tahun 1893, yang bekerja sebagai Masinis Pertama di Pabrik Gula Oemboel, Probolinggo, Jawa Timur. Potter memesan langsung sepeda motornya ke pabriknya, Hildebrand und Wolfmuller, di Muenchen, Jerman. (halaman 58-59 Bab III Sejarah Mobil di Indonesia, 2014). Akan tetapi pada saat itu Potter merupakan satu-satunya orang yang menggunakan kendaraan bermotor di Indonesia, karena sebagian besar masyarakat masih menjadikan sepeda, delman, dan becak sebagai transportasi mereka bahkan hal ini terus berlangsung sampai masa orde baru. Baru pada tahun 1961, ada 100 unit mobil jip Toyota kanvas masuk ke Indonesia, dibeli oleh Departemen Transmigrasi, Koperasi, dan Pembangunan Masyarakat Desa. Dan selanjutnya tahun 1975, Toyota Kijang bak terbuka dipamerkan di paviliun Toyota di arena Jakarta Fair (halaman 98-118 Bab III Sejarah Mobil di Indonesia, 2014). Baru ketika memasuki awal abad ke 21 ini, terutama pasca krisis moneter 1998, kendaraan bermotor pribadi semakin banyak dimiliki oleh masyarakat karena dipengaruhi kondisi perekonomian masyarakat yang semakin membaik dan inovasi kendaraan yang semakin canggih dengan harga yang terjangkau.

Badan Pusat Statistik (2017) menyatakan bahwa jumlah kendaraan yang beredar di jalanan pada tahun 2017 ada sekitar 138 juta unit, dimana sepeda motor menjadi kendaraan terbanyak yang dimiliki oleh masyarakat dengan 113 juta unit dan mobil penumpang dengan 15,4 juta unit. Angka ini akan terus bertambah karena salah satunya juga didukung oleh kebijakan Kementerian Perindustrian yang terus mendorong industri manufaktur di Indonesia untuk terlibat aktif dalam melakukan peningkatan ekspor guna dapat menguatkan struktur perekonomian nasional. Terlebih jika kita melihat peta jalan Making Indonesia 4.0, dimana salah satu dari lima sektor manufaktur yang akan ditingkatkan daya saing regionalnya adalah industri otomotif dengan menggandeng perusahan otomotif ternama PT Honda Prospect Motor (HPM) untuk terus meningkatkan investasi dan fasilitas produksinya di Indonesia, saat ini Indonesia sendiri sudah menjadi negara terbesar keempat dengan kapasitas produksi kendaraan Honda setelah Amerika Serikat, China, dan Jepang. Perusahaan Industri yang beroperasi di Indonesia terus didorong oleh pemerintah untuk melakukan penambahan investasi baru maupun perluasan usaha, total produksi kendaraan bermotor hingga juni tahun 2019 mencapai lebih dari 600 ribu unit kendaraan dan oleh pemerintah berharap untuk bisa merealisasikan target produksi 1,3 juta pada tahun 2019 dan 1,5 juta pada tahun 2020 (KEMENPERIN, 2019).

Transportasi dan Mobilisasi Masyarakat Masa Kini

Semakin berkembangnya zaman juga mempengaruhi mobilitas dari masyarakat, dewasa ini tingkat mobilitas semakin meningkat seiring dengan aktivitas masyarakat yang semakin beragam. Mobilisasi masyarakat yang semakin meningkat ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya ekonomi, perubahan demografi, perjalanan pembangunan di tengah globalisasi, dan perubahan lingkungan (Noveria, 2018).

Untuk bisa memenuhi mobilisasi masyarakat yang semakin meningkat tersebut, maka kemudian diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi, terutama untuk wilayah perkotaan. Karena kecenderungan yang terjadi adalah bahwa semakin meningkatnya jumlah penduduk disebabkan oleh tingkat kelahiran dan urbanisasi, tingkat urbanisasi berimplikasi pada semakin padatnya penduduk yang secara langsung maupun tidak langsung mengurangi daya saing dari transportasi wilayah (Susantoro & Parikesit, 2004). Kerumitan persoalan ini menyatu dengan variabel pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat, sehingga sistem transportasi yang merupakan elemen dasar infrastruktur sangat berpengaruh terhadap pengembangan perkotaan untuk bisa menyelesaikan permasalahan akan semakin padatnya penduduk.

Mobilisasi masyarakat yang semakin meningkat tentu perlu diimbangi dengan penyediaan fasilitas transportasi yang memadai, agar produktivitas masyarakat tidak menjadi terhambat. Akan tetapi, kerumitan dalam transportasi publik bukan hanya menjadi masalah pemerintah dan operator saja, melainkan juga masyarakat. Fenomena yang muncul belakangan ini bahwa transportasi yang saat ini tersedia belum bisa memberikan kenyamanan, keamanan, dan keterjangkauan dan masih mengesankan biaya sosial dan ekonomi tinggi. Hal ini tentu berimplikasi terhadap peminggiran masyarakat secara tidak langsung untuk melakukan mobilitasnya.

Kemacetan dan Konsumsi Energi Masyarakat

Kemacetan yang kerap terjadi di kota-kota besar secara langsung menyebabkan peningkatan pemakaian bahan bakar dan emisi gas buang kendaraan, dengan kata lain akan memberikan pengaruh terhadap konsumsi energi masyarakat. Di Indonesia, pada awal PELITA IV (1984) transportasi menghabiskan 39,7% dari konsumsi BBM nasional (Dikun, 1999). Pada tahun 1996 angkanya meningkat menjadi 53,5% dan pada tahun 1998 mencapai lebih dari 60%, dan pada tahun 2016 total konsumsi energinya sebesar 43,5% dari total konsumsi energi nasional. Jika kita bandingkan dengan negara lain, contohnya Jepang dengan konsumsi energi 0-25% dari total konsumsi energi nasional pada tahun 1998 (Ohta, 1998) dan sebesar 23,3% pada tahun 2011 (Hiroyuki, 2017).

Isu kebijakan pengembangan sistem transportasi sekarang dan ke depan adalah bagaimana setiap negara memainkan perannya dalam bingkai sistem transportasi berkelanjutan (sustainable transportation). Kesadaran bahwa kualitas lingkungan dan pengerukan sumber daya alam yang semakin memprihatinkan, Roby Hervindo (2019) mengatakan bahwa Indonesia diperkirakan akan kehilangan cadangan minyak bumi pada tahun 2030, hal ini terlihat karena cadangan minyak bumi Indonesia saat ini hanya sekitar 3,3 miliar barel, sementara konsumsi BBM terus meningkat mencapai sekitar 1,6 juta barel per hari.

Penataan kota perlu dilakukan terutama untuk bisa mengintegrasikan jalur transportasi antara wilayah hunian dengan perkantoran maupun kawasan bisnis. Hal ini perlu dilakukan untuk bisa mengefektifkan mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain dalam skala yang besar dan durasi yang cepat. Nilam Atsirina (2019) mengatakan bahwa salah satu konsep yang bisa menjadi opsi dalam menyelesaikan permasalahan kemacetan dan mobilitas penduduk adalah dengan menghadirkan konsep transit oriented development (TOD), dimana konsep ini juga sudah banyak diadopsi oleh beberapa negara berkembang. Transit Oriented Development (TOD) sebagaimana didefinisikan oleh Calthorpe (1993) adalah, “A mix use community within an average 2000 foot walking distance of a transit stop and core commercial area. TOD mix residential, retail, offices, open space, and public uses in a walkable environment, making it convenient for residents and employees to travel by transit, bicycle, foor or car.” Intinya bahwa konsep TOD ini bertujuan untuk memberikan alternatif dan pemecahan bagi permasalahan pertumbuhan metropolitan yang cenderung pada pola auto oriented development. Harapannya ketika sistem penataan ini telah terbentuk, dengan fungsi campuran (mixed use), terjadi internalisasi pergerakan antara hunian, perkantoran dan fungsi-fungsi lain dalam sebuah distrik yang tersentralisasi. Akumulasi pola ini pada level regional diharapkan dapat menolong masyarakat untuk menggunakan fasilitas transit ketimbang kendaraan pribadi, dengan demikian dapat menyelesaikan permasalahan sprawling.

Kegagalan sistem transportasi akan memberikan pengaruh kepada perkembangan suatu wilayah, berakibat kemacetan, mempengaruhi efisiensi ekonomi perkotaan, produktivitas masyarakat, dan juga pemborosan bahan bakar. Dengan banyaknya kendaraan di jalanan dan berakibat kemacetan, tentunya membuat waktu yang dibutuhkan pengendara untuk sampai ke tujuan akan lebih lama, sehingga ini memberikan kerugian dari sisi waktu, pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) semakin besar, dan hilangnya produktifitas. Terkait dengan pengeluaran pembelian BBM untuk kendaraan bermotor, dalam salah satu penelitian yang dilakukan Mangatur, Edison dan Suandi (2018) di Kota Jambi ditemukan bahwa potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan yang ditanggung Kota Jambi mencapai 20 milyar rupiah

Tantangan-tantangan tersbut menggarisbawahi akan perlunya mereformasi kebijakan transportasi untuk mendukung kualitas kehidupan yang lebih baik secara berkelanjutan. Esensinya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan aktivitas masyarakat tanpa mengesampingkan kebutuhan generasi mendatang.

Regulasi

Dalam hal aspek regulasi, yang perlu mendapat perhatian adalah baik yang menyangkut tahap perencanaan dan pembangunan infrastruktur maupun sistem operasinya. Dimana pendekatan yang perlu dilakukan dalam menangani permasalahan menjangkau sisi penyediaan (supply) maupun sisi kebutuhan (demand), sebab tidak ada solusi tunggal yang bisa dilakukan untuk menuntaskan permasalahan ini, melainkan perlu tindakan-tindakan yang saling terpadu. Setiap langkah yang dilakukan menuntut adanya suatu perencanaan yang saling terintegrasi. Keterpaduan suatu sistem transportasi perkotaan paling tidak bisa ditinjau dari sisi-sisi kebijakan, rencana dan program, pendanaan, aksesibilitas, dan pelayanan. Negara dalam hal ini pemerintah mempunyai peranan penting dalam merancang konsep transportasi publik. Dalam beberapa dekade belakangan ini terlihat dahsyatnya perubahan politik-ekonomi menuju titik minimal peranan negara dan pada saat yang bersamaan mencapai titik maksimal peran pengusaha. Ketika badan publik yang menjadi sandaran kepentingan publik, maka pelayanan kepada publik mau tidak mau didasarkan pada kemampuan finansialnya bukan didasarkan pada amanat Undang-undang dan Pancasila atas hak-hak warga negara. Ketika dalam proses pembuatan kebijakan melibatkan unsur kepentingan terhadap korporasi, tentu biasanya pendekatan yang dilakukan yakni pelayanan yang diberikan kepada publik hanya kalau korporasi tersebut memperoleh keuntungan dan korporasi tidak bisa dituntut bertanggung jawab terhadap nasib warga negara yang tidak mendapatkan pelayanan publik (Santosa, 2005). Kemandirian negara sebagai tuntutan dan kebutuhan industrialisasi serta pembangunan ekonomi tumbuh bersamaan dengan permasalahan transportasi publik perkotaan, hal ini dikarenakan konsentrasi permintaan per-jalanan di wilayah kawasan pusat kegiatan ekonomi dan bisnis menyebabkan kemacetan lalu lintas yang parah dan membuat transportasi menjadi penuh sesak.

Posisi pemerintah sebagai regulator yang mengatur kepentingan masyarakat dan pengusaha menurut pengakuan dari Kasie Dishub Kota Surabaya (2006) masih lemah. Hal ini bisa kita lihat dengan pemerintah yang selalu menutup mata terhadap kecenderungan setiap individu untuk memiliki mobil pribadi, pemerintah justru mengakomodasi supremasi transportasi pribadi berbasis pemilikan kendaraan pribadi dengan membangun jaringan tol yang sedemikian tersebar di tengah-tengah kota. Kurangnya perhatian terhadap transportasi publik, yang dimana hal tersebut yang semestinya menjadi titik fokus pemerintah dalam merumuskan kebijakan.

Pertumbuhan pada sektor transportasi yang ditandai dengan semakin banyaknya kendaraan yang beredar di jalanan berakibat kepada konsumsi energi bahan bakar minyak (BBM) yang semakin besar pula. Hal ini terjadi karena dengan banyaknya kendaraan di jalanan akan berakibat kemacetan dan membuat waktu yang dibutuhkan pengendara untuk sampai ke tujuan akan lebih lama, ini tentu memberikan kerugian dari sisi waktu, pengeluaran untuk membeli bahan bakar minyak (BBM) semakin besar, dan hilangnya produktifitas. Terkait dengan pengeluaran pembelian BBM untuk kendaraan bermotor, dalam salah satu penelitian yang dilakukan Mangatur, Edison dan Suandi (2018) di Kota Jambi ditemukan bahwa potensi ekonomi BBM yang hilang akibat kemacetan yang ditanggung Kota Jambi mencapai 20 milyar rupiah, dimana angka ini merupakan nilai yang sangat besar untuk kota yang termasuk sub-urban. Belum lagi jika dilakukan penelitian yang sama terhadap kota-kota besar dengan kemacetan yang cenderung lebih parah dan sering terjadi.

Daftar Pustaka
Anindhita. Yudiartono. Sugiyono, A. (2018) Indonesia Energi Outlook 2018. Jakarta: Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi (PPIPE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Astuti, K. W. (2012) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat Masyarakat dalam Memilih Angkutan Trans Jogja di Malioboro. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Priadmaja, A.P. Anisa. Prayogi, Lutfi. (2018) Penerapan Konsep Transit Oriented Development (TOD) pada Penataan Kawasan di Kota Tangerang. Jakarta: Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Aminah, S. (2006) Transportasi Publik dan Aksesibilitas Masyarakat Perkotaan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Sjafruddin, Ade. (2012) Pembangunan Infrastruktur Transportasi untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan Berbasis Ilmu Pengetahuan. Bandung: Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung.
Mangatur. Edison. Suandi. (2018) Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Pendapatan Masyarakat dan Aksesibilitas di Kota Jambi. Jambi: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Jambi.


0 comments: