Tuesday, April 28, 2020

[Kuliah 2] Apa Arti Pendidikan? Apa Bedanya dengan Sekolah?


Kuliah Ramadhan Jelang Berbuka ke-2
Oleh Ust. Adian Husaini

Dulu Ki Hadjar Dewantara, ada 2 istilah yang digunakan yakni pendidikan dan pengajaran, Ki Hadjar Dewantara membuat konsep pendidikan yang diluncurkan bulan juni tahun 1922 di Yogyakarta pada pembukaan Taman Siswa, Ki Hadjar membuat konsep bahwa pendidikan itu seperti taman bahkan di dalam artikel yang beliau tulis setelah itu, beliau mengidolakan sistem pendidikan nasional kita bentuknya pesantren. Beliau mengkritik keras sistem pendidikan penjajah yang sangat kering sifatnya dari menanamkan nilai-nilai, adab, dan kesusilaan.
Dulu namanya pendidikan selalu identik dengan penanaman nilai, Prof. Naquib Al-Attas menyebut konsepnya the purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness in man as man and individual self, tujuan mencari ilmu dalam Islam itu adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri seseorang sebagai manusia, sebagai manusia ini sangat penting karena yang ditekankan adalah untuk mendidik seseorang menjadi orang baik bukan sebagai karyawan, orang baik pasti karyawan yang baik, karyawan yang baik menurut standar perusahaannya belum tentu ia manusia yang baik karena perusahaan itu belum tentu baik.
Setiap orang yang menjalani proses pendidikan mestinya semakin adil, di dalam Al-Qur’an dikatakan I’diluu huwa aqrabu littaqwa, berbuatlah adil sesungguhnya ia lebih dekat kepada ketakwaan. Pengajaran adalah transfer of knowledge, jangan menganggap inti dari pendidikan kita adalah sekolah, karena inti dari pendidikan itu adalah penanaman nilai. Lembaga pendidikan terpenting itu adalah rumah, pondok pesantren terbaik itu adalah rumah, kenapa begitu? Karena di rumah itulah ditanamkan nilai-nilai keadilan dan kebaikan, dan guru terbaik adalah orangtua. Ilmu mendidik ini adalah ilmu yang wajib (bagi yang punya anak). Sekolah bisa menjadi tempat pendidikan bisa juga tidak, kita tahu bahwa kita mencari ilmu yang bermanfaat, tapi anehnya di sekolah-sekolah kita tidak diajarkan apa itu ilmu sebenarnya? Penting untuk kita memahami dua macam ilmu, ada ilmu yang nafi’ (bermanfaat) dan ada juga ilmu yang dharar/mudhorat (ilmu yang membuat kita menjauhkan diri dari Allah Subhanahu wa ta’ala).
Beradab dan menjadi orang yang baik, apa orang yang baik itu? Orang yang bermanfaat bagi sesama. Bagaimana dia bermanfaat dengan sesama? Dia harus kenal dengan Tuhan dan Nabinya, ia harus mencintai sahabat dan keluarga Nabi, ia harus beradab kepada para ulama, guru dan teman-temannya, ini yang pokok (Islamic worldview). Jika kita membuka kitab yang ditulis oleh Imam Ghazali, Kimyatusy Sya’adah, kita akan menemukan bab pertama dari kitab tersebut adalah kenali dirimu, siapa kamu itu, dari mana berasal, tugasnya apa, dan setelah mati mau kemana?
Menanamkan nilai itu sifatnya seperti coaching (melatih), bukan sekedar diajari seperti robot tapi juga dibangun jiwanya. Dengan momen pandemi corona ini menjadi momen terpenting bagi orangtua untuk mendidik anak-anaknya, dididik sikapnya.
Rasulullah ketika mendidik para sahabatnya bahkan Muadz bin Jabal pada waktu itu di atas kendaraannya, sedang berjalan, di masjid, setelah shalat, dimanapun dan kapanpun ada pendidikan. Prof. Mohammad Nur di dalam bukunya Budaya Ilmu, menjelaskan bahwa bahaya sekali jika orang Islam memahami pendidikan itu formal, informal, dan non formal, yang mana yang difokuskan hanyalah pendidikan formalnya. Seluruh hartanya dikeluarkan untuk membiayai pendidikan formal agar anak mampu menguasai Fisika, Kimia , Biologi, dan lain sebagainya. Akan tetapi begitu pendidikan yang sifatnya di rumah, anak dinasihati orangtuanya dianggap bukan pendidikan, aktivitas dan pembinaan di bulan ramadhan dianggap bukan pendidikan (hanya dianggap sekedar rekreasi ruhani).
Bisa disimpulkan dampak dari penyamaan pendidikan dan sekolah bermuara pada satu hal, yakni penanaman nilai oleh orang tua yang dilupakan. Padahal, itulah yang akan mengantarkan seseorang pada kesuksesan dunia dan akhirat. Mungkin ada sekolah yang memperhatikan aspek pendidikan (penanaman nilai), tapi tidak menutup kemungkinan kalau sekolah tidak menekankan aspek itu.
Sudah semestinya setiap orang tua dan guru insaf, bahwa yang pokok itu, bukan seberapa banyak ilmu yang anak dan murid peroleh. Tapi sudah sampai mana ia mengenal Tuhannya dan dirinya, sudah seberapa tinggi adab ia kepada Nabinya, gurunya, bahkan orang tuanya. Inilah ilmu yang fardhu ‘ain. Sementara hal ini, hanya bisa dicapai melalui pendidikan, bukan pengajaran. Ingatlah, pengejaran intelektualitas yang berlebihan, sampai melupakan spiritualitas, hanya akan menjerumuskan semua ilmunya ke tempat yang salah dan hanya akan membuat dirinya merasakan kebahagiaan semu.
Selain itu, kesimpulan lain yang bisa diambil dari 3 dampak penyamaan pendidikan dan sekolah, ialah bahwa, yang terpenting bagi seorang murid itu bukan bagaimana cara ia belajar dan dimana ia mendapatkan pelajaran. Baginya ada yang lebih urgen darpada itu, yakni apa yang ia pelajari dan kepada siapa ia belajar. Jadi Bukan bagaimana dan dimana, tapi apa dan siapa. Sekalipun pesantren, sekolah-sekolah Islam, ataupun universitas-universitas Islam, tidak menjamin guru dan ilmu yang benar. Maka, disinilah peran orang tua. Sebab, tanggung jawab pendidikan seorang anak, bukan pada sekolah dan pendidik bukan pada guru semata. Ini bukan tentang seberapa banyak uang yang dikucurkan orang tua kepada sekolah, tapi seberapa tega orang tua melepaskan tanggung jawabnya sebagai pendidik utama bagi anak-anaknya.
Kalaupun sudah berusaha dan tidak bisa, maka menurut Habib Ustman dalam kitabnya, “Adabul Insan”, kewajiban orang tua menyerahkannya kepada guru yang baik (bukan berarti harus sekolah). Inilah yang dilakukan Sultan Murad ketika menyerahkan Sultan Muhammad Al-Fatih kepada 2 guru besar bernama Syaikh Ahmad Al-Kurani dan Syaikh Aaq Syamsuddin. Sama halnya dengan hikayat dalam kitab “Ta’limul Muta’allim”-nya Imam Az-Zarnuji tentang penyerahan anak Khalifah Harun Al-Rasyid kepada seorang ulama besar bernama Al-Ashma’i, oleh Khalifah sendiri untuk belajar ilmu dan adab.
Namun, hal itu tidak membuatnya hilang pengawasan. Sebab, suatu saat, Al-Ashma’i ditegur oleh Khalifah. Alasannya, adalah karena sang guru tidak menyuruh anaknya yang ketika itu sedang menuangkan air dengan satu tangannya kepada gurunya untuk berwudhu, “menggosok” kakinya. Itulah keteladan Harus Al-Rasyid sebagai orang tua (disamping sebagai pemimpin) yang sangat menekankan dan memperhatikan penanaman adab untuk anaknya.

Begitulah makna pendidikan dalam Islam yang tidak bisa disamakan dengan sekolah. Inti pendidikan adalah penanaman nilai. Pendidikan bukan tentang yang formal, sehingga berapapun biayanya, rela dikeluarkan demi gengsi dan materi, sebagaimana yang ditekankan Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya, “The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Nauib Al-Attas”. Tempat pendidikan bukan sebatas sekolah, tapi yang utama, adalah rumah. Pendidik utama dan terbaik adalah orang tua. Maka, sudah saatnya pandemi ini dimanfaatkan oleh seluruh orang tua. Yakni, bagaimana beperan menjadi seorang pendidik yang memanfaatkan rumah sebagai tempat pendidikan. 

0 comments: