Monday, April 6, 2020

Kesadaran Kolektivisme


Tentu kita sepakat atas nilai-nilai dasar yang telah dirumuskan oleh para founding fathers kita yang tertuang dalam pancasila, presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno menyebut pancasila sebagai philosophische grondslag (filosofi dasar), ia menjadi pedoman bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara, ia menjadi win-win solution yang menyatukan perbedaan pandangan dan pemikiran dikala pembahasannya yang alot sejak gagasan tersebut pertama kali disampaikan di rapat BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945. Kini, pancasila bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan lagi, sebab ia sudah menjadi solusi atas dinamika, perbedaan pandangan dan ideologi saat itu. Ia merepresentasikan nilai-nilai universal yang bisa diterima oleh banyak kalangan di negeri ini, memadukan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Kita tidak bisa menerima pancasila secara parsial dan menolak beberapa nilai yang yang ada, sebab ia menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kalau kita mundur sedikit ke belakang dan mencoba memahami dinamika yang terjadi dalam rapat pembahasan dasar negara itu, lahirnya pancasila sebagai dasar negara tidak lain disebabkan oleh hadirnya semangat kebersamaan atau kolektivisme sehingga nilai-nilai yang tertuang dalam pancasila tersebut terakumulasi atas kompromi dari seluruh pemikiran-pemikiran inti yang ada pada saat itu. Jadi, bisa dikatakan jika lahirnya pancasila adalah karena adanya kesadaran kolektivisme, yang mana kesadaran kolektivisme ini bisa kita anggap sebagai pikiran (collective mind) yang menjadi fondasi awal untuk menggambarkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Pancasila yang kita kenal saat ini, tidak mungkin bisa dirumuskan apabila masing-masing orang yang ada pada saat itu bersikukuh atas pandangannya.

Di dalam perjalanannya, kesadaran kolektivisme tumbuh dan berkembang di dalam tatanan sosial masyarakat kita dan telah mendarah daging menjadi suatu budaya yang kita kenal sebagai gotong royong. Sejak dalam proses transformasi dari Indonesia yang diisi oleh kerajaan-kerajaan menjadi suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), gotong royong selalu mengisi aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Sekarang misalnya, alhamdulillah kita masih bisa menyaksikan bentuk implementasi dari gotong royong di dalam keluarga besar, bertetangga, dan bermasyarakat. Ambil contoh di dalam keluarga besar, ketika ada saudara yang ia kesulitan secara finansial dan pada sisi yang lain ada saudaranya yang secara finansialnya lebih baik dan bahkan bisa dikatakan lebih dari kata cukup, biasanya saudara yang lebih ini akan membantu saudaranya lain yang masih kesulitan dalam hal finansialnya, jadi saling menopang antara satu sama lain. Contoh lain misalnya ketika kita ingin melaksanakan hajatan atau pernikahan, maka para tetangga atau keluarga dengan senang hati akan membantu kita dalam mempersiapkan acara dan memasak makanan. Ini adalah budaya yang lahir dari perjalanan panjang Indonesia, yang tumbuh dan mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat kita yang hingga saat ini masih bisa kita rasakan, maka tentu budaya ini perlu untuk terus kita jaga.

Jika kita mencoba memahami gotong royong ini dalam perspektif Islam, maka kita juga akan menemukan suatu konsepsi serupa yang dikenal dengan amal jama’i (beramal secara berjama’ah atau kebersamaan). Pada hakikatnya, Islam telah mengajarkan kita makna dari kebersamaan sejak awal kedatangannya, dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam pada saat itu tidak bisa berkembang jika hanya dilakukan secara individu. Maka beliau membentuk dan membina para sahabat dengan tarbiyah di rumah Arqam bin Abil Arqam, baru setelah itu menjalankan misinya untuk berdakwah kepada seluruh masyarakat. Mahfudz Siddiq di dalam buku yang berjudul Refleksi 20 Tahun Pembaharuan Tarbiyah di Indonesia: Tarbiyah Menjawab Tantangan, mengatakan bahwa semangat kerjasama (ruhul amal jama’i) untuk menopang berbagai tanggung jawab dan beban dakwah melalui semangat saling memberi dan berkorban (ruhul badl wat-tadhiyah) inilah yang mampu menopang bangunan (Islam) agar tetap kokoh. Allah Subhanahu wa ta’ala juga menegaskan, Innallaha yuhibbul ladzina yuqatiluna fi sabilihi (sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang berperang di Jalan-Nya), yakni dalam rangka taat kepada-Nya. Shaffan (dalam barisan) dalam peperangan. Ka-annahum bun-yanum marshush (seolah-olah mereka adalah suatu bangunan yang tersusun kokoh), Ibnu Abbas di dalam tafsir Ibnu Katsir mengatakan bahwa yakni teguh, tidak akan tumbang, masing-masing bagian merekat erat dengan yang lain.

Di dalam amal jama’i ini, jika belajar dari sejarah, maka kita akan menemukan bahwa rentetan peristiwa-peristiwa kemenangan dan keberhasilan umat Islam yang dilakoni oleh aktor yang berbeda-beda pada tiap zamannya diperoleh bukan karena kontribusi yang dilakukan oleh satu orang saja, melainkan kemenangan itu disebabkan karena adanya amal jama’i. Anis Matta di dalam bukunya yang berjudul Mencari Pahlawan Indonesia mengatakan jika karya-karya sejarah yang besar, pada akhirnya, memang tidak dapat diselesaikan oleh seorang pahlawan saja. Semua orang terlibat dalam proses. Akan tetapi, seorang pahlawan melegenda karena dalam proses itu ia memberikan kontribusi yang lebih besar daripada yang lainnya. Walaupun begitu, kontribusi yang besar tidak akan pernah dapat ia berikan tanpa kehadiran pahlawan-pahlawan lain, yang kadar kepahlawanannya mungkin lebih kecil dibanding dirinya. Maka, di dalam pemaknaan kita kepada amal jama’i ini, yang menjadi fokus kita bersama adalah bagaimana kita mampu memberikan kontribusi terbaik kita, tanpa kemudian memperdulikan pujian dari orang lain, karena pada akhirnya yang kita cari adalah pujian dari Allah Subhanahu wa ta’ala.



0 comments: