Tuesday, April 28, 2020

Membentuk Karakter Dai Teladan



Oleh Ust. Amang Syafrudin Lc., MA

Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada kita adalah Ihfadzillaha yahfadka, jagalah Allah, niscaya Allah menjagamu. Apa yang harus kita lakukan dalam proses ini? Menjaga Allah artinya menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, tentunya adalah menjaga keimanan kita, jangan sampai ada sedikit pun ada keraguan kepada Allah. Jaga keimanan kita kepada Allah, kepada malaikat, kepada kitabullah, kepada Rasulullah, kepada hari akhir, kepada qadha’ dan qadhar.

Jangan kalian mati kecuali dalam keadaan muslim, idealisme seperti ini bukan sesuatu yang mimpi sifatnya, seakan hanya Rasulullah dan para sahabat yang hanya bisa melakukannya, tapi sesungguhnya seluruh umat Islam yang telah mengucapkan asyhadu alla ilaha illallah maka ia berkesampatan untuk meraihnya.

Dalam bahasa istiqomah, innalladzina qolu robbunallahu tsummas taqomu, sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Allah Tuhan kami kemudian istiqomah, dan dilengkapi dengan dua kalimat syahadat maka pada saat itu kita berada pada posisi sebagai seorang muslim yang selanjutnya kita dituntut untuk beristiqomah, kita tidak akan bisa beristiqomah tanpa ketaqwaan, bagaimana kita meningkatkan komitmen kita dan kepatuhan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Apa yang sudah didesain oleh Allah kepada kita adalah dalam konteks untuk membentuk pribadi kita yang ideal, dengan perintah dan larangannya. Semua punya peluang untuk menjadi suri teladan, akan tetapi persoalannya adalah bagaimana kita bisa meneladani Rasulullah? Karena pada saat kita ingin menjadi pribadi yang ideal maka kita tentu harus punya contoh. QS. Al-Ahzab: 21, laqad kana lakum fii rasulillahi uswatun hasanah, sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.

Ada 3 tipologi manusia yang berinteraksi dengan Al-Qur’an dan oleh Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi dianggap sebagai sesuatu yang tetap dalam konteks keislaman dan ketaqwaan. Tetapi ada komitmen seseorang terhadap Al-Qur’an itu yang disebut dengan (1) zalimun linafsih, orang yang dzolim pada diri sendiri, masih melaksanakan yang dilarang Allah tapi tidak sampai mengeluarkan ia dari keislamannya, (2) muqtashid, orang yang pertengahan, ia tidak terlalu mengejar hal yang sunnah, hanya mengerjakan yang wajib-wajib saja, tapi ia juga tidak melakukan tindakan yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, (3) saabiqun bil khairat, orang yang selalu mengejar berbagai kebaikan, setelah yang fardhu ia cari yang fardhu kifayah kemudian sunnah muakkad, dia kejar juga sunnah ghairu muakkad, ada tipologi manusia seperti ini. Islam, saling menutup kekurangan kita satu sama lain.

Seorang dai dalam Islam adalah mereka yang modelnya sedang bahkan terus belajar, melengkapi dan menyempurnakan keislamannya dengan aktivitas-aktivitas kebaikan. Istilah dai teladan bukan sesuatu seseorang yang sudah jadi, sebagaimana ketika kita bicara tentang muttaqin, sesuatu yang sudah jadi (conform), mungkin dari kita selain Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak ada yang memasuki kata ‘telah jadi seorang teladan’, kita semua berproses, bahkan keteladan kita mungkin tidak lengkap dan tidak semuanya, ada orang yang bisa diteladani dalam cara berpikirnya, akhlaknya, ibadahnya. Keteladanan ada pada kondisi yang sangat-sangat normal dalam Islam, bukan sesuatu yang tidak bisa dicontoh atau dijalankan oleh kita.

Siapa sajakah yang bisa meneladani Rasulullah? Dai teladan itu hanya Rasulullah, selain beliau belum ada yang sampai sederajat dengan beliau. Tapi yang menjalankan berbagai aktivitas ibadah, dakwah, tarbiyah dan lain sebagainya yang mencontoh dan meneladani Rasulullah itu adalah hak dan kewajiban seluruh umatnya. Tidak ada satupun dari kita yang dikecualikan.

Siapa saja yang bisa meneladani Rasulullah? Siapapun bisa, liman kana yarjullaha wal yaumal akhir wa dzakarallaha kasiran, proses untuk meneladani itu bagaimana? Yang utama tentu adalah kita melihat sosok Rasulullah. Ar-roja’ bil liqoillah, kita harus memiliki dan menguatkan harapan, harapan itu muncul dari satu keyakinan, semakin kuat keyakinan kita maka akan semakin kuat pula harapan kita. Harapan apa? Harapan satu-satunya yang dimiliki oleh Rasulullah adalah Allah Subhanahu wa ta’ala, seluruhnya terkonsentrasi untuk mewujudkan harapan kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam konteks bulan ramadhan, Man shoma romadhona imanan wahtisaban ghufiro lahu maa taqoddama min dzanbih. "(Artinya) barang siapa yang berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka semua dosanya yang lalu akan diampuni. Kita selalu berharap, yarjullaha.

Ada hadits yang mengatakan man ahabba liqa allahi ahabballahu liqa ahu, wa man kariha liqa allaihi karihallahu liqa ahu, siapa yang suka menemui Allah maka Allah suka menemuinya dan barangsiapa yang benci menemui Allah maka Allah benci pula menemuinya.

Wal yaumal akhir yarjullaha wal yaumal akhir, saat kita tidak berharap dengan hari akhir, mungkin ada orang yang mengatakan saya beriman kepada Allah tapi saya tidak percaya dengan hari akhir, kira-kira orang tersebut akan menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah atau tidak? Tentunya tidak, karena pandangan dia tidak ada yang disebut dengan punishment, reward, hisab. Makanya ayat yang dimunculkan tentang hari kiamat di dalam Surat Al-Fatihah yang kita baca setiap shalat adalah maliki yaumiddin, hari pembalasan. Hari kiamat itu adalah hari pembalasan. Tsumma latus alunna yauma idzin ‘anin na’im, kemudian pada hari itu (hari kiamat kelak) kamu benar-benar akan ditanya tentang kenikmatan. 

Ketika rasa malas itu muncul maka beristighfar sebanyak mungkin, karena tidak ada yang membuat kita lesu dan lemah kecuali dosa. Dan selain itu adalah paksakan untuk selalu beramal, kalau memaksakan diri di dalam kebaikan itu jelas menjadi suatu keharusan.









0 comments: