Monday, October 26, 2020

Variabel Tambahan?

Produktivitas negara bergantung pada mutu SDM yang ada di dalamnya, apabila mutu SDM nya baik maka produktivitas negara akan beranjak naik, akan tetapi jika mutu SDM rendah maka produktivitas negara akan stagnan. Mutu SDM bisa ditinjau dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara nasional tren IPM Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi 0,707 pada tahun 2019 lalu dengan rata-rata pertumbuhan IPM Indonesia sebesar 0,87% per tahun. Akan tetapi jika dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih kalah dari Filipina (0,712), Thailand (0,756), Malaysia (0,804), Brunei Darussalam (0,845), dan Singapura (0,935). 

IPM dengan produktivitas negara memiliki korelasi yang positif, artinya pada setiap peningkatan angka IPM maka angka produktivitas negara juga akan meningkat. Ada tiga faktor yang mempengaruhi IPM yakni: pertama, kesehatan yang diukur dari Umur Harapan Hidup (UHH) saat lahir. Kedua, pendidikan yang dilihat dari dua indikator yaitu Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Ketiga, standar hidup layak yang dilihat dari indikator Pengeluaran per Kapita yang disesuaikan (PPP).

Salah satu komponen dari IPM tadi adalah pendidikan, kualitas pendidikan yang baik tentunya akan mendongkrak angka IPM. Akan tetapi sejauh ini harus kita akui bahwa disparitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat luas. Dengan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan dan wilayahnya yang sangat luas, persoalan pemerataan pendidikan di setiap wilayah harus diakui menjadi PR yang cukup rumit. Dalam konteks Indonesia, pulau Jawa masih menjadi episentrum pendidikan, hal ini yang membuat setiap orang berlomba-lomba untuk bisa mengenyam pendidikan disana. Ambil contoh, 8 kampus terbaik di Indonesia versi QS World University Ranking semuanya berasal dari tanah Jawa. Terdapat perbedaan yang cukup signifikan mutu SDM khususnya pendidikan masyarakat di Jawa dengan masyarakat yang berada di luar Jawa.

Mutu SDM mestinya juga akan berpengaruh terhadap undang-undang yang dibuat oleh para legislator, regulasi yang baik lahir dari hasil pemikiran yang baik, bagaimana ia mengidentifikasi persoalan yang ada di tengah masyarakat, berdialog dengan masyarakat dan stakeholder terkait, berdiskusi dengan para ahli untuk meramu solusinya, adalah suatu mekanisme yang tidak sederhana, butuh seorang pemikir untuk melahirkan regulasi yang cemerlang. Akan tetapi menariknya fakta di lapangan ternyata berkata lain, trend semakin membaiknya tingkat pendidikan caleg terpilih terus meningkat, namun kecenderungan itu tidak serta merta menjelaskan hubungan linear dengan kinerja DPR. Bahkan tidak sedikit undang-undang yang disahkan membuat konflik dan memantik emosi publik, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dicap sebagai perantara cukong dan hanya memuluskan kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan rakyatnya. Terlebih DPR menjadi lembaga negara dengan jumlah kasus korupsi yang lebih banyak dibandingkan lembaga negara lainnya menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan jumlahnya dari 2014 hingga 2019 sebanyak 255 orang.

Poinnya bahwa ternyata harus ada variabel tambahan selain daripada tingkat pendidikan untuk bisa benar-benar menghasilkan undang-undang yang berkualitas dan berpihak kepada rakyat, variabel tambahan ini adalah kunci untuk perubahan ke depannya. Kira-kira apa variabel tambahan itu? Pertanyaan yang jawabannya saya rasa kita semua paham jika beragama dengan benar.

0 comments: